Mengapa Tidak Kawin? Begini Jawaban Wali Bisyr Hafi
loading...
A
A
A
Seseorang bertanya kepada Wali Bisyr Hafi, kenapa ia tidak kawin. "Saya takut," ia menjawab, "akan ayat al-Qur'an : 'hak-hak wanita atas laki-laki persis sama dengan hak-hak laki-laki atas wanita'."
Nama lengkap Wali Bisyr Hafi adalah Abu Nashr Bisyr bin al Harits al Hafi atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Bisyr Al Hafi, lahir di dekat kota Merv sekitar tahun 150 Hijriyah atau 767 Masehi.
Syekh Bisyr Al Hafi adalah seorang Waliyullah, disebut Al Hafi lantaran beliau tidak memakai alas kaki saat mengejar gurunya yang bernama Sufyan Ats Tsauri.
Konon, setelah meninggalkan hidup berfoya-foya, Bisyr Hafi mempelajari Hadis di Baghdad, kemudian meninggalkan pendidikan formal untuk hidup sebagai pengemis yang terlunta-lunta, kelaparan dan bertelanjang kaki. Bisyr meninggal di kota Baghdad tahun 227 H/841 M. Ia sangat dikagumi oleh Ahmad bin Hanbal dan dihormati oleh khalifah al-Ma'mun.
Bisyr Hafi tidak menikah atau menjomblo karena takut tak mampu memenuhi hak-hak istri. Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" diterjemahkan Haidar Bagir menjadi "Kimia Kebahagiaan" menyebut ini adalah salah satu kerugian perkawinan.
Selain Bisyr Hafi, Imam Nawawi juga memilih hidup menjomblo alias tidak menikah. Pilihan hidup Imam Nawawi ini dibukukan oleh Syeikh Abu Ghuddah –murid dan khodim dari Syeikh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari kekhalifahan Turki Ustmani– dalam risalahnya yang berjudul Al Ulama Al Uzzab Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj.
Dalam kitab itu, Imam Nawawi secara tegas menyatakan dukungan atas 'mazhab jomblonya'. Dengan mengutip beberapa argumen ulama. Seperti Al-Khatib al-Bagdadi (ulama ahli hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian.
Hal ini disampaikan dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, "Seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk menjomblo sebisa mungkin. Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot mencari nafkah."
Dalam kitab yang sama juga dikutip ucapan seorang sufi besar Ibrahim di Adham, "Barangsiapa yang disibukkan dengan mulus paha para wanita, maka tidak akan bahagia."
Lebih lanjut, Imam Nawawi juga mengutip ucapan Sufyan at-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kufah). "Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu mengarungi lautan. Ketika sudah memiliki anak, berarti telah ia hancurkan perahu itu."
Ini adalah analogi yang sangat menarik dari Tsufyan at-Tsauri. Menurutnya, seorang fakih ketika menggauli istrinya, seolah sedang menaiki perahu mengarungi lautan luas yang begitu indah dengan segala pesonanya. Tapi, ketika sudah melahirkan seorang anak, ia telah hancurkan perahu itu. Otomatis si-fakih tenggelam di tengah lautan dalam.
Dalam Muqoddimah kitab Majmu'-nya, Imam Nawawi melanjutkan, "Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai prinsip kami. Bahwa, orang yang tidak membutuhkan menikah, sunah menjomblo. Begitupun bagi yang merasa butuh, tetapi belum punya biaya".
Hanya saja, apa yang disampaikan Imam Nawawi ini bukan berarti beliau mengingkari anjuran menikah sebagai sunah Rasul SAW. Dalam karya-karya ilmiahnya, sebagaimana ulama pada umumnya, tetap menuliskan bab nikah sebagai anjuran dalam Islam.
Dalam Kitab Al-Majmu’ pada bagian bab nikah, secara tegas beliau sampaikan bahwa hukum asal menikah adalah boleh. "Terkait hukumnya, nikah telah disyari'atkan dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana telah kami paparkan teksnya masing-masing.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab kami (Syafi'i), boleh." (lihat Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab, juz 17, hal. 202)
Baca juga: Hukum Menikah dengan Saudara Tiri Menurut Islam
Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan menikah. Justru seandianya menikah, menurutnya, fokus pengabdiannya terhadap ilmu agama akan terganggu. Bahkan tidak hanya Imam Nawawi. Dalam risalahnya, Syeikh Abu Ghuddah juga menyebutkan daftar ulama-ulama jomblo lainnya. Seperti Imam Dhahabi sang sejarawan handal, Imam Ibnu Jarir at-Thobari sang sejarawan terkemuka abad pertengahan, sang pakar nahwu dan bahasa yang beraliran muktazilah Imam Zamakhsary dan masih banyak lagi.
