Cara Taubat karena Melalaikan Sholat, Puasa, Zakat, Haji, dan Hak-Hak Allah Ta'ala
Kamis, 16 Juni 2022 - 18:19 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan syarat keabsahan taubat yang berkaitan dengan masa lalu adalah agar ia melayangkan padangannya kembali ke masa lalunya, pada hari pertama ia mencapai usia baligh, kemudian ia meneliti masa-masa lalu dari usianya itu tahun per tahun, bulan per bulan, hari per hari dan setiap tarikan nafas yang telah ia lakukan.
Kemudian ia melihat ketaatan yang menjadi kewajibannya, apa yang tidak ia kerjakan? Kemudian kepada kemaksiatan, apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu?
Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" mencontohkan jika ia pernah meninggalkan sholat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan sholat itu, hendaklah ia mengqadha sholatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan sholat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa sholat yang pernah ia tinggalkan. "Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti dengan serius," ujarnya.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya.
Tentang zakat , hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu -- tidak dari masa balighnya, karena zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi.
Sedangkan masalah haji , jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan haji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya.
Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya haji itu.
Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan jatah dari zakat atau shodaqah sehingga ia dapat menunaikan haji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan haji maka ia mati dalam keadaan maksiat.
"Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk haji itu, tidak menghapus kewajiban haji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya," ujarnya.
Kemaksiatan
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya.
"Kemudian ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar," tuturnya.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia.
Maka taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setarap dengannya.
Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Bertakwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan menghapusnya" [HR Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya hadits ini telah disebut.]
Juga firman Allah SWT:
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)perbuatan-perbuatan yang buruk"[QS Huud: 114.].
Mendengar yang Haram
Menurut al-Qardhawi, dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al-Qur'an dan majlis zikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah.
Dosa menyentuh mushaf dengan tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersadaqah dengan minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Intinya, mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Karena suatu sakit diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bercokol dalam hati karena kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil.
Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT.
Al-Qardhawi mengatakan sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah menyenangi dunia itu serta merindukannya.
"Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus) cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh dari dunia," demikian Syaikh Yusuf Al-Qardhawi.
Kemudian ia melihat ketaatan yang menjadi kewajibannya, apa yang tidak ia kerjakan? Kemudian kepada kemaksiatan, apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu?
Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah" mencontohkan jika ia pernah meninggalkan sholat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan sholat itu, hendaklah ia mengqadha sholatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan sholat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa sholat yang pernah ia tinggalkan. "Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti dengan serius," ujarnya.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya karena mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya.
Tentang zakat , hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu -- tidak dari masa balighnya, karena zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi.
Sedangkan masalah haji , jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan haji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya.
Jika ia tidak mampu karena hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya haji itu.
Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan jatah dari zakat atau shodaqah sehingga ia dapat menunaikan haji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan haji maka ia mati dalam keadaan maksiat.
"Karena ketidak mampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk haji itu, tidak menghapus kewajiban haji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya," ujarnya.
Kemaksiatan
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya.
"Kemudian ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar," tuturnya.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri'tiqad dengan i'tiqad bid'ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia.
Maka taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setarap dengannya.
Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Bertakwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik niscaya ia akan menghapusnya" [HR Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya hadits ini telah disebut.]
Juga firman Allah SWT:
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)perbuatan-perbuatan yang buruk"[QS Huud: 114.].
Mendengar yang Haram
Menurut al-Qardhawi, dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al-Qur'an dan majlis zikir. Dosa duduk di mesjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan beri'tikaf di dalamnya sambil beribadah.
Dosa menyentuh mushaf dengan tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersadaqah dengan minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Intinya, mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Karena suatu sakit diobati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bercokol dalam hati karena kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh karena itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Karena sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil.
Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT.
Al-Qardhawi mengatakan sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah menyenangi dunia itu serta merindukannya.
"Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus) cinta dunia itu. Karena dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh dari dunia," demikian Syaikh Yusuf Al-Qardhawi.
(mhy)