Kisah Jatuhnya Kota Isfahan di Tangan Pasukan Islam, Hamazan Memberontak
loading...
A
A
A
Khalifah Umar bin Khattab mengirim pasukan ke Persia untuk membebaskan Isfahan, tempat persembunyian Raja Kisra Yazdigird . Umar bertekad menghabisi para Kisra itu. Hal itu karena teringat akan kata-Âkata Ahnaf bin Qais. "Persia akan terus mengadakan perlawanan terhadap pasukan Muslimin selama Yazdigird masih berada di tengahÂ-tengah mereka."
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab" (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan Yazdigird tahu segala yang sedang menimpa pasukan Persia di Rustaq Syaikh itu. Ia lari lagi dari Isfahan ke Kirman.
Abdullah bin Abdullah bin Itban maju terus ke Jay lalu mengepung kota Isfahan, tetapi pasukan Persia bertahan di dalam benteng-benteng kota itu, keluar menyerang pasukan Muslimin kemudian kembali lagi ke dalam benteng-benteng itu.
Kedua angkatan bersenjata itu sekarang berbaris berhadap-hadapan dan siap bertempur. Tatkala per tempuran sudah akan dimulai, Fadustan, penguasa Isfahan mengutus orang kepada Abdullah bin Itban dengan mengatakan:
"Janganlah Anda membunuh sahabat-sahabat saya dan saya tidak akan membunuh sahabat-sahabat Anda. Tetapi hadapilah saya. Kalau saya membunuh Anda, sahabat-sahabat Anda agar kembali, jika Anda membunuh saya, sahabatÂ-sahabat saya akan mengajak Anda berdamai, walaupun sahabat-sahabat saya tidak terkena anak panah."
Keduanya lalu bertanding untuk selama berapa waktu. Kemudian kata Fadustan kepada Abdullah: "Saya tidak ingin memerangi Anda, saya sudah menyaksikan Anda laki-laki sempurna; tetapi saya akan bersama Anda kembali ke markas Anda, dan mengadakan perdamaian dengan Anda dan akan saya serahkan kota ini kepada Anda atas dasar, barang siapa suka biarlah ia tinggal dan membayar jizyah dan tetap dengan hartanya; dan barang siapa yang tanahnya kalian ambil biarlah berjalan seperti biasa dan biarlah mereka kembali; barang siapa menolak seperti yang kami lakukan, biarlah ia pergi sesuka hatinya dan tanahnya untuk kalian."
Abdullah menyetujui perjanjian itu, dan penduduk Isfahan menjadi ahli zimmah selain 30 orang yang menolak dan mereka bergabung kepada kelompok Kirman.
Perjanjian Dilanggar
Sementara pasukan Muslimin sedang dalam pertempuran untuk memasuki Isfahan, kota-kota bagian utara yang terletak di selatan Laut Kaspia bergabung dengan Isfandiar Razi, saudara Rustum yang kalah dan terbunuh di Kadisiah - mengadakan persiapan hendak menangkis pasukan Muslimin dari Ray.
Ketika pihak Hamazan mengetahui adanya pemusatan itu, keberanian mereka timbul kembali. Mereka batalkan segala perjanjian yang sudah diadakan dengan pihak Muslimin sesudah pertempuran Nahawand. Berita pelanggaran di Hamazan itu sampai juga kepada Khalifah Umar.
Ia memerintahkan Nu'aim bin Muqarrin cepat-cepat berangkat ke sana dan menaklukkannya dengan kekerasan sebagai hukuman terhadap mereka supaya tidak lagi mengulangi perbuatan seperti itu, dan untuk menjadi pelajaran bagi yang lain sehingga setelah itu tak ada lagi yang berani membatalkan perjanjian dengan pihak Muslimin.
Bagi pihak Hamazan nama Nu'aim ini sudah tidak asing lagi dan mereka sudah tahu pula siapa orang itu. Mereka teringat pada Nahawand dan pada Firozan serta nasibnya di Jalan Madu dulu. Mereka terkejut dan diliputi rasa ketakutan. Mereka yakin bahwa mereka akan terkepung dan pasti akan kalah.
Mereka makin panik ketika tersiar berita bahwa Nu'aim sudah menguasai kota-kota di sekitar Hamazan. Mereka bertambah yakin akan nasib buruk yang sedang menantikan mereka.
Hamazan Jatuh
Setelah Nu'aim sampai ke tempat mereka dan mengepung kota itu, mereka mengutus orang meminta damai, kendati masih dengan keraguan bahwa permintaan itu tidak akan ditolak. Bagaimana Nu'aim dapat mempercayai mereka padahal sebelum itu mereka sudah melanggar perjanjian?
