Penaklukan Yerusalem: Kisah Khalifah Umar Serahkan Kepemimpinan kepada Ali bin Abi Thalib
loading...
A
A
A
Khalifah Umar bin Khattab meninggalkan Madinah menuju Yerusalem setelah tercapai persetujuan damai dengan pihak Aelia atau Illia, Yerusalem. Itu sebabnya kemudian ia berangkat dalam sebuah rombongan kecil saja, setelah sebelumnya mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk memperkuat pasukan yang dipimpin Amr bin Ash .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" ( PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menyebut ada juga beberapa sumber menyebutkan yang berlawanan dengan sumber yang sudah masyhur itu.
Sumber dari Adi bin Sahal mengatakan: “Sesudah pihak Syam meminta bala bantuan dari Khalifah Umar dalam menghadapi pihak Palestina , pimpinan diserahkannya kepada Ali dan dia pergi memberikan bala bantuan kepada mereka. Maka Ali berkata