Di Balik Kisah Sengketa Pohon Kurma Samurah bin Jundub
loading...
A
A
A
Samurah bin Jundub ra pernah memiliki pohon kurma yang terletak di dalam pagar kebun seorang Anshar . Samurah dan keluarganya sering masuk ke dalamnya, maka hal itu dipandang mengganggu pemilik kebun.
Akhirnya pemilik kebun mengadu kepada Rasulullah SAW . Menanggapi pengaduan itu, Nabi SAW bersabda kepada Samurah. "Juallah kepadanya pohon kurma itu."
Tetapi Samurah menolak. Nabi bersabda, "Maka cabutlah (tebanglah) untuk kau tanam di tempat lain."
Samurah tetap menolak. Nabi bersabda, "Berikan pohon itu kepadaku dan kamu akan dapat ganti seperti itu di surga." Samurah tetap saja menolak.
Tampaknya ia paham bahwa Rasulullah SAW berbicara seperti itu hanyalah termasuk pengarahan atau damai, bukan suatu keharusan. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
"Engkau telah membuat bahaya," dan Nabi SAW bersabda pula kepada orang Anshar, "Pergilah dan cabutlah pohon kurma itu." (HR Abu Dawud)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan Rasulullah SAW tidak peduli terhadap bahaya kecil (ringan), yang menimpa Samurah dibanding dengan bahaya besar yang menimpa pemilik kebun itu yaitu tetap adanya pohon-pohon kurma yang jumlahnya sedikit itu di tengah-tengah kebun miliknya.
"Hal itu terjadi karena Samurah dengan leluasa bisa menjual pohon kurmanya kepada pemilik kebun dan memperoleh ganti rugi secara adil," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Selain itu, dia juga bisa mencabutnya untuk di tanam ketempat lainnya sehingga tidak mengganggu seseorang. Tetapi ia tetap bersikeras dan menolak untuk berdamai dengan pemiliknya dengan cara baik-baik. Sehingga Rasulullah SAW tidak berkeberatan untuk memutuskan dengan mencabut pohon kurmanya, rela atau tidak rela.
Al-Qardhawi menjelaskan merupakan hak seorang hakim (pemerintah) Muslim, bahkan merupakan kewajibannya untuk mencegah si pemilik dari segala tindakan egoistis yang menyebabkan terjadinya bahaya khusus atau secara umum. Meskipun hal itu mengharuskan dirampasnya hak milik secara paksa sebagai imbalan dari ulahnya, yaitu apabila seorang hakim sudah tidak mendapatkan cara lain untuk mengatasinya selain dengan tindakan tersebut.
"Prinsip inilah yang oleh sebagian ahli hukum dikatakan sebagai hasil dari peradaban modern, padahal Nabi SAW telah menerapkannya sejak empat belas abad yang lalu, demikian juga Khulafa'ur Rasyidin," ujar al-Qardhawi.
Kasus lainnya juga pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab ra. Dhahhak bin Khalifah memiliki tanah yang tidak mendapat pengairan kecuali apabila melewati tanah Muhammad bin Maslamah.
Dhahhak ingin membuat saluran yang bisa menyampaikan air ke tanahnya, tetapi Muhammad bin Maslamah menolak. Maka Dhahhak melaporkan hal tersebut kepada Umar, lalu Umar memanggil Muhammad bin Maslamah untuk mendamaikan, tetapi ia tetap tidak memberi kesempatan kepada Dhahhak, sehingga Umar berkata kepadanya, "Mengapa engkau melarang saudaramu dari sesuatu yang bermanfaat baginya, sedangkan dia juga dapat mengambil manfaat darimu, engkau menyirami pada awal dan akhir dan itu tidak membahayakan bagimu."
Muhammad bin Maslamah menjawab, "Tidak, demi Allah."
Umar berkata kepadanya, "Demi Allah, dia (Dhahhak) harus melewati, meskipun harus melangkahi perutmu." (HR Malik dan Baihaqi)
Al-Qardhawi mengatakan berdasarkan ini maka seorang pemilik tidak boleh bersikap keras dengan tetangganya dan teman sekerjanya atau dengan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan hak miliknya dengan alasan bahwa ia bebas untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang menjadi miliknya sendiri. Karena kebebasan di sini dibatasi oleh prinsip sebagaimana sabda Nabi: "Laa Dharara Walaa Dhiraara" maksudnya, "Tidak ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan". (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Di antara yang termasuk membahayakan adalah jika kamu melarang orang lain untuk melakukan sesuatu yang ia perlukan sehingga ia tidak mendapatkannya karena laranganmu.
