Perayaan Maulid Nabi dalam Ayat-Ayat Al-Qur'an Menurut Alwi bin Ahmad
Senin, 03 Oktober 2022 - 05:15 WIB
Wajh dalalah (petunjuk) dari ayat tersebut adalah bahwa ihtifal Maulid Nabi berisi berbagai amal kebaikan; di antaranya adalah sholawat Nabi, sedekah, amal makruf, mengekspresikan kebahagiaan dan berderma kepada kaum papa. Hal tersebut menujukkan bolehnya ihtifal Maulid Nabi yang juga berisi amal kebaikan sebagaimana diperintahkan oleh al-Quran.
Lalu dalam Jawahir al-Bihar Syaikh Yusuf al-Nabhani mengutip al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami menegaskan, “sesungguhnya orang yang menghendaki kebaikan, menampakkan kebahagian dan mahabbah atas Maulid Nabi SAW itu cukup dengan mengumpulkan orang-orang baik bersama para fakir miskin, lalu bersedekah dan memberi kepada mereka makanan sebagai wujud mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW.”
“Lalu jika mereka ingin lebih dari itu,” lanjut Ibn Hajar al-Haitami, “maka dengan memerintahkan seseorang untuk menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi (madaih al-nabawiyyah) dan syair-syair yang berisi pelajaran akhlak luhur. Sebab hal tersebut dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan menahan perilaku bidah yang mungkar. Selain itu, mendengarkan lantunan indah pujian-pujian Nabi merupakan salah satu sebab tumbuhnya mahabbah kepada Nabi dalam hati seseorang.”
Surah al-Ahzab Ayat 56
Dalim ayat selanjutnya adalah surah al-Ahzab ayat 56. Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Ayat tersebut menunjukkan betapa mulia dan agungnya derajat Nabi Muhammad SAW di sisi Allah. Bagaimana tidak, Allah lah yang pertama berselawat kepada beliau, lalu yang kedua para malaikat-Nya, baru kemudian memerintahkan para mukmin untuk turut berselawat-salam kepada beliau.
Dinukil dari al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menerangkan bahwa sholawat yang diperintahkan tak hanya kepada Nabi Muhammad belaka, tetapi juga kepada para isteri dan keluarga beliau SAW.
Dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad, derajat seorang hamba menjadi dekat dengan para malaikat dan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan orang-orang mukmin setelah malaikat dan Allah. Kemudian bentuk kalimat ayat tersebut adalah jumlah ismiyah yang memberi faedah menguatkan khabar, yaitu yushalluna (berselawat), dan dibuka oleh lafal Jalalah sebagai pengangungan terhadap perkara yang dikandung ayat tersebut.
Lebih khusus, perintah ini ditegaskan lagi dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut,
أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة
“Perbanyaklah sholawat kepadaku di hari Jumat.”
Hari Jumat memanglah hari yang istimewa. Banyak faidah yang terdapat di dalamnya. Mengenai hal ini, Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-Ibad (1998) menyebutkan, “..(kekhususan) yang kedua adalah sunnahnya memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, siang dan malamnya, berdasar hadis di atas.
Rasulullah SAW adalah sayyidul anam, pemimpin manusia dan hari Jumat adalah sayyidul ayam, pemimpin hari, dan bersholawat pada hari tersebut memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari yang lain.”
“Hikmah yang lain,” lanjut Ibn al-Qayyim, “adalah semua kebaikan yang didapat oleh umat Muhammad, baik kebaikan dunia maupun akhirat, tak lepas dari perantara beliau SAW. Allah telah mengumpulkan kebaikan dunia-akhirat umat Muhammad pada diri beliau. Maka hanya pada hari Jumat kemulian teragung itu diperoleh."
"Hari Jumat adalah hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur menuju tempat tinggal dan istananya di surga. Ia adalah hari berbekal ketika mereka masuk ke dalam surga. Ia adalah hari raya di dunia dan hari di mana Allah memenuhi permohonan dan hajat-hajat hamabaNya. Doa setiap hamba pada hari itu tak kan ditolak. Ini semua adalah sebab Nabi Muhammad. Barangsiapa bersyukur dan memuji Allah, lalu menunaikan hak beliau Saw, maka hendaklah memperbanyak selawat kepada beliau Saw di hari Jumat, siang maupun malam.”
Dr Alwi bin Ahmad menambahkan, pada dasarnya semua perkara adalah mubah. Tetapi niat baik mengubahnya dari sebuah kebiasaan yang diperbolehkan menjadi ibadah yang diganjar pahala. Kaidahnya, al-niyyah tuhawwilu al-‘adah ila ibadah, niat dapat merubah perkara adat (kebiasaan) menjadi ibadah.
