Para Santri Mengkritik Cara Mengajar Abu Nawas
Jum'at, 26 Juni 2020 - 08:05 WIB
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). (
)
Berita tentang kecerdasan dan kecerdikan Abu Nawas sudah tersebar di seluruh Baghdad. Santri Abu Nawas saban hari juga terus bertambah.
Hanya saja, tak semua santri merasa puas dengan cara mengajar Abu Nawas. Suatu ketika seorang santri yang tampak kritis mengeluh serta mengkritik gurunya itu. Ia bilang spiritualitas Abu Nawas perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. ( )
Tentu saja, protes itu membuat Abu Nawas terkejut juga. Namun, bukan Abu Nawas kalau menanggapi susuatu tidak dengan lelucon. Ia tertawa keras-keras, sehingga membuat para santri ikut-ikutan cekikikan. ( )
Selanjutnya Abu Nawas tampak terdiam. Suasana menjadi hening. Abu Nawas menarik nafas dalam-dalam. Lalu dengan hati-hati si cerdik ini menceritakan kisah seorang pelajar yang bertanya kepada seorang penjual buku, "Tidak ada buku anatomi yang lebih baru?" ( )
"Buku-buku yang ada di sini sudah berumur 10 tahun atau lebih!" protes pelajar itu.
"Dengarlah, Nak," kata penjual buku menjawab pertanyaan pelajar itu. "Tidak ada penambahan tulang apa pun dalam tubuh manusia selama 10 tahun terakhir ini." ( )
"Demikian pula halnya," sambung Abu Nawas, "tidak ada penambahan apa pun dalam kodrat manusia selama 10.000 tahun terakhir ini." (
Para santri terdiam dan hening ketika sang guru bercerita. Abu Nawas menatap tajam santrinya sat per satu saat menutup cerita tentang penjual buku dan seorang pelajar itu.
Hal lainnya yang membuat santri Abu Nawas protes juga karena seringnya sang guru membuat lelucon. Hampir selalu ada gelak tawa dalam setiap kali ia bicara. Hal itu rupanya juga mengganggu mereka yang sangat ingin serius tentang spiritualitas dan diri mereka. ( )
"Guru ini seperti badut!" kata seorang santrinya suatu ketika.
"O, tidak," sergah santri yang lain. "Anda salah tangkap. Seorang badut membuat Anda menertawainya; seorang Guru membuat Anda menertawai diri sendiri," lanjutnya.( )
Abu Nawas mendengar dialog antarasantri itu dengan senyum-senyum. Abu Nawas tidak terganggu sama sekali dengan santrinya itu. "Apakah sesuatu menjadi sungguh-sungguh benar," katanya, "jika tak seorang pun menertawakannya?" (
Dan Abu Nawas tetap seperti itu. Kocak dan kadang ngawur. Jika bukan begitu, ya, bukan Abu Nawas lagi. ( )
Berita tentang kecerdasan dan kecerdikan Abu Nawas sudah tersebar di seluruh Baghdad. Santri Abu Nawas saban hari juga terus bertambah.
Hanya saja, tak semua santri merasa puas dengan cara mengajar Abu Nawas. Suatu ketika seorang santri yang tampak kritis mengeluh serta mengkritik gurunya itu. Ia bilang spiritualitas Abu Nawas perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. ( )
Tentu saja, protes itu membuat Abu Nawas terkejut juga. Namun, bukan Abu Nawas kalau menanggapi susuatu tidak dengan lelucon. Ia tertawa keras-keras, sehingga membuat para santri ikut-ikutan cekikikan. ( )
Selanjutnya Abu Nawas tampak terdiam. Suasana menjadi hening. Abu Nawas menarik nafas dalam-dalam. Lalu dengan hati-hati si cerdik ini menceritakan kisah seorang pelajar yang bertanya kepada seorang penjual buku, "Tidak ada buku anatomi yang lebih baru?" ( )
"Buku-buku yang ada di sini sudah berumur 10 tahun atau lebih!" protes pelajar itu.
"Dengarlah, Nak," kata penjual buku menjawab pertanyaan pelajar itu. "Tidak ada penambahan tulang apa pun dalam tubuh manusia selama 10 tahun terakhir ini." ( )
"Demikian pula halnya," sambung Abu Nawas, "tidak ada penambahan apa pun dalam kodrat manusia selama 10.000 tahun terakhir ini." (
Para santri terdiam dan hening ketika sang guru bercerita. Abu Nawas menatap tajam santrinya sat per satu saat menutup cerita tentang penjual buku dan seorang pelajar itu.
Hal lainnya yang membuat santri Abu Nawas protes juga karena seringnya sang guru membuat lelucon. Hampir selalu ada gelak tawa dalam setiap kali ia bicara. Hal itu rupanya juga mengganggu mereka yang sangat ingin serius tentang spiritualitas dan diri mereka. ( )
"Guru ini seperti badut!" kata seorang santrinya suatu ketika.
"O, tidak," sergah santri yang lain. "Anda salah tangkap. Seorang badut membuat Anda menertawainya; seorang Guru membuat Anda menertawai diri sendiri," lanjutnya.( )
Abu Nawas mendengar dialog antarasantri itu dengan senyum-senyum. Abu Nawas tidak terganggu sama sekali dengan santrinya itu. "Apakah sesuatu menjadi sungguh-sungguh benar," katanya, "jika tak seorang pun menertawakannya?" (
Dan Abu Nawas tetap seperti itu. Kocak dan kadang ngawur. Jika bukan begitu, ya, bukan Abu Nawas lagi. ( )
(mhy)