Kisah Sayyidah Maimunah: Mantan Menantu Abu Lahab yang Jatuh Cinta kepada Nabi Muhammad SAW
Selasa, 17 Mei 2022 - 19:06 WIB
Nama lengkapnya adalah Barrah binti Al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah dan dikenal dengan Maimunah . Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamatsah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Sayyidah Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah SAW , “Al-mukminah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu Fadhal, dan Asma’.”
Sayyidah Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummu Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkan, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul Uzza ( Abu Lahab ). Sebagian besar riwayat mengatakan nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang musyrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Sayyidah Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kisah lainnya menyebut Sayyidah Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi sebelum memeluk Islam. Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza.
Dalam waktu beberapa lama, Sayyidah Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Abu Rahm, meninggal dunia.
Sayyidah Maimunah sebetulnya masih memiliki hubungan dekat dengan Nabi Muhammad. Karena, saudari Sayyidah Maimunah, Lubabah al-Kubra adalah istri paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib. Saat hidup menjanda itu, Sayyidah Maimunah hidup bersama saudarinya, Lubabah al-Kubra.
Lubabah al-Kubra yang bergelar Ummu Fadhl merupakan perempuan kedua yang masuk Islam, setelah Sayyidah Khadijah.
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW karya M Quraish Shihab disebutkan, Sayyidah Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Dia gembira manakala pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam sebuah peperangan. Hingga suatu ketika, Sayyidah Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra bahwa dirinya memiliki rasa pada Nabi Muhammad. Dia siap manakala Nabi Muhammad mempersuntingnya.
Sejurus kemudian, Lubabah al-Kubra menceritakan perasaan Sayyidah Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Lalu, Abbas meneruskan informasi itu kepada Nabi Muhammad. Gayung pun bersambut. Nabi kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Sayyidah Maimunah untuk dirinya. Lamaran Nabi itu disambut baik oleh Sayyidah Maimunah.
Tentang penyerahan Sayyidah Maimunah kepada Nabi SAW ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri- istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( QS Al-Ahzab : 50)
Usia Sayyidah Maimunah 26 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad. Kejadian ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hirjiyah, ketika Nabi Muhammad tengah mengerjakan umrah al-qadha.
Sebetulnya, Nabi Muhammad dan kaum Muslim hendak berangkat umrah pada tahun 6 Hijriyah. Kaum musyrik melarang mereka masuk Mekkah. Kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah setelah negosiasi yang alot. Salah satu isi perjanjian itu adalah Nabi dan rombongannya tidak boleh memasuki Mekkah tahun 6 H. Mereka baru boleh diizinkan masuk ke Mekkah untuk umrah pada tahun berikutnya—tahun 7 H- dan itu pun hanya tiga hari saja.
Di hari ketiga, dua orang utusan kaum musyrik Mekkah, Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza, mendatangi Nabi Muhammad dan rombongannya. Keduanya mengingatkan salah satu isi Perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi Muhammad dan umat Islam hanya diizinkan untuk tinggal di Mekkah selama tiga hari saja. Sa’ad bin Ubadah yang ketika itu berada di sisi Nabi marah.
Nabi Muhammad berusaha menengahi dengan meminta ‘waktu tambahan’. Kepada keduanya, Nabi mengatakan baru saja menikah dengan Sayyidah Maimunah dan akan mengadakan pesta perkawinan. Beliau akan menjamu mereka dengan makanan dan minuman manakala diizinkan untuk tinggal di Mekkah barang sebentar lagi. Sayang, mereka menolak tegas tawaran itu dan menyuruh Nabi lekas meninggalkan Mekkah.
Merujuk Biografi Istri-istri Nabi Muhammad SAW karya Aisyah Abdurrahman, Nabi Muhammad langsung memerintahkan pasukan Islam untuk bersiap-siap meninggalkan Mekkah setelah peristiwa itu. Beliau kemudian meminta pembantu Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Rafi, mengawal Sayyidah Maimunah keluar dari Mekkah, menyusul rombongan Nabi Muhammad.
Sayyidah Maimunah akhirnya bertemu dengan Nabi Muhammad di daerah Saraf, sekitar 10 kilometer dari Mekkah. Di sinilah Nabi Muhammad merayakan pernikahannya dengan Sayyidah Maimunah, wanita terakhir yang dinikahinya. Nabi dan rombongannya langsung kembali ke Madinah begitu acara perayaan perkawinannya selesai.
