Kisah Khalifah Al-Mahdi Membangun Konspirasi Penggulingan Putra Mahkota Isa Bin Musa
Rabu, 18 Mei 2022 - 17:42 WIB
Khalifah ketiga Dinasti Abbasiyah ini bernama Muhammad bin Abdullah (Al-Manshur) bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia biasa dipanggil Abu Abdullah dan bergelar Al-Mahdi.
Ia menjabat sebagai khalifah setelah khalifah pendahulnya, Al-Manshur, melanggar wasiat khalifah pertama, As-Saffah, yang menunjuk Isa bin Musa sebagai khalifah pengganti Al-Manshur.
Pada era Al-Mahdi ini pun, Isa bin Musa yang gagal menggantikan Khalifah Al-Manshur rela menjadi putra mahkota kembali. Rupanya, seperti pendahulunya, Al-Mahdi pun kembali menyingkirkan Isa bin Musa dan menunjuk putranya sebagai calon penggantinya.
Al-Mahdi dilahirkan di Idzaj pada tahun 126 H, dari ibu yang bernama Ummu Musa binti Manshur al-Himyariyah. Dia dikenal sebagai sosok yang pemurah, berperawakan bagus dan memiliki akhlak yang baik.
Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyebutkan Al-Mahdi belajar akhlak mulia Islam, banyak berinteraksi dan berguru dengan para ulama, serta memiliki karakter yang sangat baik.
Tatkala menginjak dewasa, Al-Manshur mengangkatnya sebagai gubernur untuk memerintah wilayah Tabaristan dan sekitar. Dia dinobatkan sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah pada bulan Dzulhijjah 158 H, sesaat setelah menerima kabar bahwa ayahnya wafat dalam perjalanan ke tanah suci.
Melanggar Wasiat
Berdasarkan wasiat As-Saffah, Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang seharusnya menjadi khalifah setelah Al-Manshur, adalah paman mereka, yang bernama Isa bin Musa. Maka ketika masa awal pemerintahan Al-Manshur, Isa bin Musa berposisi sebagai putra mahkota.
Isa bin Musa adalah pengikut Al-Manshur yang sangat setia. Jasanya demikian besar pada Dinasti Abbasiyah. Bahkan dialah yang memimpin pasukan untuk menangkap dan membunuh anak keturunan Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pemberontakan dua anak Abdullah bin Hasan, bernama Muhammad dan Ibrahim.
Tapi setelah pondasi kekuasaan Al-Manshur kokoh, dan semua ancaman sudah bisa dihilangkan, Al-Manshur malah mendepaknya dari posisi sebagai putra mahkota, dan menggantikannya dengan putranya sendiri, Al-Mahdi.
Menariknya, sebagaimana dikisahkan dalam buku The History of al-Tabari, ketika datang keputusan ini, Isa bin Musa bisa diyakinkan bahwa setelah Al-Mahdi, dialah yang akan menggantikan selanjutnya. Maka proses pergantian kedudukan putra mahkota itu pun berlangsung sangat tenang. Nyaris tanpa gejolak yang berarti.
Akan tetapi, tepat ketika Al-Manshur wafat dalam perjalanan ke Mekkah ketegangan mulai muncul. Isa bin Musa yang saat itu menyertai Al-Manshur, tiba-tiba bangkit bersama pengikutnya dan menginginkan tampuk kekhalifahan. Untungnya ketika itu, para tokoh dan petinggi Bani Abbas langsung menghadap Musa bin Muhammad (putra Al-Mahdi) yang juga ikut dalam perjalanan haji. Melalui Musa inilah mereka semua membaiat Al-Mahdi.
Adapun dengan Isa bin Musa, yang ketika itu masih belum mau menyatakan kesetiaannya, dia dikepung oleh prajurit Abbasiyah dan ditodong sejata. Kemudian Ali bin Isa bin Mahan, yang merupakan pejabat tertinggi di rombongan itu, mendatangi Isa bin Musa. Dia menghunuskan pedangnya, lalu berkata, “Demi Allah, bersumpah setialah, atau aku akan memenggal kepalamu!!” Tersudut. Isa bin Musa akhirnya, lagi-lagi, harus menindas perasaan kecewanya, dan bersumpah setia pada Al-Mahdi.
