Tahun Abu: Ini Penyebab Paceklik dan Kelaparan di Era Khalifah Umar bin Khattab
loading...
A
A
A
Kelaparan sempat terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab . Penyebab terjadinya kelaparan karena di seluruh Semenanjung itu samasekali tidak turun hujan selama sembilan bulan.
"Tidak itu saja. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan dan semua tanaman di atasnya," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987)
Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran. Oleh karena itu tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah).
Menurut Haekal, akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak .
Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya.
"Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya," tutur Haekal.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan, mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan.
Mereka yang datang mengungsi sudah makin banyak jumlahnya sehingga kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Di sisi lain, Baitulmal di Irak dan Syam mengirimkan kepada Khalifah Umar apa yang masih ada pada mereka menurut kebiasaan hidup mereka sebelum musim kelaparan.
"Tidak itu saja. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan dan semua tanaman di atasnya," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987)
Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran. Oleh karena itu tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah).
Menurut Haekal, akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak .
Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya.
"Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya," tutur Haekal.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan, mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan.
Mereka yang datang mengungsi sudah makin banyak jumlahnya sehingga kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Di sisi lain, Baitulmal di Irak dan Syam mengirimkan kepada Khalifah Umar apa yang masih ada pada mereka menurut kebiasaan hidup mereka sebelum musim kelaparan.
(mhy)