Taubat Nasuha: Setiap Dosa Memiliki Cara Taubat Tersendiri
loading...
A
A
A
Ibnu Katsir dalam tafsirnya melemparkan pertanyaan: apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati? Sebuah hadis dan atsar menyampaikan "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya".
Lalu, Ibnu Katsir melanjutkan, ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan. Lalu dia mengutip hadis, bahwa "taubat menghapus dosa yang sebelumnya".
Dalam membahas hal ini Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Madarij Salikin" menyebut dua pendapat. Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.
Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Dosa Baru
Mereka yang berpendapat demikian, mengatakan yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Menurut mereka, tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Hal ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Kekafiran menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan.
Jadi, menurut mereka, pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Pendapat ini bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [ QS an-Nisa : 40].
Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi SAW:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [ QS Ali Imran : 135].
Terus melakukan dosa adalah membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam sholat. Ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya.
Lalu, Ibnu Katsir melanjutkan, ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan. Lalu dia mengutip hadis, bahwa "taubat menghapus dosa yang sebelumnya".
Dalam membahas hal ini Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Madarij Salikin" menyebut dua pendapat. Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.
Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Dosa Baru
Mereka yang berpendapat demikian, mengatakan yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Menurut mereka, tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Hal ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Kekafiran menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan.
Jadi, menurut mereka, pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik.
Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Pendapat ini bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [ QS an-Nisa : 40].
Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi SAW:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [ QS Ali Imran : 135].
Terus melakukan dosa adalah membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam sholat. Ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya.