Perkembangan Salat Tarawih yang Dipraktikkan Khulafaur Rasyidin
loading...
A
A
A
Salat Tarawih berkembang pada zaman khalifaur rasyidin . Pada era Khalifah Abu Bakar ra masih sebagaimana dipraktikkan Rasulullah SAW . Perubahan mulai terjadi di era Khalifah Umar bin Khattab .
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatho’, beliau meriwayatkan anjuran Nabi SAW tentang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ibadah akan tetapi anjuran itu tidak mantap. Bahasa Fiqih-nya; bighairi ‘azimah.
Kemudian anjuran tersebut disambung dengan pernyataan Ibn Syihab yang menyebut bahwa apa yang terjadi di masa Nabi hidup itu berlaku juga juga tidak berubah di masa Sayyidina Abu Bakar menjabat sebagai khalifah sampai pada masa awal-awal Sayyidina Umar ra menjabat. Bahkan riwayat ini pun termaktub dalam kitab sahih-nya Imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dengan redaksi yang sama.
Ibn Syihab berkata: Nabi SAW wafat dan keadaan (salat malam Ramadan) begitu saja di masa Abu Bakar dan masa awal-awal menjabatnya Sayyidina Umar (HR Malik).
Hanya saja, ada riwayat yang disebutkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk oleh Imam al-Marwadzi dalam kitabnya "Qiyam Ramadhan", tentang Sayyidah Aisyah yang memasakkan qaliyyah 14 dan juga khusykar 15; yakni sejenis roti untuk anak-anak yang menjadi Imam mereka.
Dari Sayyidah ‘Aisyah, "Kami menjadikan anak-anak dari kuttab 16 (pondok Qur’an) untuk kami jadikan imam salat kami di bulan Ramadan, lalu kami masakan untuk mereka qaliyyah dan juga khusykar."
Sheikh ‘Athiyah Salim dalam kitabnya "al-Tarawih Aktsar min Alfi ‘Aam", menyebut bahwa riwayat Sayyidah ‘Aisyah yang menjadikan anak-anak penghafal Qur’an menjadi Imam untuk salat malam mereka di Ramadan ini terjadi di zaman Abu Bakar menjabat sebagai khalifah. Bukan terjadi di zaman Nabi.
Menurut Ustaz Ahmad Zarkasih Lc , dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Tarawih" kejadian ini mungkin berangkat dari apa yang pernah disebutkan oleh Nabi SAW untuk mengangkat imam, orang yang paling banyak hafalan Qur’annya. Dan mungkin ketika itu, anak-anak dari Kuttab itulah yang paling banyak hafalan Qur’annya dibanding yang lain. Maka jadilah mereka imam.
Di samping itu, kata Syaikh ‘Athiyah Salim, di masjid Nabawi muncul fenomena saling membagus-baguskan bacaan agar banyak diikuti oleh makmum. Karena memang tidak ada komando satu jamaah. Jamaah mengikuti siapa yang bagi mereka bagus bacaannya.
Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising. Kondisi ini tidak disukai Umar. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Menurut Ahmad Zarkasih, setidaknya inilah perubahan pertama yang terjadi dalam pelaksanaan ritual salat malam Ramadan yang dipromotori oleh Umar; yakni menyatukan seluruh jemaah di masjid menjadi satu jemaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadan ketika itu adalah Ubai bin Ka’ab ra. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam. Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jemaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy.
Teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan ini semua terjadi pada Ramadan tahun ke-13 Hijrah; yakni pada Ramadan pertama Umar menjabat sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar.
Pada masa itu, salat malam sangat lama, sampai subuh. Ini terjadi karena bacaan yang panjang. Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Umar itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar kemudian jika beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Selain itu, Umar pun membuatkan jamaah salat malam Ramadan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat, Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, dalam perkembangannya, Umar mengubah format salat qiyam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.
Dalam perkembangannya, ternyata Imam yang ditentukan oleh Umar bukan saja 2; Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Daariy, tapi lebih banyak dari itu. Bahkan Khalifah Umar mengumpulkan para qari-qari untuk bergiliran menjadi imam qiyam Ramadan di masjid Nabawi.
Lama waktu salat pun ikut berubah. Itu diawali dengan perubahan jumlah ayat yang dibaca; karena memang itulah sebab lamanya salat. Umar setelahnya memerintahkan imam-imam salat yang dipilih itu untuk membaca ayat al-Qur’an dalam satu rakaat hanya 50 sampai 60 ayat.
Dalam perkembangannya (lagi), Umar memerintahkan para imam membaca dalam satu rakaat hanya 20 sampai 30 ayat saja. Hal ini tentu saja memangkas waktu salat menjadi lebih cepat dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan dari kitab yang sama juga, Imam al-Marwadzi meriwayatkan bahwa salat di zaman Umar akhirnya menjadi sangat ringan karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam.
Dan 2/4 mereka gunakan untuk salat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur. Dan jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat Qiyam Ramadan yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat.
Ini proses yang dilalui orang umat Islam ketika Umar menjabat sebagai khalifah. Dari mulai salat yang lama dan panjang dengan jumlah rakaat yang sedikit. Lalu kemudian menjadi salat malam yang ringan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak.
Menurut Ahmad Zarkasih. perbedaan yang ada antara Utsman dan Umar hanyalah terjadi pada posisi imam. Pada zaman Utsman, posisi imam lebih banyak ditempati oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Setidaknya, beliau menjadi Imam pada masa Utsman hanya 20 malam saja. Sisanya beliau menyendiri memaksimalkan malam 10 akhir ramadan.
Selanjutnya, 10 malam terakhir di masjid dipimpin oleh Abu Halimah Muadz al-Qari’. Begitu riwayat yang direkam oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunannya: Dari Hasan, beliau berkata: Ali bin Abi Thalib menjadi Imam pada zaman Utsman bin ‘Affan selama 20 malam. Kemudian menyendiri. Beberapa orang menyebut, beliau (Ali) beribadah sendiri. Kemudian (10 malam terakhir) diteruskan oleh Abu Halimah Mu’adz al-Qari’ , dan beliau membaca Qunut (di salat witir). (HR al-Baihaqi)
Jika tadinya Umar mengumpulkan banyak imam untuk saling bergantian menjadi imam, sedangkan Utsman tidak melelang posisi ini. Beliau hanya memberikan posisi itu kepada 2 orang, yakni Ali bin Abi Thalib sebagai Imam utama dan penggantinya di 10 terakhir adalah Abu Halimah Mu’adz al-Qari’.
Hal yang juga menjadi corak khas zaman Utsman menjadi khalifah dan menjadi pembeda serta juga bisa dikatakan sebagai tradisi baru yang dijalankan adanya doa Khatmul-Qur’an di ujung salat tarawih.
Dan di akhir rakaat, yakni rakaat ke 20, dibacakan surat terakhir; al-Naas yang kemudian disusul dengan doa khatam Qur’an sebelum ruku’. Ini yang kita dapati dari beberapa riwayat termasuk riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibn Qudamah; salah satu ulama al-Hanabilah, dalam kitabnya yang Masyhur; al-Mughni (2/125).
Hanbal mengatakan: aku mendengar Imam Ahmad berkata pada masalah Khatam Qur’an: “Jika kalian selesai membaca qul ‘Audzu birabbinNaas, angkatlah tangamu untuk berdosa sebelum ruku’. Aku mengatakan: kepada siapa kau mengikuti hal ini? Beliau (Imam Ahmad) menjawab: aku melihat orang-orang Makkah mengerjakan ini dan Sufyan bin ‘Uyaynah juga mengerjakannya di Mekkah. Abbas bin Abdul ‘Adzim mengatakan: seperti itu kami mendapati orang Makkah dan juga orang Bashrah. Dan orang-orang Madinah mencontoh itu karena disebutkan itu dilakukan sejak zaman Utsman bin ‘Affan.
Itu juga berarti bahwa apa yang dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal itu adalah sesuatu yang memang sudah dikerjakan oleh penduduk 3 kota ulama-ulama Islam; Makkah, Madinah dan Bashrah. Dan ketiganya itu melakukan sebab didahului oleh apa yang dikerjakan dan terjadi di zaman Sayyidina Utsman bin ‘Affan. Hanya saja memang tidak diketahui dengan pasti, apakah khatam Quran itu dilakukan di setiap malam atau hanya dikerjakan di akhir Ramadan, yakni di malam terakhir tarawih.
Pada zaman Ali, salat tarawih tetap 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, dikerjakan berjamaah di masjid, dan yang menjadi imam adalah imam yang lulus seleksi audisi yang dilakukan oleh Khalifah.
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya, disebutkan bahwa Khalifah Ali memanggil para Qurra’ (jamak Qari’) untuk dipilih salah satu di antara mereka memimpin salat di Masjid Nabawi. Tapi itu hanya untuk 20 rakaat tarawih. Sedangkan witir, Khalifah Ali sendiri yang menjadi imam.
Perubahan kedua yang terjadi dan dilakukan oleh Khalifah Ali adalah format tarwiih, yakni jeda istirahat. Dulu, di masa Umar menjabat, tarwiih itu ada di setiap selesai 2 rakaat. Artinya, dalam 20 rakaat, istirahat ada 10 kali. Sedangkan di zaman Ali, format tarwiih berubah. Beliau hanya mengizinkan tarwiih dari 20 rakaat itu hanya 5 kali. Artinya bahwa tarwiih tidak dilakukan setiap selesai 2 rakaat, melainkan setiap 4 rakaat.
Selain itu, Khalifah Ali juga merotasi jabatan Imam untuk jamaah perempuan. Yang awalnya adalah Sulaiman bin Abi Hatsmah yang sudah diangkat jadi imam sejak zaman Umar, di masa Ali RA menjabat, posisi imam jamaah perempuan ditempati oleh ‘Urfujah.
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatho’, beliau meriwayatkan anjuran Nabi SAW tentang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ibadah akan tetapi anjuran itu tidak mantap. Bahasa Fiqih-nya; bighairi ‘azimah.
Kemudian anjuran tersebut disambung dengan pernyataan Ibn Syihab yang menyebut bahwa apa yang terjadi di masa Nabi hidup itu berlaku juga juga tidak berubah di masa Sayyidina Abu Bakar menjabat sebagai khalifah sampai pada masa awal-awal Sayyidina Umar ra menjabat. Bahkan riwayat ini pun termaktub dalam kitab sahih-nya Imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dengan redaksi yang sama.
Baca Juga
Ibn Syihab berkata: Nabi SAW wafat dan keadaan (salat malam Ramadan) begitu saja di masa Abu Bakar dan masa awal-awal menjabatnya Sayyidina Umar (HR Malik).
Hanya saja, ada riwayat yang disebutkan dalam beberapa kitab hadis, termasuk oleh Imam al-Marwadzi dalam kitabnya "Qiyam Ramadhan", tentang Sayyidah Aisyah yang memasakkan qaliyyah 14 dan juga khusykar 15; yakni sejenis roti untuk anak-anak yang menjadi Imam mereka.
Dari Sayyidah ‘Aisyah, "Kami menjadikan anak-anak dari kuttab 16 (pondok Qur’an) untuk kami jadikan imam salat kami di bulan Ramadan, lalu kami masakan untuk mereka qaliyyah dan juga khusykar."
Sheikh ‘Athiyah Salim dalam kitabnya "al-Tarawih Aktsar min Alfi ‘Aam", menyebut bahwa riwayat Sayyidah ‘Aisyah yang menjadikan anak-anak penghafal Qur’an menjadi Imam untuk salat malam mereka di Ramadan ini terjadi di zaman Abu Bakar menjabat sebagai khalifah. Bukan terjadi di zaman Nabi.
Menurut Ustaz Ahmad Zarkasih Lc , dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Tarawih" kejadian ini mungkin berangkat dari apa yang pernah disebutkan oleh Nabi SAW untuk mengangkat imam, orang yang paling banyak hafalan Qur’annya. Dan mungkin ketika itu, anak-anak dari Kuttab itulah yang paling banyak hafalan Qur’annya dibanding yang lain. Maka jadilah mereka imam.
Di samping itu, kata Syaikh ‘Athiyah Salim, di masjid Nabawi muncul fenomena saling membagus-baguskan bacaan agar banyak diikuti oleh makmum. Karena memang tidak ada komando satu jamaah. Jamaah mengikuti siapa yang bagi mereka bagus bacaannya.
Era Khalifah Umar bi Khattab
Keadaan salat di malam Ramadan mulai berubah di zaman Sayyidina Umar bin Khattab ra . Pada awalnya, salat di masjid Nabawi ramai dengan bacaan masing-masing imam. Jamaah kian banyak dan berpencar-pencar. Orang berpindah dari satu imam ke imam yang lain; sesuai dengan bacaan Qur'an yang ia suka.Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising. Kondisi ini tidak disukai Umar. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Menurut Ahmad Zarkasih, setidaknya inilah perubahan pertama yang terjadi dalam pelaksanaan ritual salat malam Ramadan yang dipromotori oleh Umar; yakni menyatukan seluruh jemaah di masjid menjadi satu jemaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadan ketika itu adalah Ubai bin Ka’ab ra. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam. Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jemaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy.
Teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan ini semua terjadi pada Ramadan tahun ke-13 Hijrah; yakni pada Ramadan pertama Umar menjabat sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar.
Pada masa itu, salat malam sangat lama, sampai subuh. Ini terjadi karena bacaan yang panjang. Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Umar itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar kemudian jika beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Selain itu, Umar pun membuatkan jamaah salat malam Ramadan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat, Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, dalam perkembangannya, Umar mengubah format salat qiyam Ramadan di masjid Nabawi. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.
Dalam perkembangannya, ternyata Imam yang ditentukan oleh Umar bukan saja 2; Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Daariy, tapi lebih banyak dari itu. Bahkan Khalifah Umar mengumpulkan para qari-qari untuk bergiliran menjadi imam qiyam Ramadan di masjid Nabawi.
Lama waktu salat pun ikut berubah. Itu diawali dengan perubahan jumlah ayat yang dibaca; karena memang itulah sebab lamanya salat. Umar setelahnya memerintahkan imam-imam salat yang dipilih itu untuk membaca ayat al-Qur’an dalam satu rakaat hanya 50 sampai 60 ayat.
Dalam perkembangannya (lagi), Umar memerintahkan para imam membaca dalam satu rakaat hanya 20 sampai 30 ayat saja. Hal ini tentu saja memangkas waktu salat menjadi lebih cepat dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan dari kitab yang sama juga, Imam al-Marwadzi meriwayatkan bahwa salat di zaman Umar akhirnya menjadi sangat ringan karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam.
Dan 2/4 mereka gunakan untuk salat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur. Dan jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat Qiyam Ramadan yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat.
Ini proses yang dilalui orang umat Islam ketika Umar menjabat sebagai khalifah. Dari mulai salat yang lama dan panjang dengan jumlah rakaat yang sedikit. Lalu kemudian menjadi salat malam yang ringan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak.
Era Khalifah Utsman bin Affan
Tata cara salat malam di bulan Ramadan pada era Khalifah Usman bin Affan melanjutkan tradisi yang telah dikembangkan Sayyidina Umar bin Khattab. Kala itu, para sahabat tidak ada yang menolak. Tidak sedikit ulama yang menyebut bahwa format tarawih dengan berjamaah dan 20 rakaat ditambah menjadi 23 rakaat plus witir itu adalah sebuah ijma’ alias konsensus.Menurut Ahmad Zarkasih. perbedaan yang ada antara Utsman dan Umar hanyalah terjadi pada posisi imam. Pada zaman Utsman, posisi imam lebih banyak ditempati oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Setidaknya, beliau menjadi Imam pada masa Utsman hanya 20 malam saja. Sisanya beliau menyendiri memaksimalkan malam 10 akhir ramadan.
Selanjutnya, 10 malam terakhir di masjid dipimpin oleh Abu Halimah Muadz al-Qari’. Begitu riwayat yang direkam oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunannya: Dari Hasan, beliau berkata: Ali bin Abi Thalib menjadi Imam pada zaman Utsman bin ‘Affan selama 20 malam. Kemudian menyendiri. Beberapa orang menyebut, beliau (Ali) beribadah sendiri. Kemudian (10 malam terakhir) diteruskan oleh Abu Halimah Mu’adz al-Qari’ , dan beliau membaca Qunut (di salat witir). (HR al-Baihaqi)
Jika tadinya Umar mengumpulkan banyak imam untuk saling bergantian menjadi imam, sedangkan Utsman tidak melelang posisi ini. Beliau hanya memberikan posisi itu kepada 2 orang, yakni Ali bin Abi Thalib sebagai Imam utama dan penggantinya di 10 terakhir adalah Abu Halimah Mu’adz al-Qari’.