Al-Mahdi menerima kabar duka tentang ayahnya ketika sedang berada di Baghdad, yang saat itu sudah menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah. Segera setelah itu dia naik ke podium dan menyampaikan pidato di depan khalayak. Antara lain isi pidatonya dia berkata: ”Sesungguhnya, Amirul Mukminin (Al-Manshur) adalah seorang hamba yang diminta lalu memenuhi permintaan itu dan seorang yang diperintah lalu menaati perintah itu.”
Sambil mengucapkan kalimat tersebut, kedua matanya berkaca-kaca. Kemudian dia melanjutkan:
“Saudara-saudara, taatlah kalian kepada kami saat sendiri dan saat bersama-sama. Niscaya kalian akan selamat dan mendapat balasan yang baik."
"Rendahkanlah ‘sayap’ ketaatan kalian untuk orang yang menegakkan keadilan, mengangkat beban dari kalian, serta menyebarkan kedamaian di antara kalian sebagaimana dikehendaki Allah. Demi Allah, aku akan menghabiskan umur antara menjatuhkan hukuman dan melakukan kebaikan kepada kalian.”
Demikianlah pidato pelantikan yang disampaikan Al-Mahdi sebagaimana dikutip dari Imam As-Suyuthi.
Amnesti Umum
Menurut catatan beberapa sejarawan, Al-Mahdi tergolong lebih bijak dibandingkan pendahulunya dalam mengelola pemerintahan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tabari, bahwa hal pertama yang dilakukan oleh Al-Mahdi di tahun pertamanya memerintah adalah membebaskan semua tahanan dan tawanan yang dipenjara Al-Mashur.
Amnesti umum ini tidak menyangkut orang-orang yang terbukti menumpahkan darah, koruptor dan orang-orang yang masih memiliki sangkutan/sengketa dengan orang lain.
Beberapa yang dibebaskan dalam amnesti umum ini adalah kelompok yang dulunya mendukung pemberontakan Muhammad dan Ibrahim. Mereka berdua adalah anak keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib.
Di antara mereka yang dibebaskan adalah Ya’qub bin Dawud dan putra dari Ibrahim, yaitu Hasan bin Ibrahim bin Abdallah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi dalam buku berjudul "The History Of Islam" setelah dibebaskan, kedua orang ini (Ya’qub dan Hasan) menjalin hubungan yang dekat dengan Al-Mahdi. Lama kelamaan, keduanya mendapat kepercayaan dan mendapat jabatan di dalam pemerintahan.
Awalnya, proses kedekatan mereka berlangsung sangat alamiah. Namun seiring berjalannya waktu, persahabatan ini ternyata memiliki dampak politik yang sangat signifikan. Di mana para pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib yang tadinya menjadi oposisi Dinasti Abbasiyah, secara perlahan sebagian besarnya bergabung dan mengendorkan determinasinya.
Penggulingan Putra Mahkota
Sayangnya, dalam perjalanannya, Al-Mahdi membuat keputusan kontroversial dengan, lagi-lagi, menyingkirkan Isa bin Musa dari kedudukan sebagai putra mahkota.
Awalnya berita ini hanya berupa desas desus. Tapi kemudian datanglah surat dari khalifah yang memintanya untuk datang ke Baghdad menghadap khalifah. Mengetahui maksud dari pertemuan tersebut, Isa bin Musa hanya diam, dan tidak menggubris perintah khalifah. Lalu tiba lagi surat panggilan berikutnya, tapi Isa bin Musa tetap merespon dingin. Hingga kemudian diutuslah salah satu tokoh terkemukan Bani Abbas yang juga paman Al-Mahdi, Abbas bin Muhammad, kepada Isa bin Musa.
Dia mendatangi Isa sambil membawa surat dari khalifah yang isinya membujuk agar Isa bersedia datang ke Baghdad. Tapi lagi-lagi Isa bersikeras menolak. Tapi kali ini dia bersedia menulis surat balasan kepada khalifah yang isinya dia tidak bersedia datang karena satu dan lain alasan.
Mendapat surat tanggapan dari Isa bin Musa, Al-Mahdi tampaknya geram. Dia lalu memerintahkan pada komandan pasukan bernama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah, untuk membawa paksa Isa bin Musa.
Tidak main-main, Muhammad bin Farrukh membawa serta bersamanya ribuan pasukan bersenjata lengkap, layaknya sebuah ekspedisi perang. Sesampainya di pemukiman Isa bin Musa, mereka membunyikan genderang, sebagai tanda ancaman bahwa mereka akan menyerang.
