Rasulullah SAW Beristighfar dan Meminta Taubat Lebih dari 70 Kali Sehari, Begini Bacaannya
Minggu, 22 Mei 2022 - 19:02 WIB
Rasulullah SAW adalah manusia yang paling banyak beristighfar kepada Rabbnya. Sahabat beliau pernah menghitung, dalam satu majlis, Rasulullah SAW lebih dari tujuh puluh kali mengucapkan: "Wahai Rabb-ku ampunilah daku dan berilah aku taubat ".
An-Nasaai meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah SAW mengucapkan: "Aku memohon ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia Yang Hidup kekal dan terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Aku memohon tobat kepadaNya" dalam satu majlis sebelum bangkit darinya, sebanyak seratus kali.
Dalam satu riwayat: "kami menghitung Rasulullah SAW dalam satu majlis mengucapkan: 'Wahai Rabb-ku ampunilah daku dan berilah daku taubat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi tobat dan Maha Pengampun' sebanyak seratus kali." [Fathul Bari: 11/101, 102].
Dalam sahih Muslim dari hadis al Aghar al Muzni diriwayatkan: "Pernah ada kelalaian untuk berzikir dalam hatiku, dan aku beristigfar kepada Allah SWT setiap hari sebanyak seratus kali untuk kelalaian itu."
Dalam Sahih Bukhari dari hadis Abi Hurairah ra: "Demi Allah, aku beristighfar dan meminta taubat kepada Allah SWT dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali."
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" menjelaskan ulama menafsirkan "al ghain" yang berada dalam hati Rasulullah SAW itu adalah: suatu masa Rasulullah SAW tidak melakukan zikir yang terus dilakukan beliau. Dan jika Rasulullah SAW melupakannya karena suatu hal, maka beliau menganggap itu sebagai dosa, dan beliau beristighfar kepada Allah SWT dari kelalaian itu.
"Ada yang berpendapat itu adalah sesuatu yang terjadi dalam hati, seperti keinginan hati yang biasa terjadi dalam diri manusia," tuturnya.
Ada yang berpendapat: para nabi adalah orang yang amat berusaha keras untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Karena mereka mengetahui hak-Nya atas mereka sehingga mereka terus bersyukur kepada Allah SWT, dan mengakui bahwa mereka selalu kurang sempurna dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada mereka.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berkata: adalah Rasulullah SAW selalu meningkat derajat beliau. Dan setiap kali beliau menaiki suatu derajat maka beliau akan melihat derajat yang sebelumnya, dan beliau akan beristighfar atas derajat yang lebih rendah itu. [Fathul Bari: 11/ 102, 102].
Al Muhasiby berkata: malaikat dan para nabi adalah orang yang lebih takut kepada Allah SWT dibandingkan orang yang lebih rendah derajatnya dari mereka. Dan takut mereka adalah sebuah takut penghormatan dan pemuliaan. Mereka beristighfar dari kekurang sempurnaan dalam menjalankan apa yang seharusnya, bukan karena dosa yang dilakukan.
Qadhi 'Iyadh berkata: sabda beliau: "Wahai Rabb-ku ampunilah dosaku dan ampunilah atas apa yang aku telah dahulukan dan apa yang aku telah tunda dapat dinilai sebagai sebuah ungkapan dari ketawadhu'an, ketundukan, sikap merendahkan diri, dan sebagai kesyukuran kepada Rabb, karena beliau tahu bahwa Allah SWT telah mengampuninya. [Fathul Bari: 11/ 198].
Terdapat hadis sahih dari Rasulullah SAW tentang bentuk redaksional istighfar beliau yang tidak pernah digunakan oleh seorang nabi atau Rasul pun sebelum beliau, yaitu:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, tingkah berlebihan dalam perkaraku, serta apa yang Engkau lebih tahu dariku. Ya Allah ampunilah keseriusan dan sikap humorku, ketidak sengajaan dan kesengajaanku, dan seluruh perbuatan seperti itu yang ada padaku. Ya Allah, ampunilah apa yang aku dahulukan dan apa yang aku akhirkan, serta apa yang sembunyikan dan apa yang aku beritahukan, dan Engkau adalah Yang memajukan dan Engkau pula Yang memundurkan, dan Engkau adalah Maha kuasa atas segala sesuatu." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Musa. Fathul Bari 11/ 196, 197].
Dan Rasulullah SAW bersabda: sayyidul istighfar adalah engkau mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu dan aku akan terus berada dalam jalan dan janji-Mu selama aku mampun. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku akui pula dosa yang telah aku perbuat, maka ampunilah daku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain daripada Engkau." [Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ad Da'awat dari Syidad bin Aus dengan nomor: (6306)].
Syeikh Ibnu Abi Hamzah dalam Fathul Bari mengatakan, dalam hadis ini terkumpulkan keelokan makna dan keindahan lafazh, sehingga memang ia berhak disebut sebagai sayyidul istighfar. Di dalamnya terdapat pengakuan bagi Allah SWT atas ke-tuhanan-Nya, bagi diri-Nya semata, dan penyembahan kepada-Nya. Juga pengakuan bahwa Dia adalah Sang Pencipta, pengakuan akan perjanjian yang telah diambilnya dari Allah SWT, pengharapan akan janji yang telah diberikan oleh Allah SWT, perlindungan dari kejahatan yang dilakukan oleh hamba atas dirinya sendiri, penisbahan nikmat kepadaNya, sementara menisbahkan dosa kepada dirinya sendiri, juga keinginannya untuk meminta ampunan, serta pengakuannya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memberikan pengampunan itu selain Allah SWT.