Rasulullah SAW melarang berbuat demikian: "Janganlah seorang tetangga melarang tetanggannya yang lain untuk memasang kayu di temboknya." (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Akhirnya pemilik kebun mengadu kepada Rasulullah SAW . Menanggapi pengaduan itu, Nabi SAW bersabda kepada Samurah. "Juallah kepadanya pohon kurma itu."
Tetapi Samurah menolak. Nabi bersabda, "Maka cabutlah (tebanglah) untuk kau tanam di tempat lain."
Samurah tetap menolak. Nabi bersabda, "Berikan pohon itu kepadaku dan kamu akan dapat ganti seperti itu di surga." Samurah tetap saja menolak.
Tampaknya ia paham bahwa Rasulullah SAW berbicara seperti itu hanyalah termasuk pengarahan atau damai, bukan suatu keharusan. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
"Engkau telah membuat bahaya," dan Nabi SAW bersabda pula kepada orang Anshar, "Pergilah dan cabutlah pohon kurma itu." (HR Abu Dawud)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan Rasulullah SAW tidak peduli terhadap bahaya kecil (ringan), yang menimpa Samurah dibanding dengan bahaya besar yang menimpa pemilik kebun itu yaitu tetap adanya pohon-pohon kurma yang jumlahnya sedikit itu di tengah-tengah kebun miliknya.
"Hal itu terjadi karena Samurah dengan leluasa bisa menjual pohon kurmanya kepada pemilik kebun dan memperoleh ganti rugi secara adil," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Selain itu, dia juga bisa mencabutnya untuk di tanam ketempat lainnya sehingga tidak mengganggu seseorang. Tetapi ia tetap bersikeras dan menolak untuk berdamai dengan pemiliknya dengan cara baik-baik. Sehingga Rasulullah SAW tidak berkeberatan untuk memutuskan dengan mencabut pohon kurmanya, rela atau tidak rela.
Al-Qardhawi menjelaskan merupakan hak seorang hakim (pemerintah) Muslim, bahkan merupakan kewajibannya untuk mencegah si pemilik dari segala tindakan egoistis yang menyebabkan terjadinya bahaya khusus atau secara umum. Meskipun hal itu mengharuskan dirampasnya hak milik secara paksa sebagai imbalan dari ulahnya, yaitu apabila seorang hakim sudah tidak mendapatkan cara lain untuk mengatasinya selain dengan tindakan tersebut.
"Prinsip inilah yang oleh sebagian ahli hukum dikatakan sebagai hasil dari peradaban modern, padahal Nabi SAW telah menerapkannya sejak empat belas abad yang lalu, demikian juga Khulafa'ur Rasyidin," ujar al-Qardhawi.
Kasus lainnya juga pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab ra. Dhahhak bin Khalifah memiliki tanah yang tidak mendapat pengairan kecuali apabila melewati tanah Muhammad bin Maslamah.
Dhahhak ingin membuat saluran yang bisa menyampaikan air ke tanahnya, tetapi Muhammad bin Maslamah menolak. Maka Dhahhak melaporkan hal tersebut kepada Umar, lalu Umar memanggil Muhammad bin Maslamah untuk mendamaikan, tetapi ia tetap tidak memberi kesempatan kepada Dhahhak, sehingga Umar berkata kepadanya, "Mengapa engkau melarang saudaramu dari sesuatu yang bermanfaat baginya, sedangkan dia juga dapat mengambil manfaat darimu, engkau menyirami pada awal dan akhir dan itu tidak membahayakan bagimu."
Muhammad bin Maslamah menjawab, "Tidak, demi Allah."
Umar berkata kepadanya, "Demi Allah, dia (Dhahhak) harus melewati, meskipun harus melangkahi perutmu." (HR Malik dan Baihaqi)
Al-Qardhawi mengatakan berdasarkan ini maka seorang pemilik tidak boleh bersikap keras dengan tetangganya dan teman sekerjanya atau dengan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan hak miliknya dengan alasan bahwa ia bebas untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang menjadi miliknya sendiri. Karena kebebasan di sini dibatasi oleh prinsip sebagaimana sabda Nabi: "Laa Dharara Walaa Dhiraara" maksudnya, "Tidak ada bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan". (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Di antara yang termasuk membahayakan adalah jika kamu melarang orang lain untuk melakukan sesuatu yang ia perlukan sehingga ia tidak mendapatkannya karena laranganmu.
Rasulullah SAW melarang berbuat demikian: "Janganlah seorang tetangga melarang tetanggannya yang lain untuk memasang kayu di temboknya." (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)