Mendengar suara gaduh ini, Isa bin Musa ketakutan, dan para pengawalnya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Muhammad bin Farrukh segera masuk ke rumah Isa bin Musa dan memerintahkannya berkemas untuk menghadap khalifah. Namun dia masih beralasan, bahwa saat itu dia sedang sakit. Tapi alasan ini tidak diterima oleh Muhammad bin Farrukh. Dia lalu membawa paksa Isa bin Musa ke Baghdad.
Isa bin Musa tiba di Baghdad bersama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah pada awal tahun 160 H. Di sinilah drama penggulingan putra mahkota ini di mulai. Mulanya, dia diterima baik oleh Al-Mahdi layaknya sahabat dan keluarga. Demikian juga dengan keluarga dan pejabat-pejabat Al-Mahdi mereka memperlakukan Isa bin Musa layaknya seorang putra mahkota.
Selama beberapa hari, dia bisa keluar masuk melalui pintu khusus yang membuatnya leluasan bertemu dengan khalifah. Intinya, tidak ada satupun masalah yang sebelum ini dikhawatirkannya akan terjadi.
Kemudian suatu hari, Isa bin Musa menghadiri sebuah acara yang di dalamnya ada sejumlah kompok atau partai pendukung kaum Abbasiyah. Tiba-tiba para ketua kelompok di tempat itu menyerang dan menghinanya dengan kebencian yang amat dalam.
Al-Mahdi yang mengetahui hal ini, sebenarnya tidak menyetujui perbuatan mereka. Tapi dia diam saja, dan tidak menghalangi perbuatan mereka pada Isa bin Musa. Hal ini membuat kelompok-kelompok tersebut kian berani mengintensifkan serangannya pada Isa bin Musa. Kondisi ini dibiarkan terjadi selama beberapa hari. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh senior Bani Abbas menyarankan agar mereka yang bertikai membawa masalah ini ke hadapan khalifah. Maka digelarlah pertemuan.
Dalam pertemuan tersebut, para pimpinan kelompok terus menunjukkan permusuhannya pada Isa bin Musa dan menolak untuk mengakuinya sebagai putra mahkota. Melihat situasi ini, Al-Mahdi menilai bahwa mereka harus diberikan jalan keluar.
Lalu dia mengusulkan, untuk mengganti Isa bin Musa dari posisi putra mahkota dan menawarkan putranya yang bernama Musa sebagai putra mahkota. Usulan khalifah ini ternyata langsung disetujui oleh majelis tersebut, kecuali Isa bin Musa yang baru menyadari tentang drama yang berlangsung ini. Tapi dia sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Al-Mahdi kemudian meminta pendapat Isa bin Musa mengenai kesepakatan ini. Isa lagi-lagi terpojok. Dia tidak bisa memilih. Dalam situasi ini, dia hanya bisa memberikan usulan sederhana, bahwa di belakangnya, ada sejumlah orang dan kelompok yang sudah mengangkat sumpah setia padanya. Dia meminta agar khalifah memberi solusi untuk mengatasi kekecewaan mereka.
Al-Mahdi lalu mengirimkan sejumlah ulama dan ahli hukum untuk memutuskan masalah ini. Setelah memikirkan beberapa waktu, akhirnya mereka menyetujui keinginan Isa bin Musa. Al-Mahdi pun akhinya memutuskan untuk membeli sumpah dari Isa bin Musa seharga 10.000.000 Dirham, ditambah sebuah pemukiman untuknya di wilayah Zab dan Kaskar. Dan harga ini pun disetujui oleh Isa bin Musa.
Demikianlah, proses penggulingan putra mahkota ini berlangsung demikian tertib dan alamiah. Beberapa hari kemudian, Al-Mahdi menggelar acara khusus untuk serah terima posisi putra mahkota ini. Dia ingin agar semua orang mendengar keputusan penting ini. Karena ini menyangkut legitimasi kepemimpinan setelah dirinya. Maka dipanggil lah semua tokoh terkemuka di masanya, termasuk pejabat dan para jenderal Abbasiyah.
