4 Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama dalam Menentukan Hukum Nikah Misyar
loading...
A
A
A
Demikian pandangan mazhab Maliki, yang kemudian diikuti oleh kelompok ulama yang mengharamkan nikah misyar.
Adapun kelompok yang membolehkan nikah misyar berpedoman pada pendapat jumhur ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, serta Hanbali yang menyatakan bahwa pernikahan yang telah terpenuhi syarat dan rukunnya, meskipun suami, istri, wali maupun kedua saksi bersepakat untuk merahasiakan pernikahan tersebut dari pengetahuan masyarakat, maka pernikahan itu adalah tetap sah hukumnya.
Menurut jumhur ulama, adanya dua orang saksi telah cukup untuk mengatakan bahwa pernikahan tersebut tidak lagi bersifat rahasia. Namun menyembunyikan pernikahan dapat dihukumi makruh agar tidak muncul tuduhan miring kepada kedua pihak yang melaksanakan pernikahan itu.
Keempat, perbedaan dalam menentukan syarat-syarat yang membatalkan pernikahan. Menurut pihak yang mengharamkan nikah misyar, adanya syarat bahwa suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, serta beberapa kewajiban sejenis yang ditetapkan syari’at atas suami termasuk syaratsyarat ilegal (bathil).
Sehingga pada kelompok ulama yang menolak nikah misyar ada yang menganggap nikah misyar karena syaratnya bathil, maka pernikahannya juga tidak sah.
Sedangkan yang lain menyatakan pernikahannya tetap sah, tetapi syaratnya bathil, maka dari itu tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami).
Dalam hal ini, istri berhak menuntut, namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.
Pendapat seperti ini dianut oleh Shaykh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim yang menurut Chomim Tohari adalah bentuk pengingkaran terhadap keabsahan nikah misyar.
Sedangkan ulama yang membolehkan nikah misyar, mengenai masalah ini berpendapat bahwa adanya syarat-syarat seperti suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, bukanlah syarat yang menyebabkan pernikahan tersebut batil (tidak sah).
Adanya syarat-syarat tersebut dapat diterima dengan syarat pula bahwa sang istri merelakan tidak terpenuhinya sebagian hak-haknya dalam pernikahan dengan tanpa paksaan dari pihak manapun. Akan tetapi, seandainya pada suatu saat istri bermaksud menuntut haknya kembali, maka ia berhak menuntutnya, dan pernikahan tetaplah sah tanpa ada sesuatupun yang membatalkannya.
"Poin-poin di atas menjadi sebab perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum nikah misyar," demikian Chomim Tohari.
Adapun kelompok yang membolehkan nikah misyar berpedoman pada pendapat jumhur ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, serta Hanbali yang menyatakan bahwa pernikahan yang telah terpenuhi syarat dan rukunnya, meskipun suami, istri, wali maupun kedua saksi bersepakat untuk merahasiakan pernikahan tersebut dari pengetahuan masyarakat, maka pernikahan itu adalah tetap sah hukumnya.
Menurut jumhur ulama, adanya dua orang saksi telah cukup untuk mengatakan bahwa pernikahan tersebut tidak lagi bersifat rahasia. Namun menyembunyikan pernikahan dapat dihukumi makruh agar tidak muncul tuduhan miring kepada kedua pihak yang melaksanakan pernikahan itu.
Keempat, perbedaan dalam menentukan syarat-syarat yang membatalkan pernikahan. Menurut pihak yang mengharamkan nikah misyar, adanya syarat bahwa suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, serta beberapa kewajiban sejenis yang ditetapkan syari’at atas suami termasuk syaratsyarat ilegal (bathil).
Sehingga pada kelompok ulama yang menolak nikah misyar ada yang menganggap nikah misyar karena syaratnya bathil, maka pernikahannya juga tidak sah.
Sedangkan yang lain menyatakan pernikahannya tetap sah, tetapi syaratnya bathil, maka dari itu tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami).
Dalam hal ini, istri berhak menuntut, namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.
Pendapat seperti ini dianut oleh Shaykh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim yang menurut Chomim Tohari adalah bentuk pengingkaran terhadap keabsahan nikah misyar.
Sedangkan ulama yang membolehkan nikah misyar, mengenai masalah ini berpendapat bahwa adanya syarat-syarat seperti suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, bukanlah syarat yang menyebabkan pernikahan tersebut batil (tidak sah).
Adanya syarat-syarat tersebut dapat diterima dengan syarat pula bahwa sang istri merelakan tidak terpenuhinya sebagian hak-haknya dalam pernikahan dengan tanpa paksaan dari pihak manapun. Akan tetapi, seandainya pada suatu saat istri bermaksud menuntut haknya kembali, maka ia berhak menuntutnya, dan pernikahan tetaplah sah tanpa ada sesuatupun yang membatalkannya.
"Poin-poin di atas menjadi sebab perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum nikah misyar," demikian Chomim Tohari.
(mhy)