Lantas apa alasan yang mendasari Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Maimunah? Quraish Shihab menguraikan tiga motif mengapa Nabi meminang Sayyidah Maimunah.
Pertama, Abbas bin Abdul Muthalib. Paman Nabi itu menjadi juru bicara yang menyampaikan hasrat Sayyidah Maimunah untuk menjadi istri Nabi. Maka tidak wajar Nabi menolaknya. Terlebih, Sayyidah Maimunah juga termasuk salah satu perempuan yang awal-awal masuk Islam.
Kedua, saudara Asma binti Umais. Selain saudari istri pamannya Abbas, Ummu Fadhl, Sayyidah Maimunah juga saudari—tidak sekandung- dari Asma binti Umais, istri Ja’far bin Abi Thalib, keponakannya. Hubungan itu membuat Nabi tidak wajar menolak Sayyidah Maimunah.
Ketiga, memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di Makkah. Saudari-saudari sekandung Sayyidah Maimunah menikah dengan pembesar Makkah. Lubabah al-Kubra, Abbas bin Abdul Muthalib ; dan Lubabah as-Shugra, istri al-Walid bin Mughirah dan ibu Khalid bin Walid, merupakan saudari Sayyidah Maimunah.
Begitu juga dengan saudara-saudara tidak sekandungnya. Antara lain Asma binti Umasi yang merupakan istri dari Ja’far bin Abi Thalib —yang ketika wafat- dinikahi Abu Bakar , dan lalu kemudian dinikahi Ali bin Abi Thalib ; dan Salman bin Umais yang merupakan istri paman Nabi Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib .
Dengan demikian, Sayyidah Maimunah memiliki jaringan memiliki hubungan kekerabatan dengan suku-suku terpandang di jazirah Arab, mengingat para menantu ibunya, Hindu bin Auf, adalah para pembesar di sukunya masing-masing.
Dengan menikahi Sayyidah Maimunah, siapa tahu para tokoh Makkah akan memeluk Islam dan posisi Nabi semakin kuat karena menjalin kekeluargaan dengan suku-suku terpandang di jazirah Arab. Dan betul saja, beberapa saat setelah perkawinan itu, Khalid bin Walid , akhirnya memeluk Islam. Nantinya, Khalid ini dikenal sebagai pahlawan Islam karena kecakapannya dalam menghancurkan musuh-musuh Islam di medan perang.
Sayyidah Maimunah dikenal taat beragama, lembut namun tegas, dan bijaksana. Sayyidah Aisyah—istri Nabi yang lainnya- mengatakan bahwa Sayyidah Maimunah adalah wanita yang paling bertakwa dan selalu menjaga silaturahim di antara mereka.
Pada saat Nabi Muhammad sakit—sebelum wafat, beliau dirawat di rumah Sayyidah Maimunah. Namun ketika sakit Nabi semakin parah, beliau akhirnya dipindahkan ke kamar Sayyidah Aisyah yang ada di samping Masjid Nabawi, sesuai kesepakatan semua istri Nabi. Sayyidah Maimunah rela akan hal itu.
Sayyidah Maimunah begitu terkenang dengan Saraf, daerah di mana dia dan Nabi Muhammad melangsungkan ‘bulan madu’. Sampai-sampai sebelum wafat, Sayyidah Maimunah berpesan agar dimakamkan di sana.
Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan , bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji—di suatu tempat dekat Saraf—Maimunah merasa ajalnya sudah tiba. Ketika itu dia berusia 80 tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 Hijriyah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Dan yang memimpin salat jenazahnya adalah Abdullah bin Abbas.
Sayyidah Maimunah termasuk dari istri Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis , selain Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah. Setidaknya, ada 94 hadits yang diriwayatkannya. Riwayat lain menyebut, Sayyidah Maimunah meriwayatkan sekitar 76 hadis dari Nabi SAW. Beberapa hadis yang diriwayatkannya telah ditakhrij dalam kitab hadits Bukhari-Muslim sekitar 13 hadits; 7 hadis sama-sama disepakati oleh kedua imam (muttafaq ‘alaih), satu hadis lainnya ditulis oleh Bukhari, dan 5 hadits lainnya ditulis oleh Muslim.
