Al-Qasim: Derita Panjang Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq Semasa Kecil

Rabu, 23 September 2020 - 13:35 WIB
loading...
Al-Qasim: Derita Panjang Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq Semasa Kecil
Ilustrasi/Ist
A A A
AL-QASIM adalah putra Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq . Ibunya adalah putri Yazdajir, raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah Radhiyallahuanha, Ummul Mukminin . ( )

Dialah adalah satu dari tujuh fuqaha Madinah , yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara’ nya.

Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam bukunya yang berjudul “ Mereka adalah Para Tabi’in ” menceritakan Al-Qasim bin Muhammad lahir pada akhir masa khilafah Utsman bin Affan . ( )

Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya anak ini, badai fitnah semakin dahsyat menerpa kaum muslimin. Hingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Dzun Nurain Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Al-Qur’an berada pada dekapannya.

Tak lama setelah itu muncul sengketa besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a . dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb, gubernur untuk wilayah Syam. Dalam rangkaian keadaan genting dan peristiwa-peristiwa yang mencekam itu, anak tersebut mendapati dirinya bersama adik perempuannya dibawa dari Madinah ke Mesir , menyusul kedua orang tuanya. Ayahnya diangkat menjadi gubernur Mesir oleh khilafah Ali bin Abi Thalib r.a. ( )

Di kota ini ia harus menyaksikan cakar-cakar fitnah dan mencengkram makin jauh sampai akhirnya ayah beliau meninggal dengan cara yang keji. Selajutnya beliau pindah lagi dari Mesir kembali ke Madinah setelah kekuasaan dipegang oleh Muawiyah. Dia menjadi yatim piatu .

Al-Qasim bercerita tentang perjalanan hidupnya yang sarat dengan penderitaan itu. Berikut penuturannya itu:

“Setelah terbunuhnya ayah di Mesir, pamanku, Abdurrahman datang untuk membawa aku dan adik perempuanku ke Madinah. Setibanya di kota ini, bibikku, ummul mukmininl mengutus seseorang mengambil kami berdua untuk dibawa ke rumahnya dan dipelihara di bawah pengawasannya." ( )

Ternyata belum pernah saya menjumpai seorang ibu dan ayah yang lebih baik dan lebih besar kasih sayangnya daripada beliau.

Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami. Bila tersisa makanan dari kami barulah beliau memakannya.

Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau yang memandikan kami, menyisir rambut kami, memberi pakaian-pakaian yang putih bersih. ( )

Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami untuk itu dengan teladannya.

Beliau melarang kami melakukan perbuatan jahat dan menyuruh kami meninggalkannya jauh-jauh. Beliau pula yang mengajar kami membaca Kitabullah dan meriwayatkan hadis-hadis yang bisa kami pahami.

Di hari raya, bertambahlah kasih sayang dan hadiah-hadiahnya untuk kami. Di setiap senja di hari Arafah, beliau memotong rambutku, memandikan aku dan adik perempuanku. Pagi harinya kami diberi baju baru kemudian aku disuruh ke masjid untuk salat ‘ied. Setelah selesai, aku dikumpulkan bersama adikku kemudian kami makan daging udhiyah. ( )

Suatu hari beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu sedangkan adikku di pangkuannya yang lain. Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyah mulai berbicara, mulai dengan pujian kepada Allah, sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorangpun baik laki-laki maupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya dari beliau. ( )

Beliau berkata kepada paman, “Wahai saudaraku, aku melihat sepertinya anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah, saya melakukannya bukan karena saya lancang kepada Anda, bukan karena saya menaruh buruksangka kepada Anda dan bukan pula lantaran saya tidak percaya bahwa Anda dapat memenuhi hak keduanya." ( )

"Hanya saja Anda memiliki istri lebih dari satu, sedangkan ketika itu kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir bila keduanya dalam keadaan yang tidak disukai dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda.” ( )

Begitulah, akhirnya pamanku memboyong kami ke rumahnya.

Hanya saja, menurut Abdurrahman Ra’at Basya, hati anak keturunan Abu Bakar ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah. Rindu terhadap lantai rumah yang bercamput dengan kesejukan nubuwat. Dia berkembang dan terpelihara oleh perawan pemilik rumah itu, dia kenyang dalam kasih sayangnya. Oleh sebab itu, dia membagi waktunya antara rumah bibi dan pamannya. ( )

Rumah bibinya betul-betul berkesan di hatinya. Ligkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Simaklah kesan-kesan yang melekat di hatinya.

“Suatu hari aku berkata kepada bibiku Aisyah, “Wahai ibu, tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad saw. dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali melihatnya.”

Tiga kubur itu berada di dalam rumahnya, ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan. Beliau memperlihatkan untuk kami tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekungkan. Ketiganya ditaburi krikil merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid.

Saya bertanya, “yang mana makam Rasulullah?” Beliau menunjuk salah satu darinya, “Ini.” Bersamaan dengan itu, dua butir air mata bergulir di pipinya, tetapi segera di sekanya agar aku tak melihatnya. Makam Nabi saw. itu agak lebih maju dari makan kedua sahabatnya.



Saya bertanya lagi, “Lalu yang mana makam kakekku, Abu Bakar?” Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata, “Yang ini.” Kulihat makam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah saw. aku berkata, “Yang ini makam Umar?” beliau menjawab, “Benar.”

Aku melihat kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku, dengan dengan arah kaki Nabi saw.”

Imam Mujtahid
Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadis-hadis dari bibinya, Aisyah sebanyak yang dikehendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di langit yang terang.



Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Khabbah, Rafi’ bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khattab dan sebagainya.

Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3059 seconds (0.1#10.140)