Cara Taubat Ghibah, Menuduh Zina, dan Perbuatan Zalim Lainnya
Jum'at, 03 Juni 2022 - 17:33 WIB
Bagaimana cara bertaubat setelah melakukan penghinaan terhadap seseorang dengan ghibah , qadzaf ( menuduh zina ), mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya?
Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan darinya? Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?
Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" menyebut ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Dari Imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela.
Dalam mazhab Syafi'i , Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-sahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zalimi itu kadar haknya itu.
Oleh karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya.
Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Mereka berkata, karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Mereka berkata, oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.
Tidak Disyaratkan
Pendapat yang lain mengatakan tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah .
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja.
Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya selama-lamanya.
Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkan kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih- sayang antara mereka.
Selanjutnya menurut mereka, perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:
Pertama, ia dapat mengambil manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepadanya.
Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya, malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.
Kedua, karena tentang harta itu, jika ia memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan senang.
Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan celaan. Maka, menurut Yusuf al-Qardhawi, mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu a'lam.
Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan darinya? Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?
Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" menyebut ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Dari Imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela.
Dalam mazhab Syafi'i , Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-sahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Baca Juga
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zalimi itu kadar haknya itu.
Oleh karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya.
Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Mereka berkata, karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka taubat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Mereka berkata, oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga taubat perampok.
Baca Juga
Tidak Disyaratkan
Pendapat yang lain mengatakan tidak disyaratkan dalam taubat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertaubat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah .
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja.
Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Dapat juga keterusterangannya itu akan menjadi pangkal permusuhan antara dia dengan orang yang membeberkan kesalahannya itu, dan ia tidak akan ridha terhadapnya selama-lamanya.
Dari tahunya itu akan melahirkan permusuhan dan kemarahan yang mengakibatkan kejahatan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan qadzaf. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syari'ah untuk menyatukan hati dan saling kasih- sayang antara mereka.
Selanjutnya menurut mereka, perbedaan antara hak itu dengan hak-hak harta dan hak atas tubuh ada dua segi:
Pertama, ia dapat mengambil manfaat darinya jika dikembalikan kepadanya, oleh karena itu tidak boleh disembunyikan darinya, karena itu adalah haknya, dan harus diberikan kepadanya.
Berbeda dengan ghibah dan qadzaf, dalam hal ini tidak ada yang dapat memberikan manfaat baginya, malah akan membuatnya sulit dan sakit hati saja. Dan jika di antara keduanya dilakukan qiyas, itu adalah qiyas yang paling buruk.
Kedua, karena tentang harta itu, jika ia memberitahukan orang yang berhak itu, maka itu tidak membuatnya teraniaya, serta tidak pula menimbulkan marah dan sakit hati, malah itu dapat membuatnya gembira dan senang.
Berbeda halnya jika ia memberitahukannya apa yang merobek harga dirinya sepanjang usinya, siang dan malam, seperti qadzaf, ghibah dan celaan. Maka, menurut Yusuf al-Qardhawi, mengukur masalah terakhir ini dengan yang pertama adalah tidak benar. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat. Wallahu a'lam.
Baca Juga
(mhy)