Dalam keluarganya, Sayyidah Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah SAW , “Al-mukminah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu Fadhal, dan Asma’.”
Sayyidah Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummu Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkan, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul Uzza ( Abu Lahab ). Sebagian besar riwayat mengatakan nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang musyrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Sayyidah Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.
Kisah lainnya menyebut Sayyidah Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi sebelum memeluk Islam. Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, menikah lagi dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza.
Dalam waktu beberapa lama, Sayyidah Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Abu Rahm, meninggal dunia.
Sayyidah Maimunah sebetulnya masih memiliki hubungan dekat dengan Nabi Muhammad. Karena, saudari Sayyidah Maimunah, Lubabah al-Kubra adalah istri paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib. Saat hidup menjanda itu, Sayyidah Maimunah hidup bersama saudarinya, Lubabah al-Kubra.
Lubabah al-Kubra yang bergelar Ummu Fadhl merupakan perempuan kedua yang masuk Islam, setelah Sayyidah Khadijah.
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW karya M Quraish Shihab disebutkan, Sayyidah Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Dia gembira manakala pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam sebuah peperangan. Hingga suatu ketika, Sayyidah Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra bahwa dirinya memiliki rasa pada Nabi Muhammad. Dia siap manakala Nabi Muhammad mempersuntingnya.
Sejurus kemudian, Lubabah al-Kubra menceritakan perasaan Sayyidah Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Lalu, Abbas meneruskan informasi itu kepada Nabi Muhammad. Gayung pun bersambut. Nabi kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Sayyidah Maimunah untuk dirinya. Lamaran Nabi itu disambut baik oleh Sayyidah Maimunah.
Tentang penyerahan Sayyidah Maimunah kepada Nabi SAW ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri- istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( QS Al-Ahzab : 50)
Usia Sayyidah Maimunah 26 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad. Kejadian ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hirjiyah, ketika Nabi Muhammad tengah mengerjakan umrah al-qadha.
Sebetulnya, Nabi Muhammad dan kaum Muslim hendak berangkat umrah pada tahun 6 Hijriyah. Kaum musyrik melarang mereka masuk Mekkah. Kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah setelah negosiasi yang alot. Salah satu isi perjanjian itu adalah Nabi dan rombongannya tidak boleh memasuki Mekkah tahun 6 H. Mereka baru boleh diizinkan masuk ke Mekkah untuk umrah pada tahun berikutnya—tahun 7 H- dan itu pun hanya tiga hari saja.
Di hari ketiga, dua orang utusan kaum musyrik Mekkah, Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza, mendatangi Nabi Muhammad dan rombongannya. Keduanya mengingatkan salah satu isi Perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi Muhammad dan umat Islam hanya diizinkan untuk tinggal di Mekkah selama tiga hari saja. Sa’ad bin Ubadah yang ketika itu berada di sisi Nabi marah.
Nabi Muhammad berusaha menengahi dengan meminta ‘waktu tambahan’. Kepada keduanya, Nabi mengatakan baru saja menikah dengan Sayyidah Maimunah dan akan mengadakan pesta perkawinan. Beliau akan menjamu mereka dengan makanan dan minuman manakala diizinkan untuk tinggal di Mekkah barang sebentar lagi. Sayang, mereka menolak tegas tawaran itu dan menyuruh Nabi lekas meninggalkan Mekkah.
Merujuk Biografi Istri-istri Nabi Muhammad SAW karya Aisyah Abdurrahman, Nabi Muhammad langsung memerintahkan pasukan Islam untuk bersiap-siap meninggalkan Mekkah setelah peristiwa itu. Beliau kemudian meminta pembantu Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Rafi, mengawal Sayyidah Maimunah keluar dari Mekkah, menyusul rombongan Nabi Muhammad.
Sayyidah Maimunah akhirnya bertemu dengan Nabi Muhammad di daerah Saraf, sekitar 10 kilometer dari Mekkah. Di sinilah Nabi Muhammad merayakan pernikahannya dengan Sayyidah Maimunah, wanita terakhir yang dinikahinya. Nabi dan rombongannya langsung kembali ke Madinah begitu acara perayaan perkawinannya selesai.