Akan tetapi alangkah senangnya mereka bahwa ternyata ia mau menerima jizyah dari mereka atas dasar kekuatan bersenjata pasukan Muslimin yang tinggal di Hamazan, yang dengan kehadirannya akan mengingatkan kota itu tentang adanya perjanjian dan sekaligus dapat menangani masalah jizyah.
Melihat mereka merasakan pengepungan itu berlangsung lama dan sudah merasa kesal, mereka keluar hendak mencetuskan pertempuran besar-besaran.
Akibat kebijakan Nu'aim ini satuan-satuan yang sudah bergabung dengan Isfandiar itu makin hari bertambah banyak dan makin kuat. Nu'aim menyadari akan hal itu. Ia tahu - sementara ia memimpin 12.000 Muslimin prajurit di Hamazan - bahwa satuanÂ-satuan itu sekarang bergerak menuju ke arahnya dari berbagai jurusan: dari Dailam dipimpin oleh Mota, dari Ray dipimpin Zainabi Abu Farrukhan dan dari Azerbaijan oleh Isfandiar sendiri, dengan tujuan akan bertemu di Waj Ruz, kendati Dasta adalah tempat yang lebih dekat.
Oleh karena itu Nu'aim melepaskan mata-matanya ke daerah itu untuk mengumpulkan berita-berita dan mengirimkannya kepadanya kembali. Yang lebih dulu sampai ke tempat itu pasukan Dailam. Mata-mata itu menyampaikan berita ini ke Hamazan.
Nu'aim berangkat dengan pasukannya ke luar kota menuju ke suatu tempat yang berhadapan langsung dengan kekuatan sekutu yang sudah berkumpul hendak memeranginya itu.
Urusan kota diserahkannya kepada Yazid bin Qais. Jumlah kekuatan ini cukup besar. Tetapi pasukan Muslimin tidak membiarkan kesempatan, begitu sampai ke medan itu langsung menyerang mereka.
Menurut perkiraannya, ia mampu mengalahkan mereka, bahkan sampai mengikis habis. Pertempuran antara kedua pihak pecah begitu hebat mengingatkan orang pada pertempuran Nahawand.
Pasukan Muslimin yang sudah biasa mendapat kemenangan ternyata tidak mudah dapat mengalahkan mereka. Kekuatan-kekuatan Dailam dan Persia itu tidak tahu ke brigade mana mereka harus bergabung padahal mereka mau mempertahankannya dan bersedia mati untuk itu.
Oleh karenanya, begitu malam tiba mereka bubar dalam kekalahan setelah pasukan Muslimin berhasil membunuh mereka dalam jumlah yang tidak sedikit.
Nu'aim sudah mengirimkan berita kepada Khalifah Umar mengenai jatuhnya Hamazan serta persetujuan yang dibuatnya dengan pihak mereka, disertai laporan tentang berita-berita yang tersiar mengenai persekutuan Dailam, Ray dan Azerbaijan yang hendak bersama-sama memeranginya.
Khalifah Umar merasa gentar juga dengan berita-berita itu; ia berdoa ada Allah agar pasukannya mendapat kekuatan dan pertolongan-Nya.
Dengan penuh rasa cemas di Madinah ia menantikan berita-berita selanjutnya mengenai pasukannya itu.
Sementara ia dalam keadaan demikian tiba-tiba datang Urwah bin Zaid al-Khail. Ia dulu pernah datang membawa berita mengenai pertempuran Jisr yang berakibat dengan kekalahan Muslimin dan terbunuhnya Abu Ubaid as-Saqafi.
Begitu melihatnya Umar berkata: "Ada berita gembira!"
Orang itu menjawab: "Saya Urwah!"
Umar langsung menyambut dengan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."
Ketika itu juga Urwah segera ingat, lalu katanya: "Alhamdulillah, Allah telah memberi pertolongan dan kemenangan kepada kita. Dan ia melaporkan apa yang telah terjadi."
Selesai ia menyampaikan laporannya itu Umar berkata: "Mengapa bukan Anda yang tinggal dan mengirim orang saja?"
Urwah menjawab: "Sudah diserahkan kepada saudara saya, dan saya sendiri yang ingin menemui Anda."
Sejak itu Umar memberi ia nama "al-Basyir" ("pembawa berita gembira"). Umar meminta surat yang dibawa Urwah dari Nu'aim berisi berita kemenangan itu dibacakan, dan sebagai tanda bersyukur atas segala nikmat yang karuniakan Allah itu mereka melakukan salat.
Urwah kemudian kembali ke Hamazan sambil membawa surat dari Umar: "Selanjutnya, untuk Hamazan tunjuklah orang dan berangkatlah Anda ke Ray dan pelajarilah keadaan mereka. Kemudian tinggal di sana karena letaknya di tengah-tengah daerah itu dan himpunlah segala yang Anda kehendaki."
