Begini Persamaan Kedudukan Perempuan dan Lelaki dalam Al-Quran
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan sebelum Islam datang, kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.
"Maka merupakan 'izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Perempuan dan laki-laki, misalnya, memiliki kedudukan yang sama dalam kebebasan kewajiban beragama dan beribadah.
Al Qur'an mengatakan sebagai berikut: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu ', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanrya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." ( QS Al Ahzab : 35)
Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama dan sosial yang pokok, Al Qur'an juga menyamakan antara keduanya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( QS At Taubah : 71)
Di dalam kisah Adam, kewajiban Ilahi itu ditujukan kepadanya dan isterinya secara sama. Allah SWT berfirman:
"Hai Adam, diamilah olehmu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." ( QS Al Baqarah : 35)
Tetapi yang terasa aktual di dalam kisah ini sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an, bahwa kesesatan itu ditujukan kepada setan, bukan kepada Hawa. "Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula...." (QS Al Baqarah: 36)
Bukan semata-mata Hawa yang memakan buah pohon itu, bukan dia yang memulai, tetapi kesalahan itu dari Adam dan Hawa secara sama-sama, sebagaimana penyesalan dan taubat itu dilakukan oleh keduanya:
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, maka pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." ( QS Al A'raf :23)
Bahkan di dalam ayat lain, kesalahan itu disandarkan kepada Adam saja: "Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat." (QS Thaha: 115)
"Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dengan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa." ( QS Thaha : 120)
"Dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia." (QS Thaha: 121)
"Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS Thaha: 122)
Ini semua membuktikan bahwa Adamlah yang berbuat maksiat, sedangkan isterinya sekadar mengikut.
Bagaimanapun keadaannya, maka kesalahan Hawa hanya dia yang menanggung, sedangkan anak turunnya terlepas dari perbuatan itu dan dari dosanya. Karena dosa seseorang tidak bisa ditimpakan kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
"Maka merupakan 'izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Baca Juga
Perempuan dan laki-laki, misalnya, memiliki kedudukan yang sama dalam kebebasan kewajiban beragama dan beribadah.
Al Qur'an mengatakan sebagai berikut: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu ', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanrya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." ( QS Al Ahzab : 35)
Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama dan sosial yang pokok, Al Qur'an juga menyamakan antara keduanya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( QS At Taubah : 71)
Di dalam kisah Adam, kewajiban Ilahi itu ditujukan kepadanya dan isterinya secara sama. Allah SWT berfirman:
"Hai Adam, diamilah olehmu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." ( QS Al Baqarah : 35)
Tetapi yang terasa aktual di dalam kisah ini sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an, bahwa kesesatan itu ditujukan kepada setan, bukan kepada Hawa. "Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula...." (QS Al Baqarah: 36)
Bukan semata-mata Hawa yang memakan buah pohon itu, bukan dia yang memulai, tetapi kesalahan itu dari Adam dan Hawa secara sama-sama, sebagaimana penyesalan dan taubat itu dilakukan oleh keduanya:
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, maka pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." ( QS Al A'raf :23)
Bahkan di dalam ayat lain, kesalahan itu disandarkan kepada Adam saja: "Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat." (QS Thaha: 115)
"Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dengan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa." ( QS Thaha : 120)
"Dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia." (QS Thaha: 121)
"Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (QS Thaha: 122)
Ini semua membuktikan bahwa Adamlah yang berbuat maksiat, sedangkan isterinya sekadar mengikut.
Bagaimanapun keadaannya, maka kesalahan Hawa hanya dia yang menanggung, sedangkan anak turunnya terlepas dari perbuatan itu dan dari dosanya. Karena dosa seseorang tidak bisa ditimpakan kepada orang lain. Allah SWT berfirman: