Hukum Menjadikan Lukisan sebagai Kemewahan Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan menjadikan lukisan atau gambar sebagai sarana kemewahan, adalah terlarang dalam Islam. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya.
Aisyah ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dalam peperangan, maka Aisyah pernah memasang kain untuk tutup (gorden) di pintunya. Ketika Nabi SAW datang, beliau melihat penutup itu, maka Rasulullah SAW menarik dan merobeknya, kemudian bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk memberi pakaian batu atau tanah liat."
Aisyah berkata, "Maka kami memotongnya dari kain itu untuk dua bantal dan kami isi bantal itu dengan kulit pohon yang tipis kering, maka beliau tidak mencela itu kepadaku ." (Muttafaqun 'alaih)
Dalam buku "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997) Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan keterangan seperti dalam hadis ini: "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunah, tetapi lebih menunjukkan makruh tanzih.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi (di dalam syarah Muslim), bahwa rumah Rasulullah SAW haruslah menjadi uswah dan teladan bagi manusia untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan kemewahannya.
Ini dikuatkan oleh hadis Aisyah lainnya, beliau mengatakan, "Kami pernah mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang mau ke rumah kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku: "Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke rumah ini) aku melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (HR Muslim)
Di dalam hadis lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah ra, sesungguhnya 'Aisyah pernah mempunyai baju yang ada gambarnya yang dipasang di pintu, dan Nabi kalau salat menghadap gambar itu. Maka Nabi bersabda, "Singkirkan dariku, 'Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku buat untuk bantal."
Menurut Al-Qardhawi, ini semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk makruh, bukan haram, tetapi Imam Nawawi mengatakan: "Ini dipahami sebelum diharamkannya mengambil gambar, oleh karena itu Nabi SAW masuk melihatnya, tetapi tidak mengingkarinya dengan keras." (Syarah Muslim)
Artinya Imam Nawawi berpendapat bahwa hadis-hadis yang zahirnya haram itu menasakh (menghapus) terhadap hadis ini tetapi nasakh ini tidak bisa ditetapkan sekadar perkiraan. Karena penetapan nasakh seperti ini harus didukung oleh dua syarat; pertama, benar-benar terjadi pertentangan antara dua nash, yang tidak mungkin dikompromikan di antara keduanya, padahal masih mungkin dikompromikan, yaitu dengan maksud bahwa hadis-hadis yang mengharamkan itu artinya mengungguli ciptaan Allah SWT atau khusus untuk gambar yang berbentuk (yang memiliki bayangan).
Yang kedua, artinya harus mengetahui mana yang terakhir dari nash itu, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang terakhir. Bahkan menurut pendapat Imam Thahawi di dalam kitab "Musykilul Atsar" sebaliknya, di mana mula-mula Islam sangat hersikap keras dalam masalah gambar, karena masih berdekatan dengan masa jahiliah, kemudian diberikan keringanan untuk gambar-gambar yang tidak berbentuk, artinya yang menempel di kain dan lainnya.
Di dalam hadis lainnya Aisyah RA meriwayatkan bahwa ia membeli bantal kecil yang bergambar, maka ketika Rasulullah SAW melihatnya lalu berdiri di hadapan pintu, tidak mau masuk. Kata 'Aisyah, "Aku melihat dari wajahnya ketidaksukaan." Maka aku berkata, "Wahai Rasululiah SAW, aku bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya, dosa apakah yang aku lakukan?" Maka Nabi bersabda, "Untuk apa bantal kecil ini?" Saya menjawab, "Saya membelinya untukmu agar engkau bisa duduk di atasnya dan bisa engkau tiduri," maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan."
Rasulullah SAW juga bersabda: "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar, tidak dimasuki malaikat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Aisyah ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dalam peperangan, maka Aisyah pernah memasang kain untuk tutup (gorden) di pintunya. Ketika Nabi SAW datang, beliau melihat penutup itu, maka Rasulullah SAW menarik dan merobeknya, kemudian bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk memberi pakaian batu atau tanah liat."
Aisyah berkata, "Maka kami memotongnya dari kain itu untuk dua bantal dan kami isi bantal itu dengan kulit pohon yang tipis kering, maka beliau tidak mencela itu kepadaku ." (Muttafaqun 'alaih)
Dalam buku "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997) Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan keterangan seperti dalam hadis ini: "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunah, tetapi lebih menunjukkan makruh tanzih.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi (di dalam syarah Muslim), bahwa rumah Rasulullah SAW haruslah menjadi uswah dan teladan bagi manusia untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan kemewahannya.
Ini dikuatkan oleh hadis Aisyah lainnya, beliau mengatakan, "Kami pernah mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang mau ke rumah kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku: "Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke rumah ini) aku melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (HR Muslim)
Di dalam hadis lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah ra, sesungguhnya 'Aisyah pernah mempunyai baju yang ada gambarnya yang dipasang di pintu, dan Nabi kalau salat menghadap gambar itu. Maka Nabi bersabda, "Singkirkan dariku, 'Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku buat untuk bantal."
Baca Juga
Menurut Al-Qardhawi, ini semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk makruh, bukan haram, tetapi Imam Nawawi mengatakan: "Ini dipahami sebelum diharamkannya mengambil gambar, oleh karena itu Nabi SAW masuk melihatnya, tetapi tidak mengingkarinya dengan keras." (Syarah Muslim)
Artinya Imam Nawawi berpendapat bahwa hadis-hadis yang zahirnya haram itu menasakh (menghapus) terhadap hadis ini tetapi nasakh ini tidak bisa ditetapkan sekadar perkiraan. Karena penetapan nasakh seperti ini harus didukung oleh dua syarat; pertama, benar-benar terjadi pertentangan antara dua nash, yang tidak mungkin dikompromikan di antara keduanya, padahal masih mungkin dikompromikan, yaitu dengan maksud bahwa hadis-hadis yang mengharamkan itu artinya mengungguli ciptaan Allah SWT atau khusus untuk gambar yang berbentuk (yang memiliki bayangan).
Yang kedua, artinya harus mengetahui mana yang terakhir dari nash itu, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang terakhir. Bahkan menurut pendapat Imam Thahawi di dalam kitab "Musykilul Atsar" sebaliknya, di mana mula-mula Islam sangat hersikap keras dalam masalah gambar, karena masih berdekatan dengan masa jahiliah, kemudian diberikan keringanan untuk gambar-gambar yang tidak berbentuk, artinya yang menempel di kain dan lainnya.
Di dalam hadis lainnya Aisyah RA meriwayatkan bahwa ia membeli bantal kecil yang bergambar, maka ketika Rasulullah SAW melihatnya lalu berdiri di hadapan pintu, tidak mau masuk. Kata 'Aisyah, "Aku melihat dari wajahnya ketidaksukaan." Maka aku berkata, "Wahai Rasululiah SAW, aku bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya, dosa apakah yang aku lakukan?" Maka Nabi bersabda, "Untuk apa bantal kecil ini?" Saya menjawab, "Saya membelinya untukmu agar engkau bisa duduk di atasnya dan bisa engkau tiduri," maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan."
Rasulullah SAW juga bersabda: "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar, tidak dimasuki malaikat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
(mhy)