Mereka semua dikumpulkan untuk mendengarkan pengunduran diri Isa bin Musa, lalu dilanjutkan dengan penobatan Musa bin Al-Mahdi sebagai putra mahkota. Mereka semua pun secara aklamasi bersumpah setia pada Musa bin Al-Mahdi.
Ia menjabat sebagai khalifah setelah khalifah pendahulnya, Al-Manshur, melanggar wasiat khalifah pertama, As-Saffah, yang menunjuk Isa bin Musa sebagai khalifah pengganti Al-Manshur.
Pada era Al-Mahdi ini pun, Isa bin Musa yang gagal menggantikan Khalifah Al-Manshur rela menjadi putra mahkota kembali. Rupanya, seperti pendahulunya, Al-Mahdi pun kembali menyingkirkan Isa bin Musa dan menunjuk putranya sebagai calon penggantinya.
Al-Mahdi dilahirkan di Idzaj pada tahun 126 H, dari ibu yang bernama Ummu Musa binti Manshur al-Himyariyah. Dia dikenal sebagai sosok yang pemurah, berperawakan bagus dan memiliki akhlak yang baik.
Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyebutkan Al-Mahdi belajar akhlak mulia Islam, banyak berinteraksi dan berguru dengan para ulama, serta memiliki karakter yang sangat baik.
Tatkala menginjak dewasa, Al-Manshur mengangkatnya sebagai gubernur untuk memerintah wilayah Tabaristan dan sekitar. Dia dinobatkan sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah pada bulan Dzulhijjah 158 H, sesaat setelah menerima kabar bahwa ayahnya wafat dalam perjalanan ke tanah suci.
Melanggar Wasiat
Berdasarkan wasiat As-Saffah, Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang seharusnya menjadi khalifah setelah Al-Manshur, adalah paman mereka, yang bernama Isa bin Musa. Maka ketika masa awal pemerintahan Al-Manshur, Isa bin Musa berposisi sebagai putra mahkota.
Isa bin Musa adalah pengikut Al-Manshur yang sangat setia. Jasanya demikian besar pada Dinasti Abbasiyah. Bahkan dialah yang memimpin pasukan untuk menangkap dan membunuh anak keturunan Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pemberontakan dua anak Abdullah bin Hasan, bernama Muhammad dan Ibrahim.
Tapi setelah pondasi kekuasaan Al-Manshur kokoh, dan semua ancaman sudah bisa dihilangkan, Al-Manshur malah mendepaknya dari posisi sebagai putra mahkota, dan menggantikannya dengan putranya sendiri, Al-Mahdi.
Menariknya, sebagaimana dikisahkan dalam buku The History of al-Tabari, ketika datang keputusan ini, Isa bin Musa bisa diyakinkan bahwa setelah Al-Mahdi, dialah yang akan menggantikan selanjutnya. Maka proses pergantian kedudukan putra mahkota itu pun berlangsung sangat tenang. Nyaris tanpa gejolak yang berarti.
Akan tetapi, tepat ketika Al-Manshur wafat dalam perjalanan ke Mekkah ketegangan mulai muncul. Isa bin Musa yang saat itu menyertai Al-Manshur, tiba-tiba bangkit bersama pengikutnya dan menginginkan tampuk kekhalifahan. Untungnya ketika itu, para tokoh dan petinggi Bani Abbas langsung menghadap Musa bin Muhammad (putra Al-Mahdi) yang juga ikut dalam perjalanan haji. Melalui Musa inilah mereka semua membaiat Al-Mahdi.
Adapun dengan Isa bin Musa, yang ketika itu masih belum mau menyatakan kesetiaannya, dia dikepung oleh prajurit Abbasiyah dan ditodong sejata. Kemudian Ali bin Isa bin Mahan, yang merupakan pejabat tertinggi di rombongan itu, mendatangi Isa bin Musa. Dia menghunuskan pedangnya, lalu berkata, “Demi Allah, bersumpah setialah, atau aku akan memenggal kepalamu!!” Tersudut. Isa bin Musa akhirnya, lagi-lagi, harus menindas perasaan kecewanya, dan bersumpah setia pada Al-Mahdi.
Al-Mahdi menerima kabar duka tentang ayahnya ketika sedang berada di Baghdad, yang saat itu sudah menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah. Segera setelah itu dia naik ke podium dan menyampaikan pidato di depan khalayak. Antara lain isi pidatonya dia berkata: ”Sesungguhnya, Amirul Mukminin (Al-Manshur) adalah seorang hamba yang diminta lalu memenuhi permintaan itu dan seorang yang diperintah lalu menaati perintah itu.”
