Kisah Umar Bin Khattab Melarang Perkawinan Sahabat Nabi dengan Ahlul Kitab

Sabtu, 10 Desember 2022 - 16:47 WIB
Masdar Farid Mas'udi mengatakan berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam masa lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan, "Kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang perkara tersebut (lelaki muslim kawin dengan wanita Ahl

al-Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya para wanita muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu Hanifah."

Kemudian Dr Abd-al-Fattah Husaini al-Syaikh saat menjadi Rektor Universitas al-Azhar Kairo Mesir mengatakan bahwa tindakan khalifah kedua itu menyalahi nas atau lafal Kitab Suci, juga menyalahi apa yang dilakukan sebagian para Sahabat Nabi.

Soalnya, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh Sahabat Nabi yang beristrikan wanita Ahl al-Kitab, seperti, misalnya, Utsman bin Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab, Na'ilah al-Kalbiyah, dan Thalhah ibn Ubaid-Allah yang beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria).

Hanya saja, Umar tidak melakukan larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah mengatakan sebagai haram --hal mana tentu akan berarti menentang hukum Allah-- melainkan hanya sekadar menjalankan suatu patokan yang sudah tetap dikalangan para ahli, bahwa pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor itu lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan melarangnya.



Ada juga yang menyatakan bahwa tindakan khalifah kedua itu adalah sejenis tindakan politik (tasharuf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.

Kekhalifahan Umar adalah masa permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya Syria, Mesir dan Persia, yang dalam hal ini adalah jauh lebih kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia.

Kekayaan yang melimpah ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang, termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di seluruh dunia pada waktu itu tawanan perang, lelaki maupun lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan dan menjadi "milik" perampasnya), membuat ibukota, Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang dapat menjadi sumber krisis.

Umar dengan berbagai kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.



Menurut Masdar F Masudi, Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang sementara perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab. Ia juga dicatat membuat deretan berbagai kebijaksanaan "kontroversial" seperti:

1. Meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri di masa sulit seperti paceklik.

2. Penghapusan perlakuan khusus pada para mu'allaf.

3. Larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita dengan lelaki yang tidak dikawininya pada saat menunggu (iddah).

4. Pengefektifan hukum talak tiga (talak batin yang dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus dan tanpa tenggang waktu.

5. Pembagian tanah-tanah pertanian di Syria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentara Islam seperti sebagian besar Sahabat Nabi berpendapat demikian).

6. Pembagian tingkat penerimaan "ransum" (semacam gaji tetap) bagi tentara Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi (padahal Abu Bakar, pendahulunya, menerapkan prinsip penyamarataan antara semuanya).

Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan khalifah menurut kehendak hatinya sendiri. Menurut Dr Abd-al-Fattah, Khalifah dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa semua hukum agama mengandung alasan hukum (illah, ratio legis) yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) dan sesuai dengan tanggungjawab seorang penguasa dan pelaksana hukum bersangkutan.

Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda dengan Abu Bakar dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau pembedaan besarnya jumlah ransum tentara, namun kedua-duanya bermaksud membela keadilan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
cover top ayah
وَتَرَى الۡجِبَالَ تَحۡسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِىَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ‌ؕ صُنۡعَ اللّٰهِ الَّذِىۡۤ اَتۡقَنَ كُلَّ شَىۡءٍ‌ؕ اِنَّهٗ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَفۡعَلُوۡنَ‏
Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti awan berjalan. Itulah ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

(QS. An-Naml Ayat 88)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More