Tak lama setelah membaca surat itu Nu'aim mengangkat Yazid bin Qais untuk Hamazan, dan dia sendiri berangkat dengan pasukannya ke Ray. Ia yakin sekali bahwa Allah akan memberikan kemenangan kepadanya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab" (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan Yazdigird tahu segala yang sedang menimpa pasukan Persia di Rustaq Syaikh itu. Ia lari lagi dari Isfahan ke Kirman.
Abdullah bin Abdullah bin Itban maju terus ke Jay lalu mengepung kota Isfahan, tetapi pasukan Persia bertahan di dalam benteng-benteng kota itu, keluar menyerang pasukan Muslimin kemudian kembali lagi ke dalam benteng-benteng itu.
Kedua angkatan bersenjata itu sekarang berbaris berhadap-hadapan dan siap bertempur. Tatkala per tempuran sudah akan dimulai, Fadustan, penguasa Isfahan mengutus orang kepada Abdullah bin Itban dengan mengatakan:
"Janganlah Anda membunuh sahabat-sahabat saya dan saya tidak akan membunuh sahabat-sahabat Anda. Tetapi hadapilah saya. Kalau saya membunuh Anda, sahabat-sahabat Anda agar kembali, jika Anda membunuh saya, sahabatÂ-sahabat saya akan mengajak Anda berdamai, walaupun sahabat-sahabat saya tidak terkena anak panah."
Keduanya lalu bertanding untuk selama berapa waktu. Kemudian kata Fadustan kepada Abdullah: "Saya tidak ingin memerangi Anda, saya sudah menyaksikan Anda laki-laki sempurna; tetapi saya akan bersama Anda kembali ke markas Anda, dan mengadakan perdamaian dengan Anda dan akan saya serahkan kota ini kepada Anda atas dasar, barang siapa suka biarlah ia tinggal dan membayar jizyah dan tetap dengan hartanya; dan barang siapa yang tanahnya kalian ambil biarlah berjalan seperti biasa dan biarlah mereka kembali; barang siapa menolak seperti yang kami lakukan, biarlah ia pergi sesuka hatinya dan tanahnya untuk kalian."
Abdullah menyetujui perjanjian itu, dan penduduk Isfahan menjadi ahli zimmah selain 30 orang yang menolak dan mereka bergabung kepada kelompok Kirman.
Perjanjian Dilanggar
Sementara pasukan Muslimin sedang dalam pertempuran untuk memasuki Isfahan, kota-kota bagian utara yang terletak di selatan Laut Kaspia bergabung dengan Isfandiar Razi, saudara Rustum yang kalah dan terbunuh di Kadisiah - mengadakan persiapan hendak menangkis pasukan Muslimin dari Ray.
Ketika pihak Hamazan mengetahui adanya pemusatan itu, keberanian mereka timbul kembali. Mereka batalkan segala perjanjian yang sudah diadakan dengan pihak Muslimin sesudah pertempuran Nahawand. Berita pelanggaran di Hamazan itu sampai juga kepada Khalifah Umar.
Ia memerintahkan Nu'aim bin Muqarrin cepat-cepat berangkat ke sana dan menaklukkannya dengan kekerasan sebagai hukuman terhadap mereka supaya tidak lagi mengulangi perbuatan seperti itu, dan untuk menjadi pelajaran bagi yang lain sehingga setelah itu tak ada lagi yang berani membatalkan perjanjian dengan pihak Muslimin.
Bagi pihak Hamazan nama Nu'aim ini sudah tidak asing lagi dan mereka sudah tahu pula siapa orang itu. Mereka teringat pada Nahawand dan pada Firozan serta nasibnya di Jalan Madu dulu. Mereka terkejut dan diliputi rasa ketakutan. Mereka yakin bahwa mereka akan terkepung dan pasti akan kalah.
Mereka makin panik ketika tersiar berita bahwa Nu'aim sudah menguasai kota-kota di sekitar Hamazan. Mereka bertambah yakin akan nasib buruk yang sedang menantikan mereka.
Hamazan Jatuh
Setelah Nu'aim sampai ke tempat mereka dan mengepung kota itu, mereka mengutus orang meminta damai, kendati masih dengan keraguan bahwa permintaan itu tidak akan ditolak. Bagaimana Nu'aim dapat mempercayai mereka padahal sebelum itu mereka sudah melanggar perjanjian?
Akan tetapi alangkah senangnya mereka bahwa ternyata ia mau menerima jizyah dari mereka atas dasar kekuatan bersenjata pasukan Muslimin yang tinggal di Hamazan, yang dengan kehadirannya akan mengingatkan kota itu tentang adanya perjanjian dan sekaligus dapat menangani masalah jizyah.