Sambil mengucapkan kalimat tersebut, kedua matanya berkaca-kaca. Kemudian dia melanjutkan:
“Saudara-saudara, taatlah kalian kepada kami saat sendiri dan saat bersama-sama. Niscaya kalian akan selamat dan mendapat balasan yang baik."
"Rendahkanlah ‘sayap’ ketaatan kalian untuk orang yang menegakkan keadilan, mengangkat beban dari kalian, serta menyebarkan kedamaian di antara kalian sebagaimana dikehendaki Allah. Demi Allah, aku akan menghabiskan umur antara menjatuhkan hukuman dan melakukan kebaikan kepada kalian.”
Demikianlah pidato pelantikan yang disampaikan Al-Mahdi sebagaimana dikutip dari Imam As-Suyuthi.
Amnesti Umum
Menurut catatan beberapa sejarawan, Al-Mahdi tergolong lebih bijak dibandingkan pendahulunya dalam mengelola pemerintahan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tabari, bahwa hal pertama yang dilakukan oleh Al-Mahdi di tahun pertamanya memerintah adalah membebaskan semua tahanan dan tawanan yang dipenjara Al-Mashur.
Amnesti umum ini tidak menyangkut orang-orang yang terbukti menumpahkan darah, koruptor dan orang-orang yang masih memiliki sangkutan/sengketa dengan orang lain.
Beberapa yang dibebaskan dalam amnesti umum ini adalah kelompok yang dulunya mendukung pemberontakan Muhammad dan Ibrahim. Mereka berdua adalah anak keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib.
Di antara mereka yang dibebaskan adalah Ya’qub bin Dawud dan putra dari Ibrahim, yaitu Hasan bin Ibrahim bin Abdallah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Menurut Akbar Shah Najeebabadi dalam buku berjudul "The History Of Islam" setelah dibebaskan, kedua orang ini (Ya’qub dan Hasan) menjalin hubungan yang dekat dengan Al-Mahdi. Lama kelamaan, keduanya mendapat kepercayaan dan mendapat jabatan di dalam pemerintahan.
Awalnya, proses kedekatan mereka berlangsung sangat alamiah. Namun seiring berjalannya waktu, persahabatan ini ternyata memiliki dampak politik yang sangat signifikan. Di mana para pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib yang tadinya menjadi oposisi Dinasti Abbasiyah, secara perlahan sebagian besarnya bergabung dan mengendorkan determinasinya.
Penggulingan Putra Mahkota
Sayangnya, dalam perjalanannya, Al-Mahdi membuat keputusan kontroversial dengan, lagi-lagi, menyingkirkan Isa bin Musa dari kedudukan sebagai putra mahkota.
Awalnya berita ini hanya berupa desas desus. Tapi kemudian datanglah surat dari khalifah yang memintanya untuk datang ke Baghdad menghadap khalifah. Mengetahui maksud dari pertemuan tersebut, Isa bin Musa hanya diam, dan tidak menggubris perintah khalifah. Lalu tiba lagi surat panggilan berikutnya, tapi Isa bin Musa tetap merespon dingin. Hingga kemudian diutuslah salah satu tokoh terkemukan Bani Abbas yang juga paman Al-Mahdi, Abbas bin Muhammad, kepada Isa bin Musa.
Dia mendatangi Isa sambil membawa surat dari khalifah yang isinya membujuk agar Isa bersedia datang ke Baghdad. Tapi lagi-lagi Isa bersikeras menolak. Tapi kali ini dia bersedia menulis surat balasan kepada khalifah yang isinya dia tidak bersedia datang karena satu dan lain alasan.
Mendapat surat tanggapan dari Isa bin Musa, Al-Mahdi tampaknya geram. Dia lalu memerintahkan pada komandan pasukan bernama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah, untuk membawa paksa Isa bin Musa.
Tidak main-main, Muhammad bin Farrukh membawa serta bersamanya ribuan pasukan bersenjata lengkap, layaknya sebuah ekspedisi perang. Sesampainya di pemukiman Isa bin Musa, mereka membunyikan genderang, sebagai tanda ancaman bahwa mereka akan menyerang.
