Sosiolog Ernest Gellner: Hanya Islam yang Mampu Bertahan Hadapi Modernisasi
Kamis, 01 Desember 2022 - 13:16 WIB
Sosiolog terkenal, Ernest André Gellner (9 December 1925 – 5 November 1995) mengatakan hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun tradisi besar.
"Tradisi besarnya dapat dipermodern (modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam," ujar Gellner sebagaimana dikutip Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam, kata Gellner, purifikasi/modernisasi di satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang satu dan sama.
Menurutnya, versi kerakyatan lama yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur asing.
Oleh karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu. Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern.
Gellner mengattakan dalam zaman cita-cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dengan begitu maka cita-cita "Protestan" agar semua yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab Suci) akan terlaksana.
Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang paling bermanfaat bagi yang lain.
Cak Nur mengatakan karena observasi dan kesimpulannya itu, maka tidak heran menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen.
"Yaitu dipandang dari sudut semangat Islam tentang universalisme, skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan sosial," ujar Cak Nur.
Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk zaman modern itu juga dikemukakan Maxime Rodinson, juga seorang sosiolog (Perancis) kontemporer.
Dalam pembukaan sebuah bukunya, sebagaimana dikutip Cak Nur, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim) harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan dari negara-negara industri? Haruskah seseorang berjalan sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai nilai yang secara khusus diyakini, yaitu yang membentuk ciri tertentu, kepribadian dan identitas kelompok orang bersangkutan?"
Jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya, yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa tidaklah perlu meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial bersifat Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim.
Menurutnya, karena itu Islam tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas kemunduran kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat berjalan sejauh yang ia perlukan untuk dapat mengejar Barat tanpa mengorbankan apapun yang esensial bagi Islam dan yang menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim.
"Tradisi besarnya dapat dipermodern (modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam," ujar Gellner sebagaimana dikutip Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam, kata Gellner, purifikasi/modernisasi di satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang satu dan sama.
Menurutnya, versi kerakyatan lama yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur asing.
Oleh karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu. Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern.
Gellner mengattakan dalam zaman cita-cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dengan begitu maka cita-cita "Protestan" agar semua yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab Suci) akan terlaksana.
Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang paling bermanfaat bagi yang lain.
Cak Nur mengatakan karena observasi dan kesimpulannya itu, maka tidak heran menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen.
"Yaitu dipandang dari sudut semangat Islam tentang universalisme, skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan sosial," ujar Cak Nur.
Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan nilai-nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk zaman modern itu juga dikemukakan Maxime Rodinson, juga seorang sosiolog (Perancis) kontemporer.
Dalam pembukaan sebuah bukunya, sebagaimana dikutip Cak Nur, Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim) harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang menggiurkan dari negara-negara industri? Haruskah seseorang berjalan sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai nilai yang secara khusus diyakini, yaitu yang membentuk ciri tertentu, kepribadian dan identitas kelompok orang bersangkutan?"
Jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya, yang oleh Leonard Binder diringkaskan, bahwa tidaklah perlu meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial bersifat Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim.
Menurutnya, karena itu Islam tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas kemunduran kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat berjalan sejauh yang ia perlukan untuk dapat mengejar Barat tanpa mengorbankan apapun yang esensial bagi Islam dan yang menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim.
Baca Juga
(mhy)