Melihat mereka merasakan pengepungan itu berlangsung lama dan sudah merasa kesal, mereka keluar hendak mencetuskan pertempuran besar-besaran.
Akibat kebijakan Nu'aim ini satuan-satuan yang sudah bergabung dengan Isfandiar itu makin hari bertambah banyak dan makin kuat. Nu'aim menyadari akan hal itu. Ia tahu - sementara ia memimpin 12.000 Muslimin prajurit di Hamazan - bahwa satuanÂ-satuan itu sekarang bergerak menuju ke arahnya dari berbagai jurusan: dari Dailam dipimpin oleh Mota, dari Ray dipimpin Zainabi Abu Farrukhan dan dari Azerbaijan oleh Isfandiar sendiri, dengan tujuan akan bertemu di Waj Ruz, kendati Dasta adalah tempat yang lebih dekat.
Oleh karena itu Nu'aim melepaskan mata-matanya ke daerah itu untuk mengumpulkan berita-berita dan mengirimkannya kepadanya kembali. Yang lebih dulu sampai ke tempat itu pasukan Dailam. Mata-mata itu menyampaikan berita ini ke Hamazan.
Nu'aim berangkat dengan pasukannya ke luar kota menuju ke suatu tempat yang berhadapan langsung dengan kekuatan sekutu yang sudah berkumpul hendak memeranginya itu.
Urusan kota diserahkannya kepada Yazid bin Qais. Jumlah kekuatan ini cukup besar. Tetapi pasukan Muslimin tidak membiarkan kesempatan, begitu sampai ke medan itu langsung menyerang mereka.
Menurut perkiraannya, ia mampu mengalahkan mereka, bahkan sampai mengikis habis. Pertempuran antara kedua pihak pecah begitu hebat mengingatkan orang pada pertempuran Nahawand.
Pasukan Muslimin yang sudah biasa mendapat kemenangan ternyata tidak mudah dapat mengalahkan mereka. Kekuatan-kekuatan Dailam dan Persia itu tidak tahu ke brigade mana mereka harus bergabung padahal mereka mau mempertahankannya dan bersedia mati untuk itu.
Oleh karenanya, begitu malam tiba mereka bubar dalam kekalahan setelah pasukan Muslimin berhasil membunuh mereka dalam jumlah yang tidak sedikit.
Nu'aim sudah mengirimkan berita kepada Khalifah Umar mengenai jatuhnya Hamazan serta persetujuan yang dibuatnya dengan pihak mereka, disertai laporan tentang berita-berita yang tersiar mengenai persekutuan Dailam, Ray dan Azerbaijan yang hendak bersama-sama memeranginya.
Khalifah Umar merasa gentar juga dengan berita-berita itu; ia berdoa ada Allah agar pasukannya mendapat kekuatan dan pertolongan-Nya.
Dengan penuh rasa cemas di Madinah ia menantikan berita-berita selanjutnya mengenai pasukannya itu.
Sementara ia dalam keadaan demikian tiba-tiba datang Urwah bin Zaid al-Khail. Ia dulu pernah datang membawa berita mengenai pertempuran Jisr yang berakibat dengan kekalahan Muslimin dan terbunuhnya Abu Ubaid as-Saqafi.
Begitu melihatnya Umar berkata: "Ada berita gembira!"
Orang itu menjawab: "Saya Urwah!"
Umar langsung menyambut dengan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."
Ketika itu juga Urwah segera ingat, lalu katanya: "Alhamdulillah, Allah telah memberi pertolongan dan kemenangan kepada kita. Dan ia melaporkan apa yang telah terjadi."
Selesai ia menyampaikan laporannya itu Umar berkata: "Mengapa bukan Anda yang tinggal dan mengirim orang saja?"
Urwah menjawab: "Sudah diserahkan kepada saudara saya, dan saya sendiri yang ingin menemui Anda."
Sejak itu Umar memberi ia nama "al-Basyir" ("pembawa berita gembira"). Umar meminta surat yang dibawa Urwah dari Nu'aim berisi berita kemenangan itu dibacakan, dan sebagai tanda bersyukur atas segala nikmat yang karuniakan Allah itu mereka melakukan salat.
Urwah kemudian kembali ke Hamazan sambil membawa surat dari Umar: "Selanjutnya, untuk Hamazan tunjuklah orang dan berangkatlah Anda ke Ray dan pelajarilah keadaan mereka. Kemudian tinggal di sana karena letaknya di tengah-tengah daerah itu dan himpunlah segala yang Anda kehendaki."
Tak lama setelah membaca surat itu Nu'aim mengangkat Yazid bin Qais untuk Hamazan, dan dia sendiri berangkat dengan pasukannya ke Ray. Ia yakin sekali bahwa Allah akan memberikan kemenangan kepadanya.
(mhy)