Ini Mengapa Perempuan Dibedakan di Bidang Hukum dan Politik
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan Islam menghargaiperempuan sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah (bapak) yaitu Adam , dan satu ibu yaitu Hawa .
Di sini ada beberapa tuduhan kepada Islam yang disampaikan oleh sebagian orang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Apabila Islam itu telah memperhitungkan kemanusiaan kaum wanita itu sama dengan kemanusiaan kaum pria, lantas mengapa Islam masih melebihkan kaum laki-laki atas wanita di dalam beberapa masalah, seperti dalam persaksian, hukum waris , kepemimpinan rumah tangga dan sebagian hukum-hukum cabang yang lainnya?
Menurut al-Qardhawi, sebenarnya perbedaan kaum laki-laki dengan kaum wanita di dalam hukum tersebut bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan-Nya daripada jenis wanita. Karena sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa, baik laki-laki atau perempuan.
"Akan tetapi perbedaan itu disebabkan karena pembagian secara fungsional sesuai dengan fitrah yang sehat bagi masing-masing dari laki-laki dan wanita," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Tugas-Tugas Hukum
Lalu mengapa perempuan dibedakan di bidang hukum dan politik? Menurut al-Qardhawi, masalah jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum wanita untuk menempati jabatan hukum sepanjang diperbolehkan memberikan kesaksian di situ, maksudnya selain masalah-masalah kriminalitas.
Sedangkan Imam Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan perempuan menempati jabatan dalam masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan lainnya.
Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihat dari sisi kemaslahatan bagi wanita itu sendiri dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam. "Karena boleh jadi hal itu dapat berakibat dipilihnya sebagian wanita tertentu pada usia tertentu, untuk memutuskan masalah-masalah tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu," jelasnya.
Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, kata al-Qardhawi, karena potensi wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung resiko besar. Kita katakan tertentu, karena terkadang ada seorang wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah diceritakan olah Al Qur'an kepada kita.
Akan tetapi hukum tidak bisa berdasarkan asas yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan hukum."
"Adapun wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majlis perwakilan rakyat atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang diperlukan," demikian al-Qardhawi.
Di sini ada beberapa tuduhan kepada Islam yang disampaikan oleh sebagian orang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Apabila Islam itu telah memperhitungkan kemanusiaan kaum wanita itu sama dengan kemanusiaan kaum pria, lantas mengapa Islam masih melebihkan kaum laki-laki atas wanita di dalam beberapa masalah, seperti dalam persaksian, hukum waris , kepemimpinan rumah tangga dan sebagian hukum-hukum cabang yang lainnya?
Menurut al-Qardhawi, sebenarnya perbedaan kaum laki-laki dengan kaum wanita di dalam hukum tersebut bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan-Nya daripada jenis wanita. Karena sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa, baik laki-laki atau perempuan.
"Akan tetapi perbedaan itu disebabkan karena pembagian secara fungsional sesuai dengan fitrah yang sehat bagi masing-masing dari laki-laki dan wanita," ujar Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Tugas-Tugas Hukum
Lalu mengapa perempuan dibedakan di bidang hukum dan politik? Menurut al-Qardhawi, masalah jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum wanita untuk menempati jabatan hukum sepanjang diperbolehkan memberikan kesaksian di situ, maksudnya selain masalah-masalah kriminalitas.
Sedangkan Imam Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan perempuan menempati jabatan dalam masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan lainnya.
Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihat dari sisi kemaslahatan bagi wanita itu sendiri dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam. "Karena boleh jadi hal itu dapat berakibat dipilihnya sebagian wanita tertentu pada usia tertentu, untuk memutuskan masalah-masalah tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu," jelasnya.
Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, kata al-Qardhawi, karena potensi wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung resiko besar. Kita katakan tertentu, karena terkadang ada seorang wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah diceritakan olah Al Qur'an kepada kita.
Akan tetapi hukum tidak bisa berdasarkan asas yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan hukum."
"Adapun wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majlis perwakilan rakyat atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang diperlukan," demikian al-Qardhawi.
(mhy)