Umar bin Khattab Wafat: Kisah Utsman dan Ali Berebut Jadi Imam Salat Jenazah
loading...
A
A
A
Saat Khalifah Umar bin Khattab mengimami salat subuh , Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah menikamnya. Tikaman itu mengenai bawah pusarnya memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung. Tak lama kemudian Umar menghadap Ilahi. Peristiwa itu terjadi pada hari Rabu tanggal 4 Zulhijah tahun ke-23 Hijri.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" mengatakan bahwa disebutkan dalam sebuah sumber mengutip kata-kata Abu Talhah: "Dengan terbunuhnya Umar, tak satu pun keluarga Arab di kota dan di pedalaman yang tidak merasakan adanya kekurangan, baik mengenai agama ataupun mengenai dunia mereka."
Sebuah sumber lagi menyebutkan bahwa Hasan mengatakan: "Keluarga mana pun yang tidak merasa kehilangan dengan kematian Umar adalah keluarga durjana."
Ketika Umar terbunuh Huzaifah berkata: "Sekarang orang telah meninggalkan sisi Islam. Demi Allah, mereka orang-orang yang sudah menyimpang dari tujuan, sehingga mereka sudah tidak punya rasa malu lagi apa yang mereka lihat, mereka sudah tidak mendapat bimbingan hidayah."
Ketika hari itu Zaid bin Sa'id menangis dan ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab: "Saya menangisi Islam! Dengan kematian Umar Islam retak, yang sampai hari kiamat pun tak akan dapat diperbaiki."
"Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang terkemuka," ujar Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) itu.
Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa mereka juga. "Bagi mereka Umar adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka, menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya," tutur Haekal.
Melihat keadaan yang demikian, kata Haekal, mungkin kita tak habis heran bahwa para sejarawan itu tidak mengutip rasa duka kalangan terkemuka atas kematian Umar waktu itu, seperti yang mereka lakukan terhadap Abu Bakar ketika wafat, dengan mengutip pernyataan duka mereka itu.
Kalaupun ada, hanya yang berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib bahwa begitu Umar meninggal ia datang dan dilihatnya Umar sedang membujur bertutup kain baju di suatu sudut dalam kamarnya.
Ali menyingkapkan kain itu dari wajah Umar seraya berkata: "Semoga Allah dengan segala kemuliaan-Nya melimpahkan rahmat kepadamu, Abu Hafsah! Tak ada orang yang lebih saya cintai setelah Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Anda."
Yang lebih sering dikutip, bahwa Ali berdiri di depan Umar setelah dimandikan, dikafani dan diangkat ke tempat tidurnya, dan dia menyampaikan pujiannya:
"Demi Allah, tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih kudambakan akan memperoleh rahmat Allah daripada orang yang kini sedang terbujur berselubungkan baju ini!"
Selesai Umar disalatkan Abdullah bin Salam datang dan katanya: "Kalau kalian sudah mendahului saya dengan melakukan salat kepadanya, jangan mendahului saya untuk memujinya."
Kemudian ia berdiri di depan tempat tidurnya dengan mengatakan: "Umar, sungguh luar biasa engkau sebagai pemimpin Islam. Pembela kebenaran, musuh kebatilan, engkau rela, pada tempatnya engkau rela, kalaupun engkau marah, pada tempatnya engkau marah. Engkau bersih dan sungguh mulia, Engkaulah lambang kejujuran. Engkau tak suka memuji, juga tak suka mengumpat." Setelah itu ia duduk.
Haekal mengatakan keheranan kita mungkin akan berkurang jika kita tahu bahwa perhatian orang-orang terkemuka itu sedang terpusat dalam majelis syura dalam kesibukan mereka membahas siapa yang akan menjadi pengganti Umar.
Anggota-anggota majelis syura yang ditinggalkan Umar itu orang-orang yang paling sibuk menangani masalah ini, dan ingin sampai pada kesimpulan.
Setelah tiba waktunya Umar akan dimakamkan, ia dibawa ke Masjid dan diletakkan di antara makam Rasulullah dengan mimbar untuk disalatkan.
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib datang, masing-masing ingin maju memimpin salat. Melihat keadaan itu Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Ini menandakan kecenderungan pada kepemimpinan. Anda berdua sudah tahu apa artinya ini. Dia sudah memerintahkan yang lain."
Lalu katanya lagi: "Suhaib! Majulah dan salatkan."
Demikian menurut Ibn Sa'ad dalam at-Tabaqat. Tetapi sumber at-Tabari menyebutkan, bahwa Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Besar sekali kecenderungan kalian berdua ini untuk kepemimpinan. Tidakkah Anda tahu bahwa Amirulmukminin berkata: "Hendaklah Suhaib yang mengimami salat?" Kemudian Suhaib yang maju dan melaksanakan salat dengan bertakbir empat kali.
Dalam sebuah sumber yang dikutip oleh Tabari dari Mugirah Syu'bah ia mengatakan: "Setelah Umar radiyallahu 'anhu wafat putri Abu Hasmah menangis sambil berkata: 'Oh Umar! Yang telah mengisi segala yang diperlukan, yang menyembuhkan penyakit, yang berhasil meredam segala gejolak, menghidupkan sunah, keluar dengan pakaian yang bersih dan bebas dari segala noda."
Selesai dimakamkan saya menemui Ali ingin mendengar pendapatnya mengenai Umar. Ia keluar sambil mengebut-ngebut kepala dan janggutnya sesudah mandi, dengan berselubungkan baju. Pasti soalnya berada di tangannya, dan ia berkata: "Memang benar kata putri Abu Hasmah itu. Dia pergi membawa segala yang baik dan lepas dari segala yang buruk. Memang tepat sekali apa yang dikatakannya, bahkan yang diajarinya."
