Hukum KB dalam Sudut Pandang Islam, Begini Penjelasannya

Jum'at, 17 Februari 2023 - 11:42 WIB
loading...
Hukum KB dalam Sudut...
Hukum KB (keluarga berencana) dalam Islam masih ada perbedaan pendapat, namun ada yang memperbolehkan bila tujuannya untuk menghindari kemudharatan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Hukum KB (keluarga berencana) dalam sudut pandang Islam sangat perlu diketahui pasangan keluarga muslim. Apalagi, pasangan yang baru menikah dan memiliki rencana untuk mempunyai buah hati. KB atau keluarga berencana dalam Islam dikenal dengan Tanzhim an-nasl atau pengaturan keturunan. Tujuan dasarnya adalah melakukan perencanaan mengenai jarak kelahiran anak.

Dilansir dari situs kemenag.go.id, tujuan Tanzhim an-nasl (KB) sendiri tentu berbeda dengan pembatasan atau penghapusan kelahiran yang sering disebut Tahdid an-nasl. Karena Tahdid an-nasl adalah semacam sterilisasi, pemutusan keturunan, atau bahkan aborsi. Pengaturan jarak kelahiran anak dalam Islam boleh dilakukan, kecuali seorang wanita menderita penyakit pada rahim atau anggota reproduksi yang lain.


Bila membatasi kelahiran anak dengan alasan ekonomi, malah diharamkan. Pasalnya, hal ini menjadi salah satu bentuk prasangka buruk kepada rahmat Allah. Di dalam Al Quran, Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَكُمۡ خَشۡيَةَ اِمۡلَاقٍ‌ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ وَاِيَّاكُمۡ‌ؕ اِنَّ قَتۡلَهُمۡ كَانَ خِطۡاً كَبِيۡرًا


“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS Al-Isra: 31)

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa hukum KB dalam ajaran Islam masih diperbolehkan. Jika orientasi dan tujuannya tepat. Harus diakui, di kalangan ulama dan cendikiawan pun, soal KB ini masih ada pro dan kontra. Hukum KB dalam Islam memang bisa menjadi haram jika orientasi dan tujuannya bukan untuk kemaslahatan dan menyelamatkan. Tetapi bisa halal jika berorientasi pada alasan kesehatan dan juga kesejahteraan ibu.

Tinjauan KB secara Fikih

Dikutip dari laman NU Online, ada dua hadis yang menjadi rujukan Nahdahtul Ulama (NU) yang melandasi diperbolehkannya program KB. Dijelaskan bahwa secara fiqhiyah, pada dasarnya KB diqiyaskan dengan apa yang dinamakan ‘azl yaitu mengeluarkan air mani di luar vagina. Pada zaman dulu, ‘azl dijadikan sarana untuk mencegah kehamilan. Sedangkan KB juga sama-sama untuk mencegah kehamilan, bedanya ‘azl tanpa alat sedangkan KB dengan alat bantu seperti kondom dan spiral. Dan keduanya dipertemukan karena sama-sama untuk mencegah kehamilan, dan sama sekali tidak memutuskan kehamilan.

Selain itu, ada dalil dari hadis yang yang memperbolehkan ‘azl, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu'anhu:

“Dari Jabir ia berkata, kita melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw kemudian hal itu sampai kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tetapi beliau tidak melarang kami” (H.R. Muslim)

Namun ada juga hadis yang melarang ‘azl, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Judamah binti Wahb:

“Dari Judamah bin Wahb saudara perempuan ‘Ukkasyah ia berkata, saya hadir pada saat Rasulullah saw bersama orang-orang, beliau berkata, sungguh aku ingin melarang ghilah (menggauli istri pada masa menyusui)kemudian aku memperhatikan orang-orang romawi dan parsi ternyata mereka melakukan ghilah tetapi sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka. Kemudian mereka bertanya tentang ‘azl, lantas Rasulullah saw berkata, itu adalah pembunuhan yang terselubung”. (HR. Muslim)

Dari dua hadis yang bertentangan ini, Imam Nawawi mengajukan jalan tengah dengan cara mengkompromikan keduanya. Menurut Beliau, hadis yang melarang ‘azl harus dipahami bahwa larangan tersebut adalah sebatas makruh tanzih atau diperbolehkan, sedang hadis yang memperbolehkan ‘azl menunjukkan ketidakharamannya ‘azl. Tetapi ketidakharaman ini tidak menafikan kemakruhan ‘azl.

ثُمَّ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَعَ غَيْرِهَا يُجْمَعُ بَيْنَهَا بِأَنَّ مَا وَرَدَ فِي النَّهْيِ مَحْمُولٌ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ وَمَا وَرَدَ فِي الْإِذْنِ فِي ذَلِكَ مَحْمُولٌ
عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَيْسَ مَعْنَاهُ نَفْيُ الْكَرَاهَةِ


“Kemudian hadis-hadis ini yang saling bertetangan harus dikompromikan dengan pemahaman bahwa hadits yang melarang ‘azl itu menunjukkan makruh tanzih. Sedang hadits yang memperbolehkan ‘azl itu menunjukkan bahwa ‘azl tidaklah haram. Dan pemahaman ini tidak serta-merta menafikan kemakruhan ‘azl”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats)

Karena itulah maka Imam Nawawi dengan tegas menyatakan bahwa hukum ‘azl adalah makruh (diperbolehkan walau tidak disarankan) meskipun pihak istri menyetujuinya. Alasannya adalah ‘azl merupakan salah satu sarana untuk menghindari kehamilan.

اَلْعَزْلُ هُوَ أَنْ يُجَامِعَ فَإِذَا قَارَبَ الْإِنْزَالُ نَزَعَ وَأَنْزَلَ خَارِجَ الْفَرْجِ وَهُوَ مَكْرُوهٌ عِنْدَنَا فِي كُلِّ حَالٍ وَكُلِّ امْرَأَةٍ سَوَاءٌ رَضِيَتْ أَمْ لَا لِأَنَّهُ طَرِيقٌ إِلَى قَطْعِ النَّسْلِ


“’Azl adalah menggaulinya suami terhadap istri kemudian ketika suami mau keluar mani ia melepaskan dzakarnya dan mengeluarkannya di luar farji. Hukum ‘azl menurut kami adalah makruh dalam kondisi apa saja dan pada setiap perempuan baik ia rela maupun tidak, karena ‘azl adalah sarana untuk memutuskan keturunan”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats).



Wallahu A'lam
(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2554 seconds (0.1#10.140)