Ketika Ilmu Kalam Tak Lagi Menjadi Monopoli Kaum Muktazilah

Rabu, 05 April 2023 - 16:06 WIB
loading...
Ketika Ilmu Kalam Tak Lagi Menjadi Monopoli Kaum Muktazilah
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Pada awalnya ilmu Kalam menjadi monopoli kaum Muktazilah , namun dalam perjalannya tak sedikit sarjana muslim yang mendalami ilmu ini. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Muktazilah, tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Muktazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Muktazilah.

Cendekiawan Muslim, Prof Dr. Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni .

"Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa 'jalan keselamatan' hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".



Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M).

Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia, al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya juga dipandang sebagai 'jalan keselamatan', bersama dengan sistem al-Asy'ari.

Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadis yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah. [Lihat Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego]

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah SAW, yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).



Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadis (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh).

Menggunakan Senjata Lawan

Cak Nur mengatakan kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Muktazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan.

"Di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali," ujar Cak Nur,

Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah.

Dengan maksud menengahi antara keduanya, kata Cak Nur, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan).



Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain. Meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu.

Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:

Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara

(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya. Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).

Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:

... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone. Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.

(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).



Menurut Cak Nur, tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Muktazilah dan Syi'ah, tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali.

Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taimiyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu al-Asy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka.

Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taimiyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

"... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan)".

Namun, kata Cak Nur, agaknya Ibn Taimiyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb al-Asy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"



Ibn Taimiyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ibn Hanbal. Namun Ibn Taimiyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.

Penalaran Rasional

Menurut Cak Nur, Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi.

Kaum "liberal", seperti golongan Mutkazilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql.

Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.

Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Muktazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles.

Dalam penglihatan Ibn Taimiyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taimiyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).



Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taimiyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taimiyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).

Epistemologi Ibn Taimiyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fitrah-nya: dengan fitrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.

Fitrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taimiyah sebagai "fitrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.



Cak Nur mengatakan yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taimiyah yang Hanbali berdasarkan fitrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah.

Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadis, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.

Sejalan dengan itu, Ibn Taimiyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu."
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2887 seconds (0.1#10.140)