Menurut Haekal, barangkali kesibukan majelis syura mengenai soal pengganti itu dapat mengurangi keheranan kita, mengapa para sejarawan itu tidak banyak mengutip rasa duka kepada Umar ketika ia wafat.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" mengatakan bahwa disebutkan dalam sebuah sumber mengutip kata-kata Abu Talhah: "Dengan terbunuhnya Umar, tak satu pun keluarga Arab di kota dan di pedalaman yang tidak merasakan adanya kekurangan, baik mengenai agama ataupun mengenai dunia mereka."
Sebuah sumber lagi menyebutkan bahwa Hasan mengatakan: "Keluarga mana pun yang tidak merasa kehilangan dengan kematian Umar adalah keluarga durjana."
Ketika Umar terbunuh Huzaifah berkata: "Sekarang orang telah meninggalkan sisi Islam. Demi Allah, mereka orang-orang yang sudah menyimpang dari tujuan, sehingga mereka sudah tidak punya rasa malu lagi apa yang mereka lihat, mereka sudah tidak mendapat bimbingan hidayah."
Ketika hari itu Zaid bin Sa'id menangis dan ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab: "Saya menangisi Islam! Dengan kematian Umar Islam retak, yang sampai hari kiamat pun tak akan dapat diperbaiki."
"Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang terkemuka," ujar Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) itu.
Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa mereka juga. "Bagi mereka Umar adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka, menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya," tutur Haekal.
Melihat keadaan yang demikian, kata Haekal, mungkin kita tak habis heran bahwa para sejarawan itu tidak mengutip rasa duka kalangan terkemuka atas kematian Umar waktu itu, seperti yang mereka lakukan terhadap Abu Bakar ketika wafat, dengan mengutip pernyataan duka mereka itu.
Kalaupun ada, hanya yang berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib bahwa begitu Umar meninggal ia datang dan dilihatnya Umar sedang membujur bertutup kain baju di suatu sudut dalam kamarnya.
Ali menyingkapkan kain itu dari wajah Umar seraya berkata: "Semoga Allah dengan segala kemuliaan-Nya melimpahkan rahmat kepadamu, Abu Hafsah! Tak ada orang yang lebih saya cintai setelah Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Anda."
Yang lebih sering dikutip, bahwa Ali berdiri di depan Umar setelah dimandikan, dikafani dan diangkat ke tempat tidurnya, dan dia menyampaikan pujiannya:
"Demi Allah, tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih kudambakan akan memperoleh rahmat Allah daripada orang yang kini sedang terbujur berselubungkan baju ini!"
Selesai Umar disalatkan Abdullah bin Salam datang dan katanya: "Kalau kalian sudah mendahului saya dengan melakukan salat kepadanya, jangan mendahului saya untuk memujinya."
Kemudian ia berdiri di depan tempat tidurnya dengan mengatakan: "Umar, sungguh luar biasa engkau sebagai pemimpin Islam. Pembela kebenaran, musuh kebatilan, engkau rela, pada tempatnya engkau rela, kalaupun engkau marah, pada tempatnya engkau marah. Engkau bersih dan sungguh mulia, Engkaulah lambang kejujuran. Engkau tak suka memuji, juga tak suka mengumpat." Setelah itu ia duduk.
Haekal mengatakan keheranan kita mungkin akan berkurang jika kita tahu bahwa perhatian orang-orang terkemuka itu sedang terpusat dalam majelis syura dalam kesibukan mereka membahas siapa yang akan menjadi pengganti Umar.
Anggota-anggota majelis syura yang ditinggalkan Umar itu orang-orang yang paling sibuk menangani masalah ini, dan ingin sampai pada kesimpulan.
Setelah tiba waktunya Umar akan dimakamkan, ia dibawa ke Masjid dan diletakkan di antara makam Rasulullah dengan mimbar untuk disalatkan.
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib datang, masing-masing ingin maju memimpin salat. Melihat keadaan itu Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Ini menandakan kecenderungan pada kepemimpinan. Anda berdua sudah tahu apa artinya ini. Dia sudah memerintahkan yang lain."
Lalu katanya lagi: "Suhaib! Majulah dan salatkan."
Demikian menurut Ibn Sa'ad dalam at-Tabaqat. Tetapi sumber at-Tabari menyebutkan, bahwa Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Besar sekali kecenderungan kalian berdua ini untuk kepemimpinan. Tidakkah Anda tahu bahwa Amirulmukminin berkata: "Hendaklah Suhaib yang mengimami salat?" Kemudian Suhaib yang maju dan melaksanakan salat dengan bertakbir empat kali.
Dalam sebuah sumber yang dikutip oleh Tabari dari Mugirah Syu'bah ia mengatakan: "Setelah Umar radiyallahu 'anhu wafat putri Abu Hasmah menangis sambil berkata: 'Oh Umar! Yang telah mengisi segala yang diperlukan, yang menyembuhkan penyakit, yang berhasil meredam segala gejolak, menghidupkan sunah, keluar dengan pakaian yang bersih dan bebas dari segala noda."
Selesai dimakamkan saya menemui Ali ingin mendengar pendapatnya mengenai Umar. Ia keluar sambil mengebut-ngebut kepala dan janggutnya sesudah mandi, dengan berselubungkan baju. Pasti soalnya berada di tangannya, dan ia berkata: "Memang benar kata putri Abu Hasmah itu. Dia pergi membawa segala yang baik dan lepas dari segala yang buruk. Memang tepat sekali apa yang dikatakannya, bahkan yang diajarinya."
Menurut Haekal, barangkali kesibukan majelis syura mengenai soal pengganti itu dapat mengurangi keheranan kita, mengapa para sejarawan itu tidak banyak mengutip rasa duka kepada Umar ketika ia wafat.
(mhy)