6 Adab Syariyah dalam Mengurus Orang yang Baru Meninggal Dunia
Senin, 09 Januari 2023 - 14:56 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" menyebut ada beberapa adab syar'iyah yang harus dilakukan secara langsung terhadap orang yang baru saja meninggal dunia dan sebelum dimandikan.
Pertama: dipejamkan kedua matanya. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW pernah masuk ke tempat Abu Salamah setelah dia meninggal dunia dan matanya dalam keadaan terbuka, lalu beliau memejamkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya roh apabila dicabut, ia diikuti oleh pandangan." (HR Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 920.)
Di samping itu, apabila kedua matanya tidak dipejamkan maka akan terbuka dan melotot, sehingga timbul anggapan yang buruk.
Kedua: diikat janggutnya (dagunya) dengan bebat yang lebar yang dapat mengenai seluruh dagunya, dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka.
Ketiga: dilemaskan persendian atau pergelangan-pergelangannya, yaitu dilipat lengannya ke pangkal lengannya, kemudian dijulurkan lagi; dilipat (ditekuk) betisnya ke pahanya, dan pahanya ke perutnya, kemudian dikembalikan lagi; demikian juga jari-jemarinya dilemaskan supaya lebih mudah memandikannya.
Sebab beberapa saat setelah menghembuskan napas terakhir badan seseorang masih hangat, sehingga jika sendi-sendinya dilemaskan pada saat itu ia akan menjadi lemas. Tetapi jika tidak segera dilemaskan, tidak mungkin dapat melemaskannya sesudah itu.
Keempat: dilepas pakaiannya, agar badannya tidak cepat rusak dan berubah karena panas, selain kadang-kadang keluar kotoran (najis) yang akan mengotorinya.
Kelima: diselimuti dengan kain yang dapat menutupinya, berdasarkan riwayat Aisyah bahwa Nabi SAW ketika wafat diselimuti dengan selimut yang bergaris-garis. (HR Muslim)
Keenam: di atas perutnya ditaruh suatu beban yang sesuai agar tidak mengembung.
Para ulama mengatakan, "Yang melakukan hal-hal ini hendaklah orang yang lebih lemah lembut di antara keluarga dan mahramnya dengan cara yang paling mudah." (Fathul-Aziz fi Syarhil-Wajiz, karya ar-Rafi'i yang diterbitkan bersama dengan al-Majmu' (Imam Nawawi), juz 5, hlm. 112-114).
Pertama: dipejamkan kedua matanya. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah SAW pernah masuk ke tempat Abu Salamah setelah dia meninggal dunia dan matanya dalam keadaan terbuka, lalu beliau memejamkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya roh apabila dicabut, ia diikuti oleh pandangan." (HR Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 920.)
Di samping itu, apabila kedua matanya tidak dipejamkan maka akan terbuka dan melotot, sehingga timbul anggapan yang buruk.
Kedua: diikat janggutnya (dagunya) dengan bebat yang lebar yang dapat mengenai seluruh dagunya, dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya, supaya mulutnya tidak terbuka.
Ketiga: dilemaskan persendian atau pergelangan-pergelangannya, yaitu dilipat lengannya ke pangkal lengannya, kemudian dijulurkan lagi; dilipat (ditekuk) betisnya ke pahanya, dan pahanya ke perutnya, kemudian dikembalikan lagi; demikian juga jari-jemarinya dilemaskan supaya lebih mudah memandikannya.
Sebab beberapa saat setelah menghembuskan napas terakhir badan seseorang masih hangat, sehingga jika sendi-sendinya dilemaskan pada saat itu ia akan menjadi lemas. Tetapi jika tidak segera dilemaskan, tidak mungkin dapat melemaskannya sesudah itu.
Keempat: dilepas pakaiannya, agar badannya tidak cepat rusak dan berubah karena panas, selain kadang-kadang keluar kotoran (najis) yang akan mengotorinya.
Kelima: diselimuti dengan kain yang dapat menutupinya, berdasarkan riwayat Aisyah bahwa Nabi SAW ketika wafat diselimuti dengan selimut yang bergaris-garis. (HR Muslim)
Keenam: di atas perutnya ditaruh suatu beban yang sesuai agar tidak mengembung.
Para ulama mengatakan, "Yang melakukan hal-hal ini hendaklah orang yang lebih lemah lembut di antara keluarga dan mahramnya dengan cara yang paling mudah." (Fathul-Aziz fi Syarhil-Wajiz, karya ar-Rafi'i yang diterbitkan bersama dengan al-Majmu' (Imam Nawawi), juz 5, hlm. 112-114).
(mhy)