Hal yang juga menjadi corak khas zaman Utsman menjadi khalifah dan menjadi pembeda serta juga bisa dikatakan sebagai tradisi baru yang dijalankan adanya doa Khatmul-Qur’an di ujung salat tarawih.
Dan di akhir rakaat, yakni rakaat ke 20, dibacakan surat terakhir; al-Naas yang kemudian disusul dengan doa khatam Qur’an sebelum ruku’. Ini yang kita dapati dari beberapa riwayat termasuk riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibn Qudamah; salah satu ulama al-Hanabilah, dalam kitabnya yang Masyhur; al-Mughni (2/125).
Hanbal mengatakan: aku mendengar Imam Ahmad berkata pada masalah Khatam Qur’an: “Jika kalian selesai membaca qul ‘Audzu birabbinNaas, angkatlah tangamu untuk berdosa sebelum ruku’. Aku mengatakan: kepada siapa kau mengikuti hal ini? Beliau (Imam Ahmad) menjawab: aku melihat orang-orang Makkah mengerjakan ini dan Sufyan bin ‘Uyaynah juga mengerjakannya di Mekkah. Abbas bin Abdul ‘Adzim mengatakan: seperti itu kami mendapati orang Makkah dan juga orang Bashrah. Dan orang-orang Madinah mencontoh itu karena disebutkan itu dilakukan sejak zaman Utsman bin ‘Affan.
Itu juga berarti bahwa apa yang dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal itu adalah sesuatu yang memang sudah dikerjakan oleh penduduk 3 kota ulama-ulama Islam; Makkah, Madinah dan Bashrah. Dan ketiganya itu melakukan sebab didahului oleh apa yang dikerjakan dan terjadi di zaman Sayyidina Utsman bin ‘Affan. Hanya saja memang tidak diketahui dengan pasti, apakah khatam Quran itu dilakukan di setiap malam atau hanya dikerjakan di akhir Ramadan, yakni di malam terakhir tarawih.
Era Khalifah Ali bin Abi Thalib
Pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, format salat tarawih tidak berubah. Bedanya, tentu saja pada posisi imam. Dan memang posisi itulah yang selalu pasti terjadi rotasi dari khalifah ke khalifah yang lain.Pada zaman Ali, salat tarawih tetap 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, dikerjakan berjamaah di masjid, dan yang menjadi imam adalah imam yang lulus seleksi audisi yang dilakukan oleh Khalifah.
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya, disebutkan bahwa Khalifah Ali memanggil para Qurra’ (jamak Qari’) untuk dipilih salah satu di antara mereka memimpin salat di Masjid Nabawi. Tapi itu hanya untuk 20 rakaat tarawih. Sedangkan witir, Khalifah Ali sendiri yang menjadi imam.
Perubahan kedua yang terjadi dan dilakukan oleh Khalifah Ali adalah format tarwiih, yakni jeda istirahat. Dulu, di masa Umar menjabat, tarwiih itu ada di setiap selesai 2 rakaat. Artinya, dalam 20 rakaat, istirahat ada 10 kali. Sedangkan di zaman Ali, format tarwiih berubah. Beliau hanya mengizinkan tarwiih dari 20 rakaat itu hanya 5 kali. Artinya bahwa tarwiih tidak dilakukan setiap selesai 2 rakaat, melainkan setiap 4 rakaat.
Selain itu, Khalifah Ali juga merotasi jabatan Imam untuk jamaah perempuan. Yang awalnya adalah Sulaiman bin Abi Hatsmah yang sudah diangkat jadi imam sejak zaman Umar, di masa Ali RA menjabat, posisi imam jamaah perempuan ditempati oleh ‘Urfujah.
(mhy)