Haedar Nashir: Di saat Ada Pemicu, Bisakah Kita Tetap Menjaga Silaturahmi?
loading...
A
A
A
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, MSi mengatakan ujian silaturahmi bukan di kala normal. "Di kala normal insyaAllah bisa. Tapi di saat ada pemicu, bisakah kita tetap menjaga silaturahmi?” ujar Haedar.
Pernyataan Haedar ini disampaikan dalam acara Halalbilhalal yang berlangsung di Gedung Prof Dr H M Amin Abdullah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada Senin (08/05/2023). Haedar menyampaikan materi tentang Hikmah Syawalan di hadapan pemuka agama-agama dan civitas akademika UIN SUKA Jogja tersebut.
Menurut Haedar, Indonesia merupakan rumah besar yang menaungi seluruh agama-agama dan kepercayaan. “Negeri kita Indonesia tercinta ini, harus menciptakan rumah yang besar, menjadi rumah nyaman untuk semua perbedaan, untuk keragaman, hidup bersatu, damai dan penuh toleransi,” ujarnya.
Secara normatif, kata Haedar, ada banyak tuntunan menjaga silaturahmi. Di antara ciri “Ulil Albab” yang disebutkan dalam Al Quran ialah mereka yang senantiasa menjaga tali silaturahmi. “Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Ar-Ra’du: 21).
Nabi SAW juga meletakkan silaturahmi satu mata rantai dengan perintah ibadah, salat, dan zakat sebagaimana sabdanya: “Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara.” (HR Bukhari).
Dalam pidato akhir kerisalahan Nabi SAW pada Haji Wada juga banyak nilai-nilai kemanusiaan semesta yang inklusif. Dalam momen sakral tersebut, Nabi SAW mengajak untuk memuliakan kaum perempuan dan semua umat manusia, meniadakan riba, meluruhkan ego golongan, menghilangkan diskriminasi, dan menjadikan umat yang satu dalam keragaman.
Dalam QS Ali Imran ayat 103, Allah berfirman: “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Redaksi ayat ini memuat perintah sekaligus larangan. Artinya, umat Islam harus melakukan sesuatu yang positif dan pada saat yang bersamaan harus mencegah hal yang negatif. Umat Islam mesti menjaga silaturahmi sekaligus menghindari permusuhan.
Berdasarkan tuntunan normatif di atas, kata Haedar, ada banyak sekali perintah untuk menjaga silaturahmi dan larangan menghunus permusuhan. "Akan tetapi, ujian sesungguhnya ialah apakah umat Islam mampu menjaga silaturahmi dengan kelompok yang berbeda dalam kondisi yang tidak normal?" ujarnya sebagaimana dikututip laman resmi PP Muhammadiyah .
“Bagaimana nilai-nilai yang kaya itu terus kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesenjangan antara normatif dan empirik. Ujian silaturahmi bukan di kala normal, di kala normal insyaAllah bisa. Tapi di saat ada pemicu, bisakah kita tetap menjaga silaturahmi?” tambahnya.
Menurut Haedar, sosial media banyak memicu untuk memutus silaturahmi. Hal ini menjadi ujian bagi setiap kalangan agar tetap sabar dan kebal dari berbagai virus perpecahan. Selain sosial media, pemicu perpecahan juga dapat terjadi karena ego-golongan. Diharapkan para pemimpin dan elit suatu golongan mesti mendinginkan suasana di saat kondisi panas membara.
Lain dari pada itu, kata Haedar, kepentingan juga kadang menjadi sumbu perpecahan yang memutus tali silaturahmi. Induk segala berhala, kutip Rumi, adalah hawa nafsu. Banyak fenomena terjadi di masyarakat, antarkerabat keluarga dapat pecah hanya karena berebut harta warisan. Dalam skala yang lebih luas, berebut kekuasaan politik juga cenderung menghasilkan konflik yang nir-produktif.
Pada masa-masa di mana silaturahmi sedang diuji, diperlukan keadaban yang melintas batas dan peradaban yang membangun semesta berkemajuan. “Kita selain ingin membangun keadaban, umat Islam dan agama yang lain memiliki tugas membangun peradaban,” ucap Haedar.
