Haramnya Menikahi Wanita yang Masih dalam Masa Iddah
loading...
A
A
A
Fiqih pernikahan dan rumah tangga merupakan hal yang wajib dipelajari umat muslim terutama bagi mereka yang akan melangsungkan akad nikah. Salah satu hal yang perlu diketahui adalah tentang masa Iddah.
Dalam perspektif Islam, menikahi wanita yang masih dalam masa 'iddah hukumnya haram. Selain bertolak dari haramnya meminang mereka, juga ketetapan Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 235. "...Dan janganlah kamu ber'azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya."
Ayat ini kemudian diadopsi KHI Pasal 40 ayat (2): "Dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain." Penetapan ini menggunakan metode qiyas aulawi dengan logika hukum "kalau meminang saja tidak boleh, apalagi menikah."
Kepala KUA Kecamatan Kertak H Saubari MPd I dilansir dari Kemenag menjelaskan fenomena pelaggaran Iddah dan konsekuensinya. Salah satu fenomena yang sering terjadi yaitu, banyaknya calon mempelai yang mendaftar nikah ketika masa iddah belum berakhir.
Pelanggaran jenis ini terbilang serius. Konsekuensinya dapat membatalkan keabsahan nikah mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan seorang janda. Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1) "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
Artinya, pernikahan yang dilangsungkan dalam masa iddah, bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 40 huruf (b) yang melarang perkawinan wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
Ali Yusuf As-Subki dalam Fiqih Keluarga menyatakan bahwa salah satu sebab wanita diharamkan sementara menikah adalah karena ia masih berada dalam masa iddah dari laki-laki lain. Pernikahan yang dilangsungkan di masa iddah ini termasuk fasid atau pernikahan yang rusak.
Ketentuan Masa Iddah
Saubari menjelaskan, Iddah secara bahasa berasal dari kata 'addat yang artinya bilangan. Yaitu masa ketika seorang istri yang telah dicerai atau yang suaminya meninggal dunia, menghitung hari-hari dan masa sucinya. Secara istilah, masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang janda untuk tidak melangsungkan pernikahan dengan bilangan waktu yang bereda-beda, sesuai sebab kejandaannya.
Ketentuan masa iddah tidak mengenal toleransi, pengurangan hitungan (rukhsah) atau keadaan darurat karena ia adalah ketetapan Allah, "Perempuan-perempuan yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali suci." (QS Al-Baqarah Ayat 228)
Dan "orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (maka hendaklah para istri-istri itu) beriddah empat bulan sepuluh hari." (QS Al-Baqarah Atar 234). Apabila wanita itu menjanda pada saat hamil, maka waktu iddah mereka sampai melahirkan kandungannya." (QS At Thalaq Ayat 4).
Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyyah dan termasuk yang dilestarikan Islam karena baik dan bermanfaat. Para ulama sepakat iddah itu wajib berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Bila dikelompokkan, setidaknya ada empat macam, yaitu:
1. Iddah wanita yang masih mengalami haid selama tiga kali suci. (Surah Al-Baqarah Ayat 228)
2. Iddah janda yang monopouse, tidak haid lagi atau haidnya tidak normal adalah tiga bulan. (QS At-Thalaq Ayat 4)
3. Iddah janda mati suami selama empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah Ayat 234)
4. Iddah wanita hamil sampai ia melahirkan. (QS At-Thalaq Ayat 4)
Dalam perspektif Islam, menikahi wanita yang masih dalam masa 'iddah hukumnya haram. Selain bertolak dari haramnya meminang mereka, juga ketetapan Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 235. "...Dan janganlah kamu ber'azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya."
Ayat ini kemudian diadopsi KHI Pasal 40 ayat (2): "Dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain." Penetapan ini menggunakan metode qiyas aulawi dengan logika hukum "kalau meminang saja tidak boleh, apalagi menikah."
Kepala KUA Kecamatan Kertak H Saubari MPd I dilansir dari Kemenag menjelaskan fenomena pelaggaran Iddah dan konsekuensinya. Salah satu fenomena yang sering terjadi yaitu, banyaknya calon mempelai yang mendaftar nikah ketika masa iddah belum berakhir.
Pelanggaran jenis ini terbilang serius. Konsekuensinya dapat membatalkan keabsahan nikah mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan seorang janda. Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1) "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
Artinya, pernikahan yang dilangsungkan dalam masa iddah, bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 40 huruf (b) yang melarang perkawinan wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
Ali Yusuf As-Subki dalam Fiqih Keluarga menyatakan bahwa salah satu sebab wanita diharamkan sementara menikah adalah karena ia masih berada dalam masa iddah dari laki-laki lain. Pernikahan yang dilangsungkan di masa iddah ini termasuk fasid atau pernikahan yang rusak.
Ketentuan Masa Iddah
Saubari menjelaskan, Iddah secara bahasa berasal dari kata 'addat yang artinya bilangan. Yaitu masa ketika seorang istri yang telah dicerai atau yang suaminya meninggal dunia, menghitung hari-hari dan masa sucinya. Secara istilah, masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang janda untuk tidak melangsungkan pernikahan dengan bilangan waktu yang bereda-beda, sesuai sebab kejandaannya.
Ketentuan masa iddah tidak mengenal toleransi, pengurangan hitungan (rukhsah) atau keadaan darurat karena ia adalah ketetapan Allah, "Perempuan-perempuan yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali suci." (QS Al-Baqarah Ayat 228)
Dan "orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (maka hendaklah para istri-istri itu) beriddah empat bulan sepuluh hari." (QS Al-Baqarah Atar 234). Apabila wanita itu menjanda pada saat hamil, maka waktu iddah mereka sampai melahirkan kandungannya." (QS At Thalaq Ayat 4).
Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyyah dan termasuk yang dilestarikan Islam karena baik dan bermanfaat. Para ulama sepakat iddah itu wajib berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Bila dikelompokkan, setidaknya ada empat macam, yaitu:
1. Iddah wanita yang masih mengalami haid selama tiga kali suci. (Surah Al-Baqarah Ayat 228)
2. Iddah janda yang monopouse, tidak haid lagi atau haidnya tidak normal adalah tiga bulan. (QS At-Thalaq Ayat 4)
3. Iddah janda mati suami selama empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah Ayat 234)
4. Iddah wanita hamil sampai ia melahirkan. (QS At-Thalaq Ayat 4)
(rhs)