Allah Kecam Koruptor: Siapa Saja yang Korupsi, Harta Itu akan Jadi Bara Api di Neraka
loading...
A
A
A
Para ulama klasik maupun kontemporer sepakat bahwa perbuatan korupsi hukumnya haram karena bertentangan dengan prinsip maqasid al-shari’ah. Salah satu alasannya adalah perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan curang dan menipu. Hal tersebut berpotensi merugikan keuangan negara yang notabene adalah uang publik (rakyat).
Allah taala mengecam pelakunya dengan firman-Nya:
Wa maa kaana li Nabiyyin ai yaghull; wa mai yaghlul yaati bimaa ghalla Yawmal Qiyaamah; summa tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa hum laa yuzlamuun
Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang telah dikhianati itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan pembalasan yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” ( QS. Ali Imran: 161 ).
Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi dan Ibn Jarir bahwa sehelai kain wol merah hasil rampasan perang hilang. Sudah dicari ke mana-mana ternyata tidak ditemukan dan tidak pula ada di inventaris negara.
Padahal harta rampasan perang ini seharusnya masuk di inventaris negara. Tak pelak lagi, berita ini menimbulkan desas-desus tidak enak di kalangan sahabat bahkan ada yang lancang berkata, ”mungkin Nabi sendiri yang mengambil kain wol itu untuk dirinya.”
Kemudian turun ayat tersebut yang menegaskan bahwa Nabi tidak mungkin korup dan curang dalam mengemban amanah harta publik(rampasan perang). Malah Nabi sendiri mengancam siapa saja yang mengambil harta milik negara, maka kelak harta tersebut akan menjadi bara api di neraka dan segala amal yang didapat dengan cara korupsi tidak diterima oleh Allah SWT.
Teladan ini dipraktikkan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul ‘Aziz (63-102 H) yang memerintahkan puterinya supaya mengembalikan kalung emas kepada negara padahal kalung tersebut merupakan hibah dari pengawas perbendaharaan negara (bayt al-mal) karena jasa-jasa beliau selama menjabat khalifah.
Allah taala mengecam pelakunya dengan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ اَنۡ يَّغُلَّؕ وَمَنۡ يَّغۡلُلۡ يَاۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفۡسٍ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُوۡنَ
Wa maa kaana li Nabiyyin ai yaghull; wa mai yaghlul yaati bimaa ghalla Yawmal Qiyaamah; summa tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa hum laa yuzlamuun
Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang telah dikhianati itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan pembalasan yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” ( QS. Ali Imran: 161 ).
Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi dan Ibn Jarir bahwa sehelai kain wol merah hasil rampasan perang hilang. Sudah dicari ke mana-mana ternyata tidak ditemukan dan tidak pula ada di inventaris negara.
Padahal harta rampasan perang ini seharusnya masuk di inventaris negara. Tak pelak lagi, berita ini menimbulkan desas-desus tidak enak di kalangan sahabat bahkan ada yang lancang berkata, ”mungkin Nabi sendiri yang mengambil kain wol itu untuk dirinya.”
Kemudian turun ayat tersebut yang menegaskan bahwa Nabi tidak mungkin korup dan curang dalam mengemban amanah harta publik(rampasan perang). Malah Nabi sendiri mengancam siapa saja yang mengambil harta milik negara, maka kelak harta tersebut akan menjadi bara api di neraka dan segala amal yang didapat dengan cara korupsi tidak diterima oleh Allah SWT.
Teladan ini dipraktikkan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul ‘Aziz (63-102 H) yang memerintahkan puterinya supaya mengembalikan kalung emas kepada negara padahal kalung tersebut merupakan hibah dari pengawas perbendaharaan negara (bayt al-mal) karena jasa-jasa beliau selama menjabat khalifah.
(mhy)