Hukum Rida Terhadap Qadar Menurut Syaikh Al-Utsaimin

Minggu, 13 Agustus 2023 - 18:38 WIB
loading...
Hukum Rida Terhadap Qadar Menurut Syaikh Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Usaimin. (Foto/Ilustrasi: Ist)
A A A
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin mengatakan rida pada qadar hukumnya wajib, karena hal itu termasuk kesempurnaan rida akan rububiyah Allah. "Maka setiap mukmin harus rida pada qadha' Allah, " ujarnya.

Akan tetapi muqadha atau sesuatu yang diqadha', menurutnya, masih perlu dirinci, karena sesuatu yang diqadha berbeda dengan qadha itu sendiri. "Qadha adalah perbuatan Allah, sedangkan sesuatu yang diqadha' adalah sesuatu yang dikenai qadha'. Maka qadha' yang merupakan perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh membencinya selamanya," ujar Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin dalam kitab "Al-Qadha' wal Qadar" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar"



Al-'Utsaimin menjelaskan adapun sesuatu yang diqadha' terbagi menjadi tiga macam: 1. Wajib direlakan. 2. Haram direlakan. 3. Disunnahkan untuk direlakan.

Dia mencontohkan perbuatan maksiat adalah sesuatu yang diqadha oleh Allah dan rida pada kemasyiatan hukumnya haram, sekalipun dia terjadi atas qadha Allah. Maka barangsiapa melihat pada kemaksiatan, maka dia harus rela dari sisi qadha' yang telah lakukan Allah dan harus mengatakan bahwa Allah Maha Bijaksana dan kalau kebijakan-Nya tidak menentukan ini, maka dia tidak akan pernah terjadi.

"Adapun dari sisi sesuatu yang diqadha', maka perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib menghilangkan kemaksiatan tersebut dari dirimu sendiri dan orang lain," tambahnya.

Menurut Al-'Utsaimin, sebagian dari sesuatu yang diqadha' harus direlakan, seperti kewajiban syar'iyah, karena Allah telah menentukannya secara riil dalam syar'iyah. Maka kita harus merelakannya, baik dari sisi qadha'nya maupun sesuatu yang diqadha'.

Bagian ketiga disunnahkan untuk merelakannya dan diwajbkan bersabar karenanya, yaitu berbagai musibah yang terjadi, maka semua musibah yang terjadi, menurut para ulama, disunahkan untuk merelakan dan tidak diwajibkan. "Akan tetapi wajib bersabar karenanya," jelasnya.



Perbedaan antara sabar dan rela adalah bahwa dalam sabar seseorang tidak menginginkan apa yang terjadi, akan tetapi dia tidak mencoba sesuatu yang menyalahi syara' dan menghilangkan kesabaran, sedangkan rela adalah seseorang tidak membenci apa yang terjadi, sehingga terjadinya atau tidak terjadinya baginya sama saja.

Inilah perbedaan antara rela dengan sabar. Oleh karena itu, para ulama Jumhur mengatakan: "Sesungguhnya sabar itu wajib, sedangkan rela itu disunnahkan".
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1237 seconds (0.1#10.140)