Meski tidak diamalkan oleh 3 masa awal (Rasul, Sahabat dan Tabiin), tidak berarti ihtifal Maulid Nabi merupakan perkara bidah apalagi dhalalah.
Lalu dalam Jawahir al-Bihar Syaikh Yusuf al-Nabhani mengutip al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami menegaskan, “sesungguhnya orang yang menghendaki kebaikan, menampakkan kebahagian dan mahabbah atas Maulid Nabi SAW itu cukup dengan mengumpulkan orang-orang baik bersama para fakir miskin, lalu bersedekah dan memberi kepada mereka makanan sebagai wujud mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW.”
“Lalu jika mereka ingin lebih dari itu,” lanjut Ibn Hajar al-Haitami, “maka dengan memerintahkan seseorang untuk menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi (madaih al-nabawiyyah) dan syair-syair yang berisi pelajaran akhlak luhur. Sebab hal tersebut dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan menahan perilaku bidah yang mungkar. Selain itu, mendengarkan lantunan indah pujian-pujian Nabi merupakan salah satu sebab tumbuhnya mahabbah kepada Nabi dalam hati seseorang.”
Surah al-Ahzab Ayat 56
Dalim ayat selanjutnya adalah surah al-Ahzab ayat 56. Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Ayat tersebut menunjukkan betapa mulia dan agungnya derajat Nabi Muhammad SAW di sisi Allah. Bagaimana tidak, Allah lah yang pertama berselawat kepada beliau, lalu yang kedua para malaikat-Nya, baru kemudian memerintahkan para mukmin untuk turut berselawat-salam kepada beliau.
Dinukil dari al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menerangkan bahwa sholawat yang diperintahkan tak hanya kepada Nabi Muhammad belaka, tetapi juga kepada para isteri dan keluarga beliau SAW.
Dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad, derajat seorang hamba menjadi dekat dengan para malaikat dan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan orang-orang mukmin setelah malaikat dan Allah. Kemudian bentuk kalimat ayat tersebut adalah jumlah ismiyah yang memberi faedah menguatkan khabar, yaitu yushalluna (berselawat), dan dibuka oleh lafal Jalalah sebagai pengangungan terhadap perkara yang dikandung ayat tersebut.
Lebih khusus, perintah ini ditegaskan lagi dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut,
أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة
“Perbanyaklah sholawat kepadaku di hari Jumat.”
Hari Jumat memanglah hari yang istimewa. Banyak faidah yang terdapat di dalamnya. Mengenai hal ini, Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-Ibad (1998) menyebutkan, “..(kekhususan) yang kedua adalah sunnahnya memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, siang dan malamnya, berdasar hadis di atas.
Rasulullah SAW adalah sayyidul anam, pemimpin manusia dan hari Jumat adalah sayyidul ayam, pemimpin hari, dan bersholawat pada hari tersebut memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari yang lain.”
“Hikmah yang lain,” lanjut Ibn al-Qayyim, “adalah semua kebaikan yang didapat oleh umat Muhammad, baik kebaikan dunia maupun akhirat, tak lepas dari perantara beliau SAW. Allah telah mengumpulkan kebaikan dunia-akhirat umat Muhammad pada diri beliau. Maka hanya pada hari Jumat kemulian teragung itu diperoleh."
"Hari Jumat adalah hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur menuju tempat tinggal dan istananya di surga. Ia adalah hari berbekal ketika mereka masuk ke dalam surga. Ia adalah hari raya di dunia dan hari di mana Allah memenuhi permohonan dan hajat-hajat hamabaNya. Doa setiap hamba pada hari itu tak kan ditolak. Ini semua adalah sebab Nabi Muhammad. Barangsiapa bersyukur dan memuji Allah, lalu menunaikan hak beliau Saw, maka hendaklah memperbanyak selawat kepada beliau Saw di hari Jumat, siang maupun malam.”
Dr Alwi bin Ahmad menambahkan, pada dasarnya semua perkara adalah mubah. Tetapi niat baik mengubahnya dari sebuah kebiasaan yang diperbolehkan menjadi ibadah yang diganjar pahala. Kaidahnya, al-niyyah tuhawwilu al-‘adah ila ibadah, niat dapat merubah perkara adat (kebiasaan) menjadi ibadah.
Meski tidak diamalkan oleh 3 masa awal (Rasul, Sahabat dan Tabiin), tidak berarti ihtifal Maulid Nabi merupakan perkara bidah apalagi dhalalah.