Perbedaan Hukum Menikah dengan Orang Ahli Kitab dan Musyrik
loading...
A
A
A
Dengan demikian, maka setiap muslimah betapapun keadaannya adalah lebih baik bagi seorang muslim, daripada perempuan ahli kitab.
Melepaskan Diri
Ulama asal Arab Saudi, Syekh Ibn Baz, tampak lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa untuk urusan ini. Menurutnya, jika wanita ahli kitab tersebut mampu menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari jalan keburukan, diperbolehkan menikahinya. Itu disebabkan Allah memang membolehkan hal tersebut.
Akan tetapi, menurut Ibn Baz lagi, menikahi para wanita ahli kitab (Yahudi dan Kristen) pada zaman sekarang ini dikhawatirkan karena bisa membawa berbagai dampak buruk. Sebab, para wanita tersebut justru terkadang mengajak calon suami Muslimnya kepada agama mereka. Apalagi bagi anak-anak yang lahir dari pasangan Muslim dan ahli kitab, bahayanya bisa besar sekali. Tindakan yang lebih hati-hati bagi seorang mukmin adalah tidak menikahi perempuan yang berbeda agama, kata Ibn Baz.
Syaikh Yusuf Qardhawi menambahkan kalau seorang muslim mengkawatirkan pengaruh kepercayaan isterinya ini akan menular kepada anak-anaknya termasuk juga pendidikannya, maka dia harus melepaskan dirinya --dari perempuan ahli kitab tersebut-- demi menjaga agama dan menjauhkan diri dari marabahaya.
Dan kalau jumlah kaum muslimin di suatu negara termasuk minoritas, maka yang lebih baik dan menurut pendapat yang kuat, laki-laki muslim tidak boleh kawin dengan perempuan yang bukan muslimah. Sebab dengan dibolehkannya mengawini perempuan-perempuan lain dalam situasi seperti ini di mana perempuan-perempuan muslimah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain, akan mematikan puteri-puteri Islam atau tidak sedikit dari kalangan mereka itu yang akan terlantar.
Untuk itu, maka jelas bahayanya bagi masyarakat Islam. Dan bahaya ini baru mungkin dapat diatasi, yaitu dengan mempersempit dan membatasi masalah perkawinan yang mubah ini sampai kepada suatu keadaan yang mungkin.
Perempuan Muslim
Lalu, bagaimana dengan perempuan Muslimah kawin dengan laki-laki non-Islam? Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan perempuan muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." ( QS al-Baqarah : 221)
Dan firman Allah tentang perempuan-perempuan mu'minah yang turut hijrah ke Madinah: "Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu'minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orany kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." ( QS al-Mumtahinah : 10)
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan.
Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melindungi hak-hak dan kehormatan isterinya menurut syariatnya (Islam).
Tetapi agama lain, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap isterinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak isterinya yang berbeda agama itu. Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan puteri-puterinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si isteri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian?
Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati akidah isterinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mukmin juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah.
Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi). Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya.
Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian. Tetapi sebaliknya, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si isteri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram?
Melepaskan Diri
Ulama asal Arab Saudi, Syekh Ibn Baz, tampak lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa untuk urusan ini. Menurutnya, jika wanita ahli kitab tersebut mampu menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari jalan keburukan, diperbolehkan menikahinya. Itu disebabkan Allah memang membolehkan hal tersebut.
Akan tetapi, menurut Ibn Baz lagi, menikahi para wanita ahli kitab (Yahudi dan Kristen) pada zaman sekarang ini dikhawatirkan karena bisa membawa berbagai dampak buruk. Sebab, para wanita tersebut justru terkadang mengajak calon suami Muslimnya kepada agama mereka. Apalagi bagi anak-anak yang lahir dari pasangan Muslim dan ahli kitab, bahayanya bisa besar sekali. Tindakan yang lebih hati-hati bagi seorang mukmin adalah tidak menikahi perempuan yang berbeda agama, kata Ibn Baz.
Syaikh Yusuf Qardhawi menambahkan kalau seorang muslim mengkawatirkan pengaruh kepercayaan isterinya ini akan menular kepada anak-anaknya termasuk juga pendidikannya, maka dia harus melepaskan dirinya --dari perempuan ahli kitab tersebut-- demi menjaga agama dan menjauhkan diri dari marabahaya.
Dan kalau jumlah kaum muslimin di suatu negara termasuk minoritas, maka yang lebih baik dan menurut pendapat yang kuat, laki-laki muslim tidak boleh kawin dengan perempuan yang bukan muslimah. Sebab dengan dibolehkannya mengawini perempuan-perempuan lain dalam situasi seperti ini di mana perempuan-perempuan muslimah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain, akan mematikan puteri-puteri Islam atau tidak sedikit dari kalangan mereka itu yang akan terlantar.
Untuk itu, maka jelas bahayanya bagi masyarakat Islam. Dan bahaya ini baru mungkin dapat diatasi, yaitu dengan mempersempit dan membatasi masalah perkawinan yang mubah ini sampai kepada suatu keadaan yang mungkin.
Perempuan Muslim
Lalu, bagaimana dengan perempuan Muslimah kawin dengan laki-laki non-Islam? Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan perempuan muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." ( QS al-Baqarah : 221)
Dan firman Allah tentang perempuan-perempuan mu'minah yang turut hijrah ke Madinah: "Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu'minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orany kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." ( QS al-Mumtahinah : 10)
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan.
Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melindungi hak-hak dan kehormatan isterinya menurut syariatnya (Islam).
Tetapi agama lain, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap isterinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak isterinya yang berbeda agama itu. Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan puteri-puterinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si isteri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian?
Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati akidah isterinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mukmin juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah.
Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi). Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya.
Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian. Tetapi sebaliknya, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si isteri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram?