Puasa Batal, Wajib Qadha dan Membayar Kafarat Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki

Sabtu, 01 April 2023 - 14:47 WIB
loading...
Puasa Batal, Wajib Qadha dan Membayar Kafarat Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki
Membayar kafarah berupa memberi makan kepada 60 fakir miskin. Foto/Ilustrasi: dok SINDOnews
A A A
Mazhab Hanafi membuat 22 hal pembatalan puasa yang wajib membayar qadha sekaligus kafarat bagi seorang muslim yang mukallaf atau orang yang sudah punya hak dan kewajiban dalam konstitusi hukum. Sedangkan Imam Malik menyempitkan konsekuensi qadha’ sekaligus kafarah tersebut hanya pada pelanggaran puasa bulan Ramadan .

Membayar "kafarah" yaitu dengan cara memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut jika tidak menemukan budak, atau memberi makan 60 fakir miskin jika tidak mampu puasa.

Di era kini, karena perbudakan sudah tidak ada, maka cukup berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu (karena sakit atau hal-hal yang menghalangi lainnya) maka harus memberi makan 60 fakir miskin.



Prof Dr Wahbah Al Zuhaily dalam buku "The Islamic Jurisprudence and Evidences" menyebutkan ketentuan ini berlaku bagi orang mukallaf atau orang yang sudah punya hak dan kewajiban dalam konstitusi hukum yang melakukan niatnya pada malam hari kemudian membatalkan puasanya dengan sengaja, tanpa keterpaksaan, dan tidak ada hal lain yang menghalangi puasa seperti sakit atau bepergian.

Menurut Mazhab Hanafi 22 hal tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kategori:

Pertama, makan-minum makanan-minuman atau obat-obatan tanpa ada halangan (uzur) yang sah. Makanan-minuman di sini meliputi hal-hal yang biasa dimakan atau diminum, seperti daging dan makanan berlemak lainnya, baik yang mentah, masak, atau kering. Begitu juga buah-buahan dan sayuran. Meliputi pula makanan yang tidak biasa dimakan seperti daun anggur, kulit semangka, dll.

Sedangkan yang masuk dalam kelompok obat-obatan adalah hal-hal yang membahayakan kesehatan seperti rokok, narkoba, dll.

Termasuk dalam kategori pertama ini, makan dengan sengaja karena ia menyangka puasanya telah batal. Misalnya ia sengaja makan setelah ia mengumpat orang lain, karena ia menduga bahwa umpatan itu membatalkan puasa. Atau ia sengaja makan setelah berbekam, menyentuh atau mencium dengan syahwat, bercumbu tanpa keluar mani, dll.

Masuk dalam kategori ini juga menelan air hujan yang masuk ke mulut dan menelan air liur isteri untuk kenikmatan.



Kedua, melampiaskan nafsu seksual secara sempurna, yaitu berhubungan seksual melalui alat kelamin atau anus –baik pelaku maupun obyek– meskipun hanya bersentuhan alat kelamin tanpa keluar mani. Namun dengan syarat obyeknya orang yang mengundang syahwat.

Begitu pula jika seorang perempuan melakukan kontak seksual dengan anak kecil atau orang gila, maka perempuan tersebut tetap harus membayar kafarah.

Adapun dalil hukumnya adalah hadis yang menceritakan kejadian orang Badui yang bersenggama dengan isterinya pada siang hari Ramadan. Nabi lantas mewajibkan mereka membayar kafarah yaitu dengan cara memerdekakan budak, atau puasa 2 bulan berturut-turut jika tidak menemukan budak, atau memberi makan 60 fakir miskin jika tidak mampu puasa.

Mazhab Maliki

Sedangkan Imam Malik menyempitkan konsekuensi qadha’ sekaligus kafarah hanya pada pelanggaran puasa bulan Ramadan saja, yaitu antara lain:



1. Bersetubuh dengan sengaja baik dengan manusia atau hewan, meskipun tidak keluar mani. Baik dengan isterinya atau wanita lain. Karena hal itu merupakan penghinaan terhadap kemulyaan bulan Ramadan. Meski inisiatif senggama datang dari si wanita, baik istrinya sendiri atau orang lain, kewajiban kafarah tetap dikenakan pada dua-duanya. Namun jika sang wanita disetubuhi ketika sedang tidur atau diperkosa, maka wanita tersebut bebas dari kafarah. Dan jika bersenggama karena lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka ia tidak berkewajiban membayar kafarah. Karena kafarah pada esensinya adalah akibat pelanggaran kehormatan bulan Ramadan.

2. Mengeluarkan mani akibat berciuman; bercumbu tanpa bersetubuh; memandang atau membayangkan (sesuatu yang mengundang syahwat) dalam tempo waktu yang disengaja sementara dia sadar akan kebiasaannya keluar mani akibat melakukan hal seperti itu; memandang dan mengangan dalam sekilas waktu dan dia sadar kebiasaanya mengeluarkan mani dengan sekadar melakukan hal seperti itu.

Namun jika keluar mani dikarenakan memandang atau membayangkan padahal tidak biasanya dia keluar mani karena melakukan hal itu; atau memang biasa keluar mani/madzi dengan hanya memandang atau membayangkan, maka ia tidak wajib membayar kafarah.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2988 seconds (0.1#10.140)