Menurut Haedar, ajaran utama dan pertama Al-Qur’an ialah “Iqra” yang menjadi penanda risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul akhir zaman. Artinya keberislaman yang semarak dan identitas verbal mesti disertai dengan gerakan pemikiran dan ikhtiar mengubah nasib umat Islam agar menjadi “khayra ummah”, yakni umat terbaik dan unggul dibandingkan dengan golongan lain yang lebih maju
Umat Islam Indonesia saat ini masih tertinggal terutama dalam ekonomi dan penguasaan IPTEK. Golongan mayoritas ini secara faktual belum menjadi kekuatan strategis yang menentukan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global. Karenanya umat Islam harus memacu diri secara dinamis dan progresif agar menjadi golongan umat dan golongan bangsa yang unggul di segala bidang kehidupan.
“Dengan cara apa membangun peradaban, tentu dengan penguasaan ilmu dan teknologi, membangun kekuatan ekonomi, mengembangkan dan menghayati nilai-nilai budaya, dan membangun sumber daya manusia. Saat ini, jujur, kita masih jauh tertinggal,” tutur Haedar.
Dalam rangka membangun peradaban maju, Haedar menekankan pentingnya pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Dia menyoroti Human Development Index dan Indeks Daya Saing Indonesia yang masih rendah, dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Haedar kemudian mengajak segenap pihak untuk introspeksi diri.
“Muhammadiyah, NU, saudara lintas iman, kita belum waktunya merayakan kelebihan-kelebihan kita, ada banyak titik lemah, karena ada banyak yang harus kita benahi bersama. Kita masih tertinggal, dan jangan merasa memposisikan diri seperti negara yang telah maju. Tapi kita tetap harus optimis,” ajak Haedar.
Kata Haedar, Syawal merupakan momentum untuk kembali mengingat arti penting kemajuan bangsa. “Membangun kemajuan layaknya berada di lorong sunyi, tidak mudah. Harus terus bersaing. Dunia Islam pernah menjadi pusat peradaban. Jangan tertinggal oleh dunia Arab yang mulai merebut kemajuan. Kita tidak semestinya merendahkan mereka,” tuturnya.
Pernyataan Haedar ini disampaikan dalam acara Halalbilhalal yang berlangsung di Gedung Prof Dr H M Amin Abdullah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada Senin (08/05/2023). Haedar menyampaikan materi tentang Hikmah Syawalan di hadapan pemuka agama-agama dan civitas akademika UIN SUKA Jogja tersebut.
Menurut Haedar, Indonesia merupakan rumah besar yang menaungi seluruh agama-agama dan kepercayaan. “Negeri kita Indonesia tercinta ini, harus menciptakan rumah yang besar, menjadi rumah nyaman untuk semua perbedaan, untuk keragaman, hidup bersatu, damai dan penuh toleransi,” ujarnya.
Secara normatif, kata Haedar, ada banyak tuntunan menjaga silaturahmi. Di antara ciri “Ulil Albab” yang disebutkan dalam Al Quran ialah mereka yang senantiasa menjaga tali silaturahmi. “Dan orang-orang yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah agar dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Ar-Ra’du: 21).
Nabi SAW juga meletakkan silaturahmi satu mata rantai dengan perintah ibadah, salat, dan zakat sebagaimana sabdanya: “Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara.” (HR Bukhari).
Dalam pidato akhir kerisalahan Nabi SAW pada Haji Wada juga banyak nilai-nilai kemanusiaan semesta yang inklusif. Dalam momen sakral tersebut, Nabi SAW mengajak untuk memuliakan kaum perempuan dan semua umat manusia, meniadakan riba, meluruhkan ego golongan, menghilangkan diskriminasi, dan menjadikan umat yang satu dalam keragaman.
Dalam QS Ali Imran ayat 103, Allah berfirman: “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Redaksi ayat ini memuat perintah sekaligus larangan. Artinya, umat Islam harus melakukan sesuatu yang positif dan pada saat yang bersamaan harus mencegah hal yang negatif. Umat Islam mesti menjaga silaturahmi sekaligus menghindari permusuhan.
