Cak Nur: Puasa Salah Satu Mata Rantai Kontinuitas Agama-Agama

Kamis, 16 Maret 2023 - 13:49 WIB
loading...
Cak Nur: Puasa Salah Satu Mata Rantai Kontinuitas Agama-Agama
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan atau kontinuitas agama-agama.

"Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelumnya," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas tentang penghayatan makna ibadah puasa.

Menurut Cak Nur, firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum beriman menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupa atas manusia sebelum mereka. Ini menunjukkan adanya ibadat puasa pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW .



Allah SWT berfirman: "Wahai sekalian orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamu bertakwa." [ QS al-Baqarah/2 :183]

Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain.

Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan diri dari bekerja, malah dari berbicara.

Puasa berupa penahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'an pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih. Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkan seorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga.

Firman Allah berkenaan dengan hal ini:

... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [ QS Maryam/19 :26]



Jadi, kata Cak Nur, pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmani dan rohani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan.

Pengingkaran jasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapat beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri dari makan dan minum itu secara mutlak. Artinya, semua bentuk makanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali sejak dari fajar sampai terbenam matahari.

Kendati demikian, ada umat lain yang berpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atau minuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) dan para pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompok keagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan Persia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa dengan menghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu.

Demikian pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timur di Asia Barat dan Mesir.

Menurut Cak Nur, dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalan berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus.

Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari. "Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa perlu menerangkan hikmah puasa siang hari saja seperti yang dijalankan oleh kaum Muslim," ujar Cak Nur.



Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitab "Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu" memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utama daripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkan dengan ketentuan, menurut sebuah Hadis Nabi, bahwa "Ibadat yang paling utama ialah yang paling menggigit (ahmaz yakni, paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yang paling menggigit."

Tampak bahwa ibadah puasa memang sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitu latihan kerohanian, sehingga semakin berat semakin baik dan utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orang yang melakukannya.

Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadan, disebutkan oleh al-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen, namun kemudian mereka tinggalkan. Cak Nur mengatakan tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkali untuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabia karena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat.

Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya suku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkan dalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umat sebelumnya, sebagaimana juga jelas bahwa Islam mengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapa amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tauhid.

Berdasarkan itu semua, kata Cak Nur, dapat dikatakan bahwa puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambungan atau kontinuitas agama-agama.

Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelumnya.



Segi kesinambungan atau kontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan hal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci, yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad SAW ialah tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:

Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur.

Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.

Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana.

Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [ QS. al-Nisa'/4 :163-166]
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2052 seconds (0.1#10.140)