Bahaya Besar
Nama lengkap Wali Bisyr Hafi adalah Abu Nashr Bisyr bin al Harits al Hafi atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Bisyr Al Hafi, lahir di dekat kota Merv sekitar tahun 150 Hijriyah atau 767 Masehi.
Syekh Bisyr Al Hafi adalah seorang Waliyullah, disebut Al Hafi lantaran beliau tidak memakai alas kaki saat mengejar gurunya yang bernama Sufyan Ats Tsauri.
Konon, setelah meninggalkan hidup berfoya-foya, Bisyr Hafi mempelajari Hadis di Baghdad, kemudian meninggalkan pendidikan formal untuk hidup sebagai pengemis yang terlunta-lunta, kelaparan dan bertelanjang kaki. Bisyr meninggal di kota Baghdad tahun 227 H/841 M. Ia sangat dikagumi oleh Ahmad bin Hanbal dan dihormati oleh khalifah al-Ma'mun.
Baca Juga
Bisyr Hafi tidak menikah atau menjomblo karena takut tak mampu memenuhi hak-hak istri. Imam Al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" diterjemahkan Haidar Bagir menjadi "Kimia Kebahagiaan" menyebut ini adalah salah satu kerugian perkawinan.
Selain Bisyr Hafi, Imam Nawawi juga memilih hidup menjomblo alias tidak menikah. Pilihan hidup Imam Nawawi ini dibukukan oleh Syeikh Abu Ghuddah –murid dan khodim dari Syeikh Zahid Kautsari yang merupakan mufti terakhir dari kekhalifahan Turki Ustmani– dalam risalahnya yang berjudul Al Ulama Al Uzzab Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj.
Dalam kitab itu, Imam Nawawi secara tegas menyatakan dukungan atas 'mazhab jomblonya'. Dengan mengutip beberapa argumen ulama. Seperti Al-Khatib al-Bagdadi (ulama ahli hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian.
Hal ini disampaikan dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, "Seorang penuntut ilmu dianjurkan untuk menjomblo sebisa mungkin. Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot mencari nafkah."
Dalam kitab yang sama juga dikutip ucapan seorang sufi besar Ibrahim di Adham, "Barangsiapa yang disibukkan dengan mulus paha para wanita, maka tidak akan bahagia."
Lebih lanjut, Imam Nawawi juga mengutip ucapan Sufyan at-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kufah). "Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu mengarungi lautan. Ketika sudah memiliki anak, berarti telah ia hancurkan perahu itu."
Ini adalah analogi yang sangat menarik dari Tsufyan at-Tsauri. Menurutnya, seorang fakih ketika menggauli istrinya, seolah sedang menaiki perahu mengarungi lautan luas yang begitu indah dengan segala pesonanya. Tapi, ketika sudah melahirkan seorang anak, ia telah hancurkan perahu itu. Otomatis si-fakih tenggelam di tengah lautan dalam.
Dalam Muqoddimah kitab Majmu'-nya, Imam Nawawi melanjutkan, "Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai prinsip kami. Bahwa, orang yang tidak membutuhkan menikah, sunah menjomblo. Begitupun bagi yang merasa butuh, tetapi belum punya biaya".
Hanya saja, apa yang disampaikan Imam Nawawi ini bukan berarti beliau mengingkari anjuran menikah sebagai sunah Rasul SAW. Dalam karya-karya ilmiahnya, sebagaimana ulama pada umumnya, tetap menuliskan bab nikah sebagai anjuran dalam Islam.
Dalam Kitab Al-Majmu’ pada bagian bab nikah, secara tegas beliau sampaikan bahwa hukum asal menikah adalah boleh. "Terkait hukumnya, nikah telah disyari'atkan dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana telah kami paparkan teksnya masing-masing.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab kami (Syafi'i), boleh." (lihat Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab, juz 17, hal. 202)
Baca juga: Hukum Menikah dengan Saudara Tiri Menurut Islam
Imam Nawawi adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan menikah. Justru seandianya menikah, menurutnya, fokus pengabdiannya terhadap ilmu agama akan terganggu. Bahkan tidak hanya Imam Nawawi. Dalam risalahnya, Syeikh Abu Ghuddah juga menyebutkan daftar ulama-ulama jomblo lainnya. Seperti Imam Dhahabi sang sejarawan handal, Imam Ibnu Jarir at-Thobari sang sejarawan terkemuka abad pertengahan, sang pakar nahwu dan bahasa yang beraliran muktazilah Imam Zamakhsary dan masih banyak lagi.
Bahaya Besar