Anti-Arab di Turki Bisa Disebut sebagai Islamofobia
loading...
A
A
A
Gelombang pengungsi dalam jumlah besar yang mengakibatkan perubahan demografi telah memicu sentimen anti-pengungsi di Türkiye . Tidak hanya di Türkiye. Permasalahan yang timbul akibat kebijakan integrasi yang tidak memadai serta berlanjutnya migrasi juga terjadi di Eropa . Fenomena tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatnya Islamofobia .
Prof Yasin Aktay, sosiolog yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Turki (TÜBA), memperingatkan bahwa Islamofobia juga terjadi terhadap orang-orang Arab di beberapa bagian masyarakat Turki.
“Apapun yang orang katakan, orang Arab mewakili Islam," katanya. "Sayangnya, pada abad yang lalu, orang Arab telah diidentikkan dengan Islam. Oleh karena itu, kita menyaksikan semacam rasisme yang dapat dengan mudah berubah menjadi Islamofobia,” lanjut Aktay.
Ia juga menunjukkan bahwa fenomena ini tidak seluas yang diberitakan media. Ia bilang masyarakat Turki tidak rasis. “Orang Turki sendiri bukanlah masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang berubah dan bercampur sepanjang sejarah dengan ras lain,” tambahanya
Hakan Gülerce, dari Departemen Sosiologi Universitas Harran, mengatakan fase paling kritis dalam proses migrasi adalah konfrontasi antara masyarakat lokal dan migran. Proses interaksi ini mempertemukan wilayah-wilayah harmoni dan konfrontasi yang perlu dikelola dengan baik.
“Yang kami sebut keharmonisan sosial sebenarnya adalah proses berbasis hak yang berpusat pada martabat manusia bagi kedua komunitas. Bagi kedua komunitas, hal ini mewakili proses non-eksklusi dan partisipasi sosial yang tidak bergantung pada keabadian dan kesementaraan. Namun, proses ini dapat dirusak karena berbagai alasan,” ujarnya.
“Miskonsepsi yang dianggap benar berperan penting dalam proses stigmatisasi, marginalisasi, bahkan dehumanisasi individu imigran. Ini mengganggu perdamaian sosial,” kata Gülerce.
Migrasi adalah isu yang harus dipertimbangkan dalam jangka panjang dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, masa depan yang lebih damai dan bermartabat dapat diwujudkan dengan kebijakan dan strategi yang tepat, serta dengan menjamin keselarasan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi.
Prof Yasin Aktay, sosiolog yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Turki (TÜBA), memperingatkan bahwa Islamofobia juga terjadi terhadap orang-orang Arab di beberapa bagian masyarakat Turki.
“Apapun yang orang katakan, orang Arab mewakili Islam," katanya. "Sayangnya, pada abad yang lalu, orang Arab telah diidentikkan dengan Islam. Oleh karena itu, kita menyaksikan semacam rasisme yang dapat dengan mudah berubah menjadi Islamofobia,” lanjut Aktay.
Ia juga menunjukkan bahwa fenomena ini tidak seluas yang diberitakan media. Ia bilang masyarakat Turki tidak rasis. “Orang Turki sendiri bukanlah masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang berubah dan bercampur sepanjang sejarah dengan ras lain,” tambahanya
Hakan Gülerce, dari Departemen Sosiologi Universitas Harran, mengatakan fase paling kritis dalam proses migrasi adalah konfrontasi antara masyarakat lokal dan migran. Proses interaksi ini mempertemukan wilayah-wilayah harmoni dan konfrontasi yang perlu dikelola dengan baik.
“Yang kami sebut keharmonisan sosial sebenarnya adalah proses berbasis hak yang berpusat pada martabat manusia bagi kedua komunitas. Bagi kedua komunitas, hal ini mewakili proses non-eksklusi dan partisipasi sosial yang tidak bergantung pada keabadian dan kesementaraan. Namun, proses ini dapat dirusak karena berbagai alasan,” ujarnya.
“Miskonsepsi yang dianggap benar berperan penting dalam proses stigmatisasi, marginalisasi, bahkan dehumanisasi individu imigran. Ini mengganggu perdamaian sosial,” kata Gülerce.
Migrasi adalah isu yang harus dipertimbangkan dalam jangka panjang dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, masa depan yang lebih damai dan bermartabat dapat diwujudkan dengan kebijakan dan strategi yang tepat, serta dengan menjamin keselarasan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi.
(mhy)