Kisah Sufi, Ketika Kebenaran Mencoba Mewujudkan Dirinya Sendiri
loading...
A
A
A
Keesokan paginya, setelah cukup istirahat dan lebih mampu menahan laparnya, Saifulmuluk mulai menyusuri Kota Isfahan. Lalu, ketika harapannya telah mengendor karena sejumlah alasan, dilihatnya sungai, pohon, dan batu itu. Di bawah batu itu ada sebuah celah. Dalam celah itu, dengan memasukkan sebuah tongkat, ia temukan cincin yang telah dilihatnya dalam penglihatan aneh tadi.
Sambil mencuci cincin itu di sungai, Saifulmuluk berkata, "Kalau benar ini Cincin Sulaiman Yang Agung, Yang Terhormat itu, berilah aku, wahai Roh Cincin, sebuah akhir yang berguna bagi kesulitan-kesulitanku."
Tiba-tiba bumi seolah-olah tergoncang, dan seakan ada suara laksana angin puyuh menggema di kupingnya, "Selama berabad-abad, Saifulmuluk yang baik, kami mencurahkan atasmu kedamaian. Tuan adalah pewaris kekuasaan Sulaiman, Putra Daud, yang atasnya kedamaian, Penguasa Para Jin dan Manusia; dan aku ini Hamba Cincin. Perintahkanlah aku, Tuan Saifulmuluk, Tuanku!"
"Bawa kemari binatang peliharaanku, dan beri mereka makan," kata Saifulmuluk seketika, sambil tak lupa menambahkan, "Atas Nama Agung dan atas Nama Sulaiman, Tuan kita, Penguasa Bangsa Jin dan Manusia, yang baginya segala hormat!"
Belum lagi kalimat itu selesai diucapkannya, ketiga binatang peliharaannya itu telah ada di sana dan masing-masing telah disediakan makanan, yang paling mereka sukai.
Kemudian, digosoknya lagi cincin itu, dan Roh Cincin pun kembali menjawabnya, seperti suara ramai di telinganya.
"Perintahkanlah hamba, dan apa pun keinginan Tuan pasti terwujud, kecuali apa yang tidak bisa dilakukan, Pemilik Cincin."
"Katakan padaku, dalam Nama Sulaiman (damai atasnya!) inikah akhir itu? Sebab aku harus memelihara ketiga temanku ini, ketiga binatang ini, sampai akhir, sesuai dengan perintah guruku, Khaja Ansar dari Herat."
"Belum," sahut Roh itu, "ini belum akhir."
Saifulmuluk pun menetap di tempat itu, dan disuruhnya Jin itu membuatkan sebuah rumah kecil dan sebuah kandang bagi ketiga binatangnya; dilewatinya hari-harinya bersama mereka. Setiap hari, Jin itu menyediakan semua keperluan mereka, dan orang-orang yang lewat di situ kagum akan keagungan Saif Baba, 'Bapak Saif, sebagaimana biasa ia dipanggil, yang hidup tanpa apa pun, dikelilingi oleh hewan-hewan liar dan jinak'.
Ketika tak sedang mempelajari catatan perjalanan atau merenungkan pengalamannya, Saif Baba mengamati ketiga binatang peliharaannya dan mempelajari cara hidup mereka. Ketiga hewan itu menanggapinya dengan cara mereka masing-masing. Didorongnya sifat baik mereka, dan diserangnya yang buruk, dan ia sering berbicara kepada mereka tentang Khaja Ansar yang Agung dan Tiga Butir Nasihat.
Dari waktu ke waktu, orang-orang saleh lewat dekat rumahnya, dan mereka sering mengundangnya untuk berbantahan, atau mempelajari Jalan mereka. Tetapi, undangan itu ditolak Saif Baba, katanya, "Aku punya tugas yang harus kuselesaikan, yang diberikan oleh guruku."
Kemudian pada suatu hari, ia terkejut mendapati kucing peliharaannya bicara kepadanya dalam bahasa yang bisa ia mengerti. "Tuan," kata Si Kucing, "Tuan mempunyai tugas, dan tugas itu harus Tuan kerjakan. Namun, tidakkah Tuan heran bahwa waktu yang Tuan sebut 'akhir' itu belum juga tiba?"
"Aku tidak begitu terkejut," kata Saif Baba, "sebab setahuku akhir itu mungkin baru tiba setelah seratus tahun."
"Di situlah letak kekeliruan Tuan," kata Si Burung, yang kini ikut berbicara, "sebab Tuan tidak mempelajari apa yang bisa Tuan simak dari berbagai kelana yang melewati jalan ini. Tuan tak menyadari bahwa meskipun mereka tampak berbeda (seperti kami semua binatang, tampak berbeda bagi Tuan), mereka semua diutus oleh sumber pengajaranmu, oleh Khaja Ansar sendiri, untuk melihat apakah Tuan telah cukup mempunyai pengetahuan untuk mengikuti mereka."
"Kalau benar demikian," kata Saif Baba, "yang belum kupercayai sekarang, bisakah kalian jelaskan padaku bagaimana mungkin seekor kucing dan burung pipit kecil bisa memberitahuku perihal yang aku, dengan kemampuan ajaib yang kumiliki, sendiri tidak menyadarinya?"
"Sederhana saja," jawab kedua binatang itu, "Tuan telah terbiasa menilai segala sesuatu hanya dengan satu cara sehingga kelemahan-kelemahan Tuan terlihat jelas bahkan oleh pikiran yang paling ringkas sekalipun."
Sambil mencuci cincin itu di sungai, Saifulmuluk berkata, "Kalau benar ini Cincin Sulaiman Yang Agung, Yang Terhormat itu, berilah aku, wahai Roh Cincin, sebuah akhir yang berguna bagi kesulitan-kesulitanku."
Baca Juga
Tiba-tiba bumi seolah-olah tergoncang, dan seakan ada suara laksana angin puyuh menggema di kupingnya, "Selama berabad-abad, Saifulmuluk yang baik, kami mencurahkan atasmu kedamaian. Tuan adalah pewaris kekuasaan Sulaiman, Putra Daud, yang atasnya kedamaian, Penguasa Para Jin dan Manusia; dan aku ini Hamba Cincin. Perintahkanlah aku, Tuan Saifulmuluk, Tuanku!"
"Bawa kemari binatang peliharaanku, dan beri mereka makan," kata Saifulmuluk seketika, sambil tak lupa menambahkan, "Atas Nama Agung dan atas Nama Sulaiman, Tuan kita, Penguasa Bangsa Jin dan Manusia, yang baginya segala hormat!"
Belum lagi kalimat itu selesai diucapkannya, ketiga binatang peliharaannya itu telah ada di sana dan masing-masing telah disediakan makanan, yang paling mereka sukai.
Kemudian, digosoknya lagi cincin itu, dan Roh Cincin pun kembali menjawabnya, seperti suara ramai di telinganya.
"Perintahkanlah hamba, dan apa pun keinginan Tuan pasti terwujud, kecuali apa yang tidak bisa dilakukan, Pemilik Cincin."
"Katakan padaku, dalam Nama Sulaiman (damai atasnya!) inikah akhir itu? Sebab aku harus memelihara ketiga temanku ini, ketiga binatang ini, sampai akhir, sesuai dengan perintah guruku, Khaja Ansar dari Herat."
"Belum," sahut Roh itu, "ini belum akhir."
Baca Juga
Saifulmuluk pun menetap di tempat itu, dan disuruhnya Jin itu membuatkan sebuah rumah kecil dan sebuah kandang bagi ketiga binatangnya; dilewatinya hari-harinya bersama mereka. Setiap hari, Jin itu menyediakan semua keperluan mereka, dan orang-orang yang lewat di situ kagum akan keagungan Saif Baba, 'Bapak Saif, sebagaimana biasa ia dipanggil, yang hidup tanpa apa pun, dikelilingi oleh hewan-hewan liar dan jinak'.
Ketika tak sedang mempelajari catatan perjalanan atau merenungkan pengalamannya, Saif Baba mengamati ketiga binatang peliharaannya dan mempelajari cara hidup mereka. Ketiga hewan itu menanggapinya dengan cara mereka masing-masing. Didorongnya sifat baik mereka, dan diserangnya yang buruk, dan ia sering berbicara kepada mereka tentang Khaja Ansar yang Agung dan Tiga Butir Nasihat.
Dari waktu ke waktu, orang-orang saleh lewat dekat rumahnya, dan mereka sering mengundangnya untuk berbantahan, atau mempelajari Jalan mereka. Tetapi, undangan itu ditolak Saif Baba, katanya, "Aku punya tugas yang harus kuselesaikan, yang diberikan oleh guruku."
Kemudian pada suatu hari, ia terkejut mendapati kucing peliharaannya bicara kepadanya dalam bahasa yang bisa ia mengerti. "Tuan," kata Si Kucing, "Tuan mempunyai tugas, dan tugas itu harus Tuan kerjakan. Namun, tidakkah Tuan heran bahwa waktu yang Tuan sebut 'akhir' itu belum juga tiba?"
"Aku tidak begitu terkejut," kata Saif Baba, "sebab setahuku akhir itu mungkin baru tiba setelah seratus tahun."
Baca Juga
"Di situlah letak kekeliruan Tuan," kata Si Burung, yang kini ikut berbicara, "sebab Tuan tidak mempelajari apa yang bisa Tuan simak dari berbagai kelana yang melewati jalan ini. Tuan tak menyadari bahwa meskipun mereka tampak berbeda (seperti kami semua binatang, tampak berbeda bagi Tuan), mereka semua diutus oleh sumber pengajaranmu, oleh Khaja Ansar sendiri, untuk melihat apakah Tuan telah cukup mempunyai pengetahuan untuk mengikuti mereka."
"Kalau benar demikian," kata Saif Baba, "yang belum kupercayai sekarang, bisakah kalian jelaskan padaku bagaimana mungkin seekor kucing dan burung pipit kecil bisa memberitahuku perihal yang aku, dengan kemampuan ajaib yang kumiliki, sendiri tidak menyadarinya?"
"Sederhana saja," jawab kedua binatang itu, "Tuan telah terbiasa menilai segala sesuatu hanya dengan satu cara sehingga kelemahan-kelemahan Tuan terlihat jelas bahkan oleh pikiran yang paling ringkas sekalipun."