Kaum Kebatinan dalam Islam Menurut Cak Nur
loading...
A
A
A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur menjelaskan istilah al-Bathiniyyun, kadang-kadang juga Ahl al-Bawathin (Kaum Kebatinan) digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok Islam yang orientasinya berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha menangkap makna dalam (batin) dari suatu teks atau ajaran agama.
Menurut Cak Nur, istilah tersebut berlaku untuk hampir semua kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi. "Oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum Isma'ili, penganut aliran Isma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi'ah yang muncul sesudah wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar 148 H (765 M)," tulisnya saat membahas masalah Takwil sebagai metodologi penafsiran al-Quran".
Mereka juga dinamakan kaum Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il (ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir).
Dalam hal paham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas). Kepercayaan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar--dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi.
Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran karya-karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam rangka usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan ta'wil terhadap fakta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi'ah Isma'iliyyah ini memang banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Platonisme.
Mereka memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada paham tentang adanya ajaran-ajaran esoteris (batin) yang membentuk sistem filsafat kaum Isma'ili.
Dalam gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem filsafat itu menyediakan penyimpangan kandungan batin ajaran-ajaran agama yang antara lain, bagi mereka, memberi dukungan pada usaha pembuktian bahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.
Menurut Cak Nur, pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin, semua ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna batin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan kaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit itu, malah berbahaya bagi mereka, maka makna batin itu ditujukan hanya pada orang-orang istimewa tertentu saja.
Makna dan kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur'an, yang tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi kepada Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali, dan hanya mereka inilah yang dapat menangkap makna-makna batiniah agama.
Unsur Neo-Platonis Kaum Kebatinan ini kemudian muncul dalam karya kefilsafatan besar --yang ditulis sekelompok sarjana yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa' (Persaudaraan Suci)-- Risalat Ikhwan al-Shafa.
Selain unsur Neo-Platonis, kata Cak Nur, paham kebatinan ini juga menunjukkan tanda-tanda adanya pengarah Manicheanisme, yaitu suatu pecahan agama Majusi (Zoroastrianisme).
Diduga bahwa orang-orang Persi penganut Manicheanisme di zaman Abbasiyah secara rahasia masuk Islam dan memeluk paham kebatinan kalangan kaum Isma'ili.
Menurut Cak Nur, paham Sy'iah Isma'iliyyah bertemu dengan Manicheanisme dalam ajaran yang hendak memberi pada penganutnya "kearifan dan martabat kosmis" yang budi kasar orang umum tak mampu menggapainya.
Sedikit sekali kemungkinan orang luar lingkungan sendiri akan diberi pengakuan kemanusiann yang penuh. Pandangan hidup kaum Isma'ili yang sangat esoteris (bathini) itu telah membuat mereka sebagai salah satu kelompok yang paling eksklusifistik dalam Islam.
Tapi lain dari Manucheanisme, kebatinan kaum Isma'ili sangat menekankan pembangunan praktis susunan masyarakat dunia, sebagai bentuk keterlibatan nyata mereka dalam sejarah kemanusiaan.
Mereka itu kini dipimpin Aga Khan yang terkenal itu. Mereka tidak saja menjadi sponsor atas kegiatan kultural dan ilmiah yang antusias, tapi juga banyak mendorong kemajuan masyarakat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat Islam sendiri.
Sebagai misal, kata Cak Nur, mereka memberi award bidang arsitektur Islam kepada Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, atas dasar konsep tentang arsitektur Islam masa depan yang cukup revolusioner, yang menurut penilaian mereka diwakili rintisannya oleh pesantren itu.
Mereka juga banyak mengadakan pameran benda-benda seni peninggalan Islam di kota-kota besar dunia (1983 di New York), suatu bentuk kegiatan yang dimungkinkan oleh minat mereka yang besar kepada usaha memelihara warisan sejarah Islam. Mereka juga terdiri dari kaum bisnis dan wirausahawan yang sukses, seperti tampak nyata di banyak kawasan Afrika Timur.
Menurut Cak Nur, istilah tersebut berlaku untuk hampir semua kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi. "Oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum Isma'ili, penganut aliran Isma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi'ah yang muncul sesudah wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar 148 H (765 M)," tulisnya saat membahas masalah Takwil sebagai metodologi penafsiran al-Quran".
Mereka juga dinamakan kaum Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh), karena kepercayaan mereka pada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il (ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir).
Dalam hal paham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas). Kepercayaan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyyah pada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar--dan bukannya ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi.
Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran karya-karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam rangka usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan ta'wil terhadap fakta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi'ah Isma'iliyyah ini memang banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Platonisme.
Mereka memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada paham tentang adanya ajaran-ajaran esoteris (batin) yang membentuk sistem filsafat kaum Isma'ili.
Dalam gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem filsafat itu menyediakan penyimpangan kandungan batin ajaran-ajaran agama yang antara lain, bagi mereka, memberi dukungan pada usaha pembuktian bahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.
Menurut Cak Nur, pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin, semua ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna batin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan kaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit itu, malah berbahaya bagi mereka, maka makna batin itu ditujukan hanya pada orang-orang istimewa tertentu saja.
Makna dan kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur'an, yang tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi kepada Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali, dan hanya mereka inilah yang dapat menangkap makna-makna batiniah agama.
Unsur Neo-Platonis Kaum Kebatinan ini kemudian muncul dalam karya kefilsafatan besar --yang ditulis sekelompok sarjana yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa' (Persaudaraan Suci)-- Risalat Ikhwan al-Shafa.
Selain unsur Neo-Platonis, kata Cak Nur, paham kebatinan ini juga menunjukkan tanda-tanda adanya pengarah Manicheanisme, yaitu suatu pecahan agama Majusi (Zoroastrianisme).
Diduga bahwa orang-orang Persi penganut Manicheanisme di zaman Abbasiyah secara rahasia masuk Islam dan memeluk paham kebatinan kalangan kaum Isma'ili.
Menurut Cak Nur, paham Sy'iah Isma'iliyyah bertemu dengan Manicheanisme dalam ajaran yang hendak memberi pada penganutnya "kearifan dan martabat kosmis" yang budi kasar orang umum tak mampu menggapainya.
Sedikit sekali kemungkinan orang luar lingkungan sendiri akan diberi pengakuan kemanusiann yang penuh. Pandangan hidup kaum Isma'ili yang sangat esoteris (bathini) itu telah membuat mereka sebagai salah satu kelompok yang paling eksklusifistik dalam Islam.
Tapi lain dari Manucheanisme, kebatinan kaum Isma'ili sangat menekankan pembangunan praktis susunan masyarakat dunia, sebagai bentuk keterlibatan nyata mereka dalam sejarah kemanusiaan.
Mereka itu kini dipimpin Aga Khan yang terkenal itu. Mereka tidak saja menjadi sponsor atas kegiatan kultural dan ilmiah yang antusias, tapi juga banyak mendorong kemajuan masyarakat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat Islam sendiri.
Sebagai misal, kata Cak Nur, mereka memberi award bidang arsitektur Islam kepada Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, atas dasar konsep tentang arsitektur Islam masa depan yang cukup revolusioner, yang menurut penilaian mereka diwakili rintisannya oleh pesantren itu.
Mereka juga banyak mengadakan pameran benda-benda seni peninggalan Islam di kota-kota besar dunia (1983 di New York), suatu bentuk kegiatan yang dimungkinkan oleh minat mereka yang besar kepada usaha memelihara warisan sejarah Islam. Mereka juga terdiri dari kaum bisnis dan wirausahawan yang sukses, seperti tampak nyata di banyak kawasan Afrika Timur.
(mhy)