Berdasarkan tuntunan normatif di atas, kata Haedar, ada banyak sekali perintah untuk menjaga silaturahmi dan larangan menghunus permusuhan. "Akan tetapi, ujian sesungguhnya ialah apakah umat Islam mampu menjaga silaturahmi dengan kelompok yang berbeda dalam kondisi yang tidak normal?" ujarnya sebagaimana dikututip laman resmi PP Muhammadiyah .
“Bagaimana nilai-nilai yang kaya itu terus kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesenjangan antara normatif dan empirik. Ujian silaturahmi bukan di kala normal, di kala normal insyaAllah bisa. Tapi di saat ada pemicu, bisakah kita tetap menjaga silaturahmi?” tambahnya.
Menurut Haedar, sosial media banyak memicu untuk memutus silaturahmi. Hal ini menjadi ujian bagi setiap kalangan agar tetap sabar dan kebal dari berbagai virus perpecahan. Selain sosial media, pemicu perpecahan juga dapat terjadi karena ego-golongan. Diharapkan para pemimpin dan elit suatu golongan mesti mendinginkan suasana di saat kondisi panas membara.
Lain dari pada itu, kata Haedar, kepentingan juga kadang menjadi sumbu perpecahan yang memutus tali silaturahmi. Induk segala berhala, kutip Rumi, adalah hawa nafsu. Banyak fenomena terjadi di masyarakat, antarkerabat keluarga dapat pecah hanya karena berebut harta warisan. Dalam skala yang lebih luas, berebut kekuasaan politik juga cenderung menghasilkan konflik yang nir-produktif.
Pada masa-masa di mana silaturahmi sedang diuji, diperlukan keadaban yang melintas batas dan peradaban yang membangun semesta berkemajuan. “Kita selain ingin membangun keadaban, umat Islam dan agama yang lain memiliki tugas membangun peradaban,” ucap Haedar.
Menurut Haedar, ajaran utama dan pertama Al-Qur’an ialah “Iqra” yang menjadi penanda risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul akhir zaman. Artinya keberislaman yang semarak dan identitas verbal mesti disertai dengan gerakan pemikiran dan ikhtiar mengubah nasib umat Islam agar menjadi “khayra ummah”, yakni umat terbaik dan unggul dibandingkan dengan golongan lain yang lebih maju
Umat Islam Indonesia saat ini masih tertinggal terutama dalam ekonomi dan penguasaan IPTEK. Golongan mayoritas ini secara faktual belum menjadi kekuatan strategis yang menentukan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global. Karenanya umat Islam harus memacu diri secara dinamis dan progresif agar menjadi golongan umat dan golongan bangsa yang unggul di segala bidang kehidupan.
“Dengan cara apa membangun peradaban, tentu dengan penguasaan ilmu dan teknologi, membangun kekuatan ekonomi, mengembangkan dan menghayati nilai-nilai budaya, dan membangun sumber daya manusia. Saat ini, jujur, kita masih jauh tertinggal,” tutur Haedar.
Dalam rangka membangun peradaban maju, Haedar menekankan pentingnya pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Dia menyoroti Human Development Index dan Indeks Daya Saing Indonesia yang masih rendah, dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Haedar kemudian mengajak segenap pihak untuk introspeksi diri.
“Muhammadiyah, NU, saudara lintas iman, kita belum waktunya merayakan kelebihan-kelebihan kita, ada banyak titik lemah, karena ada banyak yang harus kita benahi bersama. Kita masih tertinggal, dan jangan merasa memposisikan diri seperti negara yang telah maju. Tapi kita tetap harus optimis,” ajak Haedar.
Kata Haedar, Syawal merupakan momentum untuk kembali mengingat arti penting kemajuan bangsa. “Membangun kemajuan layaknya berada di lorong sunyi, tidak mudah. Harus terus bersaing. Dunia Islam pernah menjadi pusat peradaban. Jangan tertinggal oleh dunia Arab yang mulai merebut kemajuan. Kita tidak semestinya merendahkan mereka,” tuturnya.
(mhy)