Mendengar suara gaduh ini, Isa bin Musa ketakutan, dan para pengawalnya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Muhammad bin Farrukh segera masuk ke rumah Isa bin Musa dan memerintahkannya berkemas untuk menghadap khalifah. Namun dia masih beralasan, bahwa saat itu dia sedang sakit. Tapi alasan ini tidak diterima oleh Muhammad bin Farrukh. Dia lalu membawa paksa Isa bin Musa ke Baghdad.
Isa bin Musa tiba di Baghdad bersama Muhammad bin Farrukh Abu Hurayrah pada awal tahun 160 H. Di sinilah drama penggulingan putra mahkota ini di mulai. Mulanya, dia diterima baik oleh Al-Mahdi layaknya sahabat dan keluarga. Demikian juga dengan keluarga dan pejabat-pejabat Al-Mahdi mereka memperlakukan Isa bin Musa layaknya seorang putra mahkota.
Selama beberapa hari, dia bisa keluar masuk melalui pintu khusus yang membuatnya leluasan bertemu dengan khalifah. Intinya, tidak ada satupun masalah yang sebelum ini dikhawatirkannya akan terjadi.
Kemudian suatu hari, Isa bin Musa menghadiri sebuah acara yang di dalamnya ada sejumlah kompok atau partai pendukung kaum Abbasiyah. Tiba-tiba para ketua kelompok di tempat itu menyerang dan menghinanya dengan kebencian yang amat dalam.
Al-Mahdi yang mengetahui hal ini, sebenarnya tidak menyetujui perbuatan mereka. Tapi dia diam saja, dan tidak menghalangi perbuatan mereka pada Isa bin Musa. Hal ini membuat kelompok-kelompok tersebut kian berani mengintensifkan serangannya pada Isa bin Musa. Kondisi ini dibiarkan terjadi selama beberapa hari. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh senior Bani Abbas menyarankan agar mereka yang bertikai membawa masalah ini ke hadapan khalifah. Maka digelarlah pertemuan.
Dalam pertemuan tersebut, para pimpinan kelompok terus menunjukkan permusuhannya pada Isa bin Musa dan menolak untuk mengakuinya sebagai putra mahkota. Melihat situasi ini, Al-Mahdi menilai bahwa mereka harus diberikan jalan keluar.
Lalu dia mengusulkan, untuk mengganti Isa bin Musa dari posisi putra mahkota dan menawarkan putranya yang bernama Musa sebagai putra mahkota. Usulan khalifah ini ternyata langsung disetujui oleh majelis tersebut, kecuali Isa bin Musa yang baru menyadari tentang drama yang berlangsung ini. Tapi dia sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Al-Mahdi kemudian meminta pendapat Isa bin Musa mengenai kesepakatan ini. Isa lagi-lagi terpojok. Dia tidak bisa memilih. Dalam situasi ini, dia hanya bisa memberikan usulan sederhana, bahwa di belakangnya, ada sejumlah orang dan kelompok yang sudah mengangkat sumpah setia padanya. Dia meminta agar khalifah memberi solusi untuk mengatasi kekecewaan mereka.
Al-Mahdi lalu mengirimkan sejumlah ulama dan ahli hukum untuk memutuskan masalah ini. Setelah memikirkan beberapa waktu, akhirnya mereka menyetujui keinginan Isa bin Musa. Al-Mahdi pun akhinya memutuskan untuk membeli sumpah dari Isa bin Musa seharga 10.000.000 Dirham, ditambah sebuah pemukiman untuknya di wilayah Zab dan Kaskar. Dan harga ini pun disetujui oleh Isa bin Musa.
Demikianlah, proses penggulingan putra mahkota ini berlangsung demikian tertib dan alamiah. Beberapa hari kemudian, Al-Mahdi menggelar acara khusus untuk serah terima posisi putra mahkota ini. Dia ingin agar semua orang mendengar keputusan penting ini. Karena ini menyangkut legitimasi kepemimpinan setelah dirinya. Maka dipanggil lah semua tokoh terkemuka di masanya, termasuk pejabat dan para jenderal Abbasiyah.
Mereka semua dikumpulkan untuk mendengarkan pengunduran diri Isa bin Musa, lalu dilanjutkan dengan penobatan Musa bin Al-Mahdi sebagai putra mahkota. Mereka semua pun secara aklamasi bersumpah setia pada Musa bin Al-Mahdi.
(mhy)