Seluruh sisi itu menunjukkan penyatuan antara sisi syariah dengan hakikat. Karena kewajiban-kewajiban syari'ah terwujudkan dengan adanya pertolongan dan bantuan Allah SWT. Inilah apa yang dikatakan sebagai hakikat.
An-Nasaai meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah SAW mengucapkan: "Aku memohon ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia Yang Hidup kekal dan terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Aku memohon tobat kepadaNya" dalam satu majlis sebelum bangkit darinya, sebanyak seratus kali.
Dalam satu riwayat: "kami menghitung Rasulullah SAW dalam satu majlis mengucapkan: 'Wahai Rabb-ku ampunilah daku dan berilah daku taubat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi tobat dan Maha Pengampun' sebanyak seratus kali." [Fathul Bari: 11/101, 102].
Dalam sahih Muslim dari hadis al Aghar al Muzni diriwayatkan: "Pernah ada kelalaian untuk berzikir dalam hatiku, dan aku beristigfar kepada Allah SWT setiap hari sebanyak seratus kali untuk kelalaian itu."
Dalam Sahih Bukhari dari hadis Abi Hurairah ra: "Demi Allah, aku beristighfar dan meminta taubat kepada Allah SWT dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali."
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" menjelaskan ulama menafsirkan "al ghain" yang berada dalam hati Rasulullah SAW itu adalah: suatu masa Rasulullah SAW tidak melakukan zikir yang terus dilakukan beliau. Dan jika Rasulullah SAW melupakannya karena suatu hal, maka beliau menganggap itu sebagai dosa, dan beliau beristighfar kepada Allah SWT dari kelalaian itu.
"Ada yang berpendapat itu adalah sesuatu yang terjadi dalam hati, seperti keinginan hati yang biasa terjadi dalam diri manusia," tuturnya.
Ada yang berpendapat: para nabi adalah orang yang amat berusaha keras untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Karena mereka mengetahui hak-Nya atas mereka sehingga mereka terus bersyukur kepada Allah SWT, dan mengakui bahwa mereka selalu kurang sempurna dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada mereka.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berkata: adalah Rasulullah SAW selalu meningkat derajat beliau. Dan setiap kali beliau menaiki suatu derajat maka beliau akan melihat derajat yang sebelumnya, dan beliau akan beristighfar atas derajat yang lebih rendah itu. [Fathul Bari: 11/ 102, 102].
Al Muhasiby berkata: malaikat dan para nabi adalah orang yang lebih takut kepada Allah SWT dibandingkan orang yang lebih rendah derajatnya dari mereka. Dan takut mereka adalah sebuah takut penghormatan dan pemuliaan. Mereka beristighfar dari kekurang sempurnaan dalam menjalankan apa yang seharusnya, bukan karena dosa yang dilakukan.
Qadhi 'Iyadh berkata: sabda beliau: "Wahai Rabb-ku ampunilah dosaku dan ampunilah atas apa yang aku telah dahulukan dan apa yang aku telah tunda dapat dinilai sebagai sebuah ungkapan dari ketawadhu'an, ketundukan, sikap merendahkan diri, dan sebagai kesyukuran kepada Rabb, karena beliau tahu bahwa Allah SWT telah mengampuninya. [Fathul Bari: 11/ 198].
Terdapat hadis sahih dari Rasulullah SAW tentang bentuk redaksional istighfar beliau yang tidak pernah digunakan oleh seorang nabi atau Rasul pun sebelum beliau, yaitu:
"Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, tingkah berlebihan dalam perkaraku, serta apa yang Engkau lebih tahu dariku. Ya Allah ampunilah keseriusan dan sikap humorku, ketidak sengajaan dan kesengajaanku, dan seluruh perbuatan seperti itu yang ada padaku. Ya Allah, ampunilah apa yang aku dahulukan dan apa yang aku akhirkan, serta apa yang sembunyikan dan apa yang aku beritahukan, dan Engkau adalah Yang memajukan dan Engkau pula Yang memundurkan, dan Engkau adalah Maha kuasa atas segala sesuatu." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Musa. Fathul Bari 11/ 196, 197].
Dan Rasulullah SAW bersabda: sayyidul istighfar adalah engkau mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu dan aku akan terus berada dalam jalan dan janji-Mu selama aku mampun. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku akui pula dosa yang telah aku perbuat, maka ampunilah daku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain daripada Engkau." [Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ad Da'awat dari Syidad bin Aus dengan nomor: (6306)].
Syeikh Ibnu Abi Hamzah dalam Fathul Bari mengatakan, dalam hadis ini terkumpulkan keelokan makna dan keindahan lafazh, sehingga memang ia berhak disebut sebagai sayyidul istighfar. Di dalamnya terdapat pengakuan bagi Allah SWT atas ke-tuhanan-Nya, bagi diri-Nya semata, dan penyembahan kepada-Nya. Juga pengakuan bahwa Dia adalah Sang Pencipta, pengakuan akan perjanjian yang telah diambilnya dari Allah SWT, pengharapan akan janji yang telah diberikan oleh Allah SWT, perlindungan dari kejahatan yang dilakukan oleh hamba atas dirinya sendiri, penisbahan nikmat kepadaNya, sementara menisbahkan dosa kepada dirinya sendiri, juga keinginannya untuk meminta ampunan, serta pengakuannya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memberikan pengampunan itu selain Allah SWT.
Seluruh sisi itu menunjukkan penyatuan antara sisi syariah dengan hakikat. Karena kewajiban-kewajiban syari'ah terwujudkan dengan adanya pertolongan dan bantuan Allah SWT. Inilah apa yang dikatakan sebagai hakikat.
(mhy)