Ini Mengapa Penganut Majusi dan Nasrani Berbondong-bondong Masuk Islam
loading...
A
A
A
Di masa Khalifah Umar bin Khattab , negeri Islam berkembang dari perbatasan China di timur sampai ke seberang Sirenaika (Cyrenaica) di barat, dan dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di selatan, termasuk Persia , Irak, Syam dan Mesir .
Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengatakan suasana yang mewarnai konsep ajaran Islam di negeri-negeri yang menjadi sasaran serbuan pasukan Muslimin itu dapat menjadi jaminan bahwa konsep ini telah menjadi buah bibir setiap orang dan dalam setiap masyarakat.
"Soalnya karena dasar rohani yang menjadi landasan konsep itu sangat sederhana, tak ada yang berbelit-belit, dan sistem moral yang merupakan cabang atau bagian dasar itu sangat luhur, cemerlang, dan begitu memesonakan," tuturnya.
Demikian juga sistem sosial dalam Islam tidak kurang pula sederhana dan luhurnya dari sistem moral dan dasar spiritual itu. Inti konsep ajaran Islam waktu itu pada dasarnya dan dalam segala sistemnya masih murni, belum tercemar oleh segala macam kontroversi mazhab, dan liku-liku kontroversi itu tak sampai menutupi penglihatan orang dari inti ajarannya yang cemerlang.
Sesudah kaum Muslimin masuk ke pusat-pusat Irak dan Syam, dan menyebar di Persia dan Mesir, tokoh-tokoh mereka berjalan di depan membawa panji kemenangan.
Penduduk negeri yang tersebar di kawasan-kawasan itu sudah tentu akan berpikir juga tentang rahasia kemenangan ini serta pangkal penyebabnya dalam konsep ajaran Islam.
Selanjutnya, pertentangan dalam sekte-sekte Nasrani dan dalam sekte-sekte Majusi ketika itu sudah pula sampai di puncaknya. Akibat pertentangan ini di beberapa negeri orang mengalami pelbagai macam tindak kekerasan dengan akibat keyakinan sebagian orang menjadi goyah kemudian meninggalkannya.
"Yang sebagian lagi malah bertambah fanatik pada keyakinannya dan untuk itu mau ia berkorban," ujar Haekal. "Ini juga merupakan faktor lain lagi untuk membuatnya berpikir tentang agama yang baru ini dan apa pula isi ajarannya," lanjutnya.
Di samping itu, ditambah lagi karena kaum Muslimin tak pernah memaksa siapa pun dari penganut-penganut berbagai aliran di kalangan Nasrani dan Majusi itu untuk menganut Islam. Bahkan kebebasan memeluk suatu keyakinan mereka jadikan dasar dakwah.
Menurut Haekal, inilah pengaruh yang dalam sekali merasuk ke dalam hati orang-orang yang fanatik terhadap sekte mereka itu dan kaum duafa yang terbawa-bawa, sehingga banyak mereka yang mengarahkan perhatian kepada agama baru ini serta pemeluknya, tanpa lagi dilandasi kebencian dan rasa dengki.
Haekal memberi contoh bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh pihak Muslimin dengan pihak Syam, Irak, Persia dan Mesir dalam menghormati semua agama, agar jangan ada dari mereka masing-masing yang dibujuk, serta menghormati semua tempat ibadah dan tidak boleh diganggu.
Kemudian yang terjadi di Mesir, sampai berapa jauh kaum Muslimin mengajak sekte-sekte yang saling bertentangan itu agar mereka saling menghormati sekte masing-masing, dan tanpa harus mengganggu penganutnya.
"Jika demikian halnya wajar sekali penduduk negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu akan memperhatikan agama baru dan penganutnya ini dengan penuh penghargaan serta sangat menghormati para pendatang yang telah menegakkan keadilan itu," ujarnya.
Lebih-lebih lagi warga negeri-negeri yang dibebaskan itu berpikir tentang agama baru ini serta ajarannya, bahwa perjanjian yang menjamin kebebasan beragama itu membedakan antara penduduk yang masuk Islam dengan yang tidak.
Mereka yang tetap berpegang pada agama dan sektenya hanya dikenakan pembayaran jizyah sekadar imbalan dalam penjagaan dan perlindungan atas kebebasan keyakinan mereka.
Penduduk negeri yang sudah masuk Islam dibebaskan dari pembayaran jizyah; mereka disamakan dengan kaum Muslimin pendatang, segala hak dan kewajiban mereka sama, melaksanakan salat jamaah bersama-sama, dalam menghadapi perang pun mereka bersama-sama dalam satu barisan; sama-sama memperoleh hasil rampasan perang yang diperoleh dari pertempuran bersama. Juga mereka saling mengikat hubungan semenda.
Mengenai prinsip-prinsip agama ini tetap utuh dan sempuma. Mereka yang sudah menganutnya memperoleh semua hak itu. Sudah tentu, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, di negeri-negeri yang bukan berbahasa Arab dan penduduknya tidak dapat menghayati keindahan bahasa itu ada sejumlah orang - walaupun tidak begitu besar - mereka dan keislaman mereka dipersamakan dengan yang sudah bergabung dengan para penakluk.
Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengatakan suasana yang mewarnai konsep ajaran Islam di negeri-negeri yang menjadi sasaran serbuan pasukan Muslimin itu dapat menjadi jaminan bahwa konsep ini telah menjadi buah bibir setiap orang dan dalam setiap masyarakat.
"Soalnya karena dasar rohani yang menjadi landasan konsep itu sangat sederhana, tak ada yang berbelit-belit, dan sistem moral yang merupakan cabang atau bagian dasar itu sangat luhur, cemerlang, dan begitu memesonakan," tuturnya.
Demikian juga sistem sosial dalam Islam tidak kurang pula sederhana dan luhurnya dari sistem moral dan dasar spiritual itu. Inti konsep ajaran Islam waktu itu pada dasarnya dan dalam segala sistemnya masih murni, belum tercemar oleh segala macam kontroversi mazhab, dan liku-liku kontroversi itu tak sampai menutupi penglihatan orang dari inti ajarannya yang cemerlang.
Sesudah kaum Muslimin masuk ke pusat-pusat Irak dan Syam, dan menyebar di Persia dan Mesir, tokoh-tokoh mereka berjalan di depan membawa panji kemenangan.
Penduduk negeri yang tersebar di kawasan-kawasan itu sudah tentu akan berpikir juga tentang rahasia kemenangan ini serta pangkal penyebabnya dalam konsep ajaran Islam.
Selanjutnya, pertentangan dalam sekte-sekte Nasrani dan dalam sekte-sekte Majusi ketika itu sudah pula sampai di puncaknya. Akibat pertentangan ini di beberapa negeri orang mengalami pelbagai macam tindak kekerasan dengan akibat keyakinan sebagian orang menjadi goyah kemudian meninggalkannya.
"Yang sebagian lagi malah bertambah fanatik pada keyakinannya dan untuk itu mau ia berkorban," ujar Haekal. "Ini juga merupakan faktor lain lagi untuk membuatnya berpikir tentang agama yang baru ini dan apa pula isi ajarannya," lanjutnya.
Di samping itu, ditambah lagi karena kaum Muslimin tak pernah memaksa siapa pun dari penganut-penganut berbagai aliran di kalangan Nasrani dan Majusi itu untuk menganut Islam. Bahkan kebebasan memeluk suatu keyakinan mereka jadikan dasar dakwah.
Menurut Haekal, inilah pengaruh yang dalam sekali merasuk ke dalam hati orang-orang yang fanatik terhadap sekte mereka itu dan kaum duafa yang terbawa-bawa, sehingga banyak mereka yang mengarahkan perhatian kepada agama baru ini serta pemeluknya, tanpa lagi dilandasi kebencian dan rasa dengki.
Haekal memberi contoh bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh pihak Muslimin dengan pihak Syam, Irak, Persia dan Mesir dalam menghormati semua agama, agar jangan ada dari mereka masing-masing yang dibujuk, serta menghormati semua tempat ibadah dan tidak boleh diganggu.
Kemudian yang terjadi di Mesir, sampai berapa jauh kaum Muslimin mengajak sekte-sekte yang saling bertentangan itu agar mereka saling menghormati sekte masing-masing, dan tanpa harus mengganggu penganutnya.
"Jika demikian halnya wajar sekali penduduk negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu akan memperhatikan agama baru dan penganutnya ini dengan penuh penghargaan serta sangat menghormati para pendatang yang telah menegakkan keadilan itu," ujarnya.
Lebih-lebih lagi warga negeri-negeri yang dibebaskan itu berpikir tentang agama baru ini serta ajarannya, bahwa perjanjian yang menjamin kebebasan beragama itu membedakan antara penduduk yang masuk Islam dengan yang tidak.
Mereka yang tetap berpegang pada agama dan sektenya hanya dikenakan pembayaran jizyah sekadar imbalan dalam penjagaan dan perlindungan atas kebebasan keyakinan mereka.
Penduduk negeri yang sudah masuk Islam dibebaskan dari pembayaran jizyah; mereka disamakan dengan kaum Muslimin pendatang, segala hak dan kewajiban mereka sama, melaksanakan salat jamaah bersama-sama, dalam menghadapi perang pun mereka bersama-sama dalam satu barisan; sama-sama memperoleh hasil rampasan perang yang diperoleh dari pertempuran bersama. Juga mereka saling mengikat hubungan semenda.
Mengenai prinsip-prinsip agama ini tetap utuh dan sempuma. Mereka yang sudah menganutnya memperoleh semua hak itu. Sudah tentu, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, di negeri-negeri yang bukan berbahasa Arab dan penduduknya tidak dapat menghayati keindahan bahasa itu ada sejumlah orang - walaupun tidak begitu besar - mereka dan keislaman mereka dipersamakan dengan yang sudah bergabung dengan para penakluk.