Bagaimana Hukum Khitan bagi Wanita? Wajibkah?
loading...
A
A
A
Hukum Islam mengenai khitan bagi anak wanita , diperselisihkan oleh para ulama bahkan oleh para dokter sendiri, dan terjadi perdebatan panjang di sejumlah negara Islam.
Sebagian dokter ada yang menguatkan dan sebagian lagi menentangnya, demikian pula dengan ulama, ada yang menguatkan dan ada yang menentangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami".
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyebutnya sebagai khitan ringan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis - meskipun tidak sampai ke derajat sahih - bahwa Nabi SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita ini, sabdanya: "Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."
Menurut Al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Fatwa-Fatwa Kontemporer ", yang dimaksud dengan isymam ialah taqlil (menyedikitkan), dan yang dimaksud dengan laa tantahiki ialah laa tasta'shili (jangan kau potong sampai pangkalnya). "Cara pemotongan seperti yang dianjurkan itu akan menyenangkan suaminya dan mencerahkan (menceriakan) wajahnya, maka inilah barangkali yang lebih cocok," jelasnya.
Al-Qardhawi mengatakan mengenai masalah ini, keadaan di masing-masing negara Islam tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan wanita dan ada pula yang tidak. "Namun bagaimanapun, bagi orang yang memandang bahwa mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia melakukannya, dan saya menyepakati pandangan ini, khususnya pada zaman kita sekarang ini," ujarnya.
"Akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah ia berdosa, karena khitan itu tidak lebih dari sekadar memuliakan wanita, sebagaimana kata para ulama dan seperti yang disebutkan dalam beberapa atsar," lanjut Al-Qardhawi.
Ketiga mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Sedangkan mazhab Hanafi sepakat, berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan. Dikatakannya, mayoritas ulama dari mazhab ini tidak memandangnya dari perspektif hukum taklifi, tetapi sebagai kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam (wafat 681 Hijriah) adalah salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam kitab Fathul Qadir, dia menjelaskan, "Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya sunah bagi laki-laki. Bagi perempuan, itu merupakan sebuah kemuliaan."
Az-Zaila’i (wafat 743 Hijriah) ialah salah satu ulama mazhab Hanafi pula. Dalam kitab Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, dia menulis, "Tidaklah sunah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami-istri."
Kesimpulannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang khitan bagi wanita . Namun yang jelas khitan merupakan bagian syariat bagi wanita, terlepas hukumnya wajib ataupun sunnah. Barangsiapa yang melaksanakannya tentu lebih utama.
Wallahu A'lam
Sebagian dokter ada yang menguatkan dan sebagian lagi menentangnya, demikian pula dengan ulama, ada yang menguatkan dan ada yang menentangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami".
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyebutnya sebagai khitan ringan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis - meskipun tidak sampai ke derajat sahih - bahwa Nabi SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita ini, sabdanya: "Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."
Menurut Al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Fatwa-Fatwa Kontemporer ", yang dimaksud dengan isymam ialah taqlil (menyedikitkan), dan yang dimaksud dengan laa tantahiki ialah laa tasta'shili (jangan kau potong sampai pangkalnya). "Cara pemotongan seperti yang dianjurkan itu akan menyenangkan suaminya dan mencerahkan (menceriakan) wajahnya, maka inilah barangkali yang lebih cocok," jelasnya.
Al-Qardhawi mengatakan mengenai masalah ini, keadaan di masing-masing negara Islam tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan wanita dan ada pula yang tidak. "Namun bagaimanapun, bagi orang yang memandang bahwa mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia melakukannya, dan saya menyepakati pandangan ini, khususnya pada zaman kita sekarang ini," ujarnya.
"Akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah ia berdosa, karena khitan itu tidak lebih dari sekadar memuliakan wanita, sebagaimana kata para ulama dan seperti yang disebutkan dalam beberapa atsar," lanjut Al-Qardhawi.
Khitan Wanita Menurut Imam Mazhab
Mazhab Syafii berpandangan, hukum khitan ialah wajib atas laki-laki dan perempuan. Adapun mazhab Hanafi , Maliki dan Hanbali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan afdhaliyyah (keutamaan).Ketiga mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Sedangkan mazhab Hanafi sepakat, berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan. Dikatakannya, mayoritas ulama dari mazhab ini tidak memandangnya dari perspektif hukum taklifi, tetapi sebagai kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam (wafat 681 Hijriah) adalah salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam kitab Fathul Qadir, dia menjelaskan, "Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya sunah bagi laki-laki. Bagi perempuan, itu merupakan sebuah kemuliaan."
Az-Zaila’i (wafat 743 Hijriah) ialah salah satu ulama mazhab Hanafi pula. Dalam kitab Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, dia menulis, "Tidaklah sunah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami-istri."
Kesimpulannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang khitan bagi wanita . Namun yang jelas khitan merupakan bagian syariat bagi wanita, terlepas hukumnya wajib ataupun sunnah. Barangsiapa yang melaksanakannya tentu lebih utama.
Wallahu A'lam
(wid)