Hukum Salat Berjamaah di Hotel Makkah Sedangkan Imamnya di Masjidil Haram, Begini Penjelasannya

Sabtu, 25 Mei 2024 - 11:33 WIB
loading...
Hukum Salat Berjamaah di Hotel Makkah Sedangkan Imamnya di Masjidil Haram, Begini Penjelasannya
Ada 2 pendapat imam mazhab tentang hukum salat berjamaah di hotel Makkah sedangkan sang Imam berada di Masjidil Haram, terutama bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah haji atau umrah. Foto ilustrasi/ist
A A A
Hukum salat berjamaah di hotel Makkah sedangkan sang Imam berada di Masjidil Haram ini jadi hal yang banyak ditanyakan oleh umat muslim, terutama bagi mereka yang hendak menjalankan ibadah haji atau umrah.

Terlebih kebanyakan orang yang datang ke Tanah Suci sangatlah menantikan untuk bisa salat berjamaah di Masjidil Haram karena memiliki banyak keutamaan. Salah satunya adalah dilipatgandakannya pahala salat hingga 100 ribu kali dibanding salat di Masjid Nabawi.

Sementara salat di Masjid Nabawi lebih utama 1000 kali salat di masjid lain. Karena itulah banyak orang berebut shaf untuk bisa salat berjamaah di Masjidil Haram.

Mengingat di sekitar Masjidil Haram terdapat cukup banyak penginapan yang diperuntukkan bagi para jamaah haji dan umrah, apakah diperbolehkan untuk salat berjamaah di dalam hotel mengikuti imam yang berada di Masjidil Haram? Terdapat perbedaan antara mazhab Syafi'i dan Hanbali terkait jawaban untuk pertanyaan ini.

Hukum Salat Berjamaah di Hotel Makkah Sedangkan Imam di Masjidil Haram

1. Mazhab Hanbali

Menurut perspektif mazhab Hanbali dalam salat berjamaah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

- Melihat langsung imam atau makmum di depannya agar dapat mengikuti pergerakan salat secara berjamaah, atau dengan mendengar suara takbir-takbir imam atau makmum lain.

- Posisi makmum dengan shaf di depannya harus sambung, tidak putus. Disebut terputus jika ada jarak yang jauh antara dua shaf yang tidak biasa.

وإنْ كان المَأْمُومُ في غيرِ المَسجِدِ أو كانَا جَمِيعًا في غيرِ مَسْجدٍ، صَحَّ أنْ يَأْتَمَّ به، سَوَاءٌ كان مُسَاوِيًا لِلإِمامِ أو أعْلَى منه، كَثِيرًا كان العُلُوُّ أو قلِيلًا، بِشَرْطِ كَوْن الصُّفُوفِ مُتَّصِلَةً ويُشاهدُ من وَرَاءَ الإِمامِ، وسَوَاءٌ كان المَأْمُومُ في رَحْبَةِ الجامِعِ، أو دارٍ، أو على سَطْحٍ والإِمَامُ على سَطْحٍ آخَرَ، أو كانَا في صَحْرَاءَ، أو في سَفِينَتَيْنِ


Artinya : "Bila makmum berada di selain masjid atau keduanya semua berada di selain masjid, maka sah makmumnya terhadap imam, baik ia sejajar dengan imam atau lebih tinggi poisisinya. Baik tingginya itu sangat tinggi atau sedikit saja. Ini dengan syarat adanya shaf makmum yang tersambung dan terlihat dari belakang imam. Baik makmum berada di rahabah (semacam serambi) masjid jami, di rumah atau di loteng, sementara makmum di loteng lain. Atau keduanya di tempat lapang atau di dua kapal." (Ibnu Qudamah Al-Hanbali, Al-Mughni, Juz III, Halaman 44-45)

Sehingga, jika didasarkan pada mazhab Hanbali maka diperbolehkan untuk salat di hotel meskipun imam berada di Masjidil Haram, asalkan makmum bisa melihat makmum lainnya melalui jendela atau bagian transparan dalam hotel lainnya.

2. Mazhab Syafi'i

Sama dengan mazhab Hanbali, dalam mazhab Syafi'i juga memiliki syarat yang harus dipenuhi ketika salat berjamaah, diantaranya :
- Berdekatan (at-taqarub) antara makmum dan imam. Sebagian ulama merujuk kepada urf dan sebagian yang lain menetapkan dengan jarak 300 dzira’ (kurang lebih 150 meter), sehingga keberadaan makmum yang posisinya di luar masjid tersebut tidak melebihi 300 dzira’.

- Tidak ada penghalang yang menghalangi makmum menuju imam, melihat imam, atau melihat shaf di depannya. Jika ada penghalang maka harus ada makmum lain yang menjadi penghubung (rabith) dengan posisi sejajar dengan tembusan seperti pintu yang terdapat di penghalang tersebut.

ولو كان أحدهما فيه أي المسجد (والآخر خارجه شرط) مع قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلثمائة ذراع تقريبا (عدم حائل) بينهما يمنع مرورا أو رؤية (أو وقوف واحد) من المأمومين (حذاء منفذ) في الحائل إن كان


Artinya: "Andaikan salah satu makmum dan imam ada di dalam masjid, sementara yang lain di luarnya, maka selain kedekatan jarak sekira tidak melebihi 300 dzira' di antara keduanya secara kira-kira, disyaratkan pula tidak ada penghalang di antara keduanya yang mencegah untuk berjalan menuju kepadanya atau melihatnya, atau ada salah satu makmum yang berdiri sejajar dengan ruang yang menembus penghalang tersebut jika ada." (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in dalam I’anatut Thalibin, Juz II, Halaman 35).

- Makmum disyaratkan dapat mengikuti pergerakan salat imam baik dengan melihat imam, melihat sebagian makmum yang lain atau dengan cara yang semisal seperti dengan mendengarkan suara imam atau suara muballigh.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan jika dalam mazhab Syafi'i seorang makmum tidak diperbolehkan karena untuk menuju imam mereka harus keluar kamar, lalu menuju lift atau eskalator dan seterusnya, yang dapat dipastikan mereka lakukan dengan membelakangi kiblat. Hal inilah yang merusak syarat sah salat berjamaah dari mazhab Syafi'i.

Namun orang-orang yang melakukan salat berjamaah di emperan hotel atau toko, bahkan di jalan-jalan maka masih memungkinkan untuk melakukan salat berjamaah dengan imam yang berada di Masjidil Haram.

Itulah penjelasan terkait hukum salat berjamaah di hotel Makkah sedangkan imam berada di Masjidil Haram. Dimana dalam mazhab Hanbali membolehkan, sedangkan di mazhab Syafi'i melarang.



Wallahu A'lam
(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5038 seconds (0.1#10.140)
pixels