Haedar Nashir Petakan Tantangan Mendasar Pasca-Reformasi

Kamis, 27 Mei 2021 - 14:05 WIB
loading...
Haedar Nashir Petakan Tantangan Mendasar Pasca-Reformasi
Prof Haedar Nasher, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Foto/Ilustrasi Ist
A A A
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, M Si mengatakan halalbihalal-Silaturahmi haruslah menyatukan hati, pikiran, dan tindakan di tengah perbedaan demi kepentingan dan kemaslahatan kehidupan bersama yang lebih luas, sekaligus menyambung hal-hal yang tidak terhubung atau tidak terkoneksi dan yang terputus.



Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Silaturahmi bukanlah yang saling membalas kebaikan. Tetapi seorang yang berusaha menjalin hubungan baik meski lingkungan terdekat (relatives) merusak hubungan persaudaraan dengan dirinya” (HR al-Bukhari).

Menurutnya, ukhuwah Islam dasarnya Iman. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” ( QS Al-Hujarat, 49: 10 ).

Selanjutnya, dalam pidato acara Halalbihalal-Silaturahmi Idulfitri 1442 H Keluarga Besar Muhammadiyah pada hari Ahad tanggal 23 Mei 2021 secara daring/virtual, Haedar mengatakan berukhuwah merupakan ciri dari ulul-albab. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk” ( Q.S. ArRa‘du, 13: 21 ).

Sebaliknya rusaknya silaturahmi dan ukhuwah karena ada benih atau virus “tafarruq” (pecah belah) atau “qath’u rahmi” (putus hubungan). Orang yang melakukan putus hubungan dari hal-hal baik disebut fasiq, sebagaimana firman Allah:

“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” ( Q.S. Al-Baqarah, 2: 27 ).



Orang-orang fasik itu adalah orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan. Yaitu perjanjian dalam diri setiap manusia yang muncul secara fitrah dan didukung dengan akal dan petunjuk agama sebagaimana dijelaskan pada Surah al-A‘raf (7): 172, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan: seperti menyambung persaudaran dan hubungan kekerabatan, berkasih sayang, dan saling mengenal sesama manusia, dan berbuat kerusakan di bumi dengan perilaku tidak terpuji, menyulut konflik, mengobarkan api peperangan, merusak lingkungan, dan lainnya.

Mereka itulah orang-orang yang rugi karena telah menodai kesucian fitrah dan memutus hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksaan di akhirat.

Jika ingin silaturahmi dan ukhuwah baik dalam bermasyarakat, berorganisasi, dan hidup bersama maka jangan biasakan bertindak sendiri-sendiri, berdasarkan pikiran sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambil jalan sendiri-sendiri.

"Jika hal itu terjadi bukan berorganisasi namanya, bahkan dapat menyerupai perangai sebagian ahlul kitab," katanya, lalu mengutip QS Al-Hasyr, 59:14: “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.”

Selanjutnya Haedar mengatakan kehidupuan di sekitar kita saat ini terutama Pasca Reformasi yang beririsan dengan Perkembangan Globalisasi dan Modernisme Abad 21 telah mengalami perubahan landscape yang luar biasa di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, keagamaan, dan tataruang sosial kehidupan lainnya yang berpengaruh pada perubahan orientasi dan pandangan hidup manusia dan masyarakat luas.



Revolusi Saintek
Di bidang revolusi saintek, dia mencontohkan, Google Ventures menginvestasikan 34% dari portofolionya yang bernilai US$2 miliar pada sejumlah start-up yang menekuni “Sains Kehidupan”, termasuk proyek ambisius “pemanjangan usia”.

"Yuval Noah Harari mengatakan bahwa inilah revolusi saintifik abad 21 yang spektakuler. Masalah fundamental umat manusia saat ini ialah menafsirkan kembali soal kebahagiaan. Apakah Homo Sapiens abad ke-21 lebih bahagia ketimbang sapiens abad ke-19, 18, atau 70 ribu tahun lalu?" tuturnya.

Harari berbicara tentang manusia ke depan ialah yang memiliki kemampuan untuk hidup, bahkan bisa melawan kematian, melalui proyek sains abadi manusia dapat menciptakan kehidupan yang lebih sehat, lebih baik, lebih maju, dan dengan Kecerdasan Buatan (AI) mampu merekayasa untuk hidup berusia sampai 150 tahun.

Kematian bagi orang beragama soal metafisik tentang kehendak Tuhan serta berkaitan dengan hidup di akhirat, surga, dan neraka. "Tapi bagi manusia modern abad ke-21 kematian urusan teknis. Inilah yang disebut perang melawan kematian! Premis utamanya: jika kematian merupakan masalah teknis, maka solusinya pun bersifat teknis, bukan metafisik," jelasnya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5971 seconds (0.1#10.140)