Lantas apa alasan yang mendasari Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Maimunah? Quraish Shihab menguraikan tiga motif mengapa Nabi meminang Sayyidah Maimunah.
Pertama, Abbas bin Abdul Muthalib. Paman Nabi itu menjadi juru bicara yang menyampaikan hasrat Sayyidah Maimunah untuk menjadi istri Nabi. Maka tidak wajar Nabi menolaknya. Terlebih, Sayyidah Maimunah juga termasuk salah satu perempuan yang awal-awal masuk Islam.
Kedua, saudara Asma binti Umais. Selain saudari istri pamannya Abbas, Ummu Fadhl, Sayyidah Maimunah juga saudari—tidak sekandung- dari Asma binti Umais, istri Ja’far bin Abi Thalib, keponakannya. Hubungan itu membuat Nabi tidak wajar menolak Sayyidah Maimunah.
Ketiga, memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di Makkah. Saudari-saudari sekandung Sayyidah Maimunah menikah dengan pembesar Makkah. Lubabah al-Kubra, Abbas bin Abdul Muthalib ; dan Lubabah as-Shugra, istri al-Walid bin Mughirah dan ibu Khalid bin Walid, merupakan saudari Sayyidah Maimunah.
Begitu juga dengan saudara-saudara tidak sekandungnya. Antara lain Asma binti Umasi yang merupakan istri dari Ja’far bin Abi Thalib —yang ketika wafat- dinikahi Abu Bakar , dan lalu kemudian dinikahi Ali bin Abi Thalib ; dan Salman bin Umais yang merupakan istri paman Nabi Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib .
Dengan demikian, Sayyidah Maimunah memiliki jaringan memiliki hubungan kekerabatan dengan suku-suku terpandang di jazirah Arab, mengingat para menantu ibunya, Hindu bin Auf, adalah para pembesar di sukunya masing-masing.
Dengan menikahi Sayyidah Maimunah, siapa tahu para tokoh Makkah akan memeluk Islam dan posisi Nabi semakin kuat karena menjalin kekeluargaan dengan suku-suku terpandang di jazirah Arab. Dan betul saja, beberapa saat setelah perkawinan itu, Khalid bin Walid , akhirnya memeluk Islam. Nantinya, Khalid ini dikenal sebagai pahlawan Islam karena kecakapannya dalam menghancurkan musuh-musuh Islam di medan perang.
Sayyidah Maimunah dikenal taat beragama, lembut namun tegas, dan bijaksana. Sayyidah Aisyah—istri Nabi yang lainnya- mengatakan bahwa Sayyidah Maimunah adalah wanita yang paling bertakwa dan selalu menjaga silaturahim di antara mereka.
Pada saat Nabi Muhammad sakit—sebelum wafat, beliau dirawat di rumah Sayyidah Maimunah. Namun ketika sakit Nabi semakin parah, beliau akhirnya dipindahkan ke kamar Sayyidah Aisyah yang ada di samping Masjid Nabawi, sesuai kesepakatan semua istri Nabi. Sayyidah Maimunah rela akan hal itu.
Sayyidah Maimunah begitu terkenang dengan Saraf, daerah di mana dia dan Nabi Muhammad melangsungkan ‘bulan madu’. Sampai-sampai sebelum wafat, Sayyidah Maimunah berpesan agar dimakamkan di sana.
Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan , bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji—di suatu tempat dekat Saraf—Maimunah merasa ajalnya sudah tiba. Ketika itu dia berusia 80 tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 Hijriyah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Dan yang memimpin salat jenazahnya adalah Abdullah bin Abbas.
Sayyidah Maimunah termasuk dari istri Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis , selain Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah. Setidaknya, ada 94 hadits yang diriwayatkannya. Riwayat lain menyebut, Sayyidah Maimunah meriwayatkan sekitar 76 hadis dari Nabi SAW. Beberapa hadis yang diriwayatkannya telah ditakhrij dalam kitab hadits Bukhari-Muslim sekitar 13 hadits; 7 hadis sama-sama disepakati oleh kedua imam (muttafaq ‘alaih), satu hadis lainnya ditulis oleh Bukhari, dan 5 hadits lainnya ditulis oleh Muslim.
(mhy)
Lihat Juga :