Misteri Panji Gumilang: Kesaksian Bekas Anggota NII Imam Shalahuddin

Senin, 10 Juli 2023 - 14:11 WIB
loading...
A A A
Dan ternyata apa yang selalu diucap-ucapkannya itu memang terwujud sebuah bangunan apa yang kemudian dinamakannya Ponpes Al Zaitun di Indramayu. Bangunan yang monumental itu dipersiapkan untuk regenerasi. Di mana para generasi muda dididik dan diarahkan menjadi "pemimpin bangsa".

Demikian keyakinan yang terus menerus ditanamkan kepada anggota oleh para pimpinan, semua saya laksanakan dengan penuh kesabaran.

Sebenarnya, sebelum Abu Toto memegang kepemimpinan saya masih menjumpai orang-orang yang baik dan berakhlak. Tetapi setelah Imamah dipegang Abu Toto atau Syaikh AS Panji Gumilang nama sekarang, kebijakan KW 9 mengalami perubahan drastis.

Di saat kepemimpinan ditangannya, bukan hanya semakin berat tetapi semakin berubah dasar maupun landasannya. Diantaranya adalah perubahan dasar infak dan pada konsep kurban.

Islam jelas dan tegas memberlakukan kewajiban infak tidak ditarget dan disesuaikan dengan kurs dollar. Begitupun dengan berkorban, hanya kepada yang mampu.

Sementara Abu Toto (saat itu nama yang digunakan adalah Abu Ma'ariq) menetapkan berkorban adalah wajib bagi setiap individu, dengan tanpa memandang lagi apakah para anggota mampu secara ekonomi atau tidak.

Selain itu, ada pula ketentuan, kambing yang dikorbankan setiap anggota tidak disembelih, tetapi digantikan dengan uang sebesar 150 ribu rupiah, per ekor. Dan karena sifatnya individual, seorang anggota yang memiliki keluarga sebanyak 7 jiwa berarti harus berkorban sebanyak harga 7 ekor kambing.

Akibatnya, bisa dibayangkan, bagaimana para anggota tersebut harus menyediakan dana yang sangat besar. Tapi yang aneh, uang yang dibayarkan tersebut tidak dibelikan kambing kurban, melainkan dibelikan kendaraan.



Sekarang dana hasil harakat kurban itu diarahkan untuk pembangunan Ma'had Al Zaytun. Mereka mengiyaskan makna kurban: "bahwa bukan darah kambing yang disembelih yang diinginkan Allah, tapi kebaktiannya, yang mendesak dan sangat dibutuhkan bukan daging kurban, tapi sarana kendaraan."

Saat itu sebenarnya saya ingin berontak, dan banyak anggota yang lain maupun di kalangan pimpinan timbul banyak protes. Di antaranya salah seorang ulama dari Banten mengikrarkan diri keluar dari NII, namun begitu ulama tersebut keluar disertai jamaahnya, tiba tiba mereka ditangkap KODIM, dengan tuduhan sebagai anggota NII.

Pergolakan batin saya ternyata masih kalah oleh rasio sendiri, saat itu dalam anggapan saya bahwa ini bentuk perjuangannya sebagai umat Islam. Saya punya tekad akan mengubah KW 9 ini dari dalam, namun akhirnya tokh saya tidak mampu. Bahkan ketika saya sering melakukan protes terhadap ketentuan ketentuan yang saya anggap keliru tersebut, yang saya dapatkan adalah pukulan dan tendangan, bahkan ada jamaah lainnya tidak bisa memenuhi kewajiban infak, maka dikenakan hukuman dikurung dalam kamar semalaman.

Bangkrut

Melihat situasi yang semakin parah dari jauhnya nilai-nilai keislaman akhirnya saya menyatakan keluar. Apalagi setelah melihat ekonomi keluarga yang sudah bangkrut, karena rumah, kios dan modal kerja serta motor sudah terjual dan ludes untuk pengorbanan demi kepentingan NII (karena saat itu, "segala apapun yang kami cintai, harus diberikan untuk kepentingan negara dan pimpinan NII1").

Namun proses untuk keluar itupun agak sulit. Sebelumnya saya mengajukan pengunduran diri sebagai camat atau pimpinan, dan ingin menjadi warga jama'ah biasa saja. Ketika itu bertepatan dengan adanya rasa bersalah saya karena tidak bisa menjalankan tugas soal mengatur pernikahan para anggota, walaupun sebenarnya itu memang saya sengaja. Sebab, dalam jamaah menikah itu dipersulit, melalui ketetapan mahar, taftis (proses seleksi dari pimpinan terhadap kedua calon) dan lain-lainnya, sehingga banyak yang saya izinkan untuk menikah sebagaimana biasa saja, bukan di depan pimpinan.

Konsekuensi atas penolakan terhadap permohonan mundur saya dari jabatan tersebut, saya diwajibkan membuat pernyataan bersalah, untuk kemudian diajukan kepada pimpinan, intinya, siap untuk dihukum. Yang pasti, saya diwajibkan membayar sedekah istighfar.

Khawatir bahwa saya akan ngoceh setelah menjadi jamaah biasa, ternyata datang teror melalui ancaman, bahwa kesalahan saya sepadan dengan hukuman bunuh, dan tidak sebatas dipecat dari jabatan.

Setelah saya main kucing kucingan dengan mereka saya bisa keluar dengan tenang tahun 1996. Setelah keluarpun saya mengalami kesulitan, yaitu susahnya bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar. Dan Alhamdulillah setahun kemudian berkat do'a dan usaha akhirnya Allah pun memberikan kemudahan kepada saya. Yang amat saya sayangkan, masih aktifnya kedua adik saya sebagai mas'ul di jajaran KW LX.

Saya berharap semoga Allah membukakan mata hatinya untuk melihat realitas yang sesungguhnya dan dampak negatif dari aktifitas yang sedang mereka jalani.

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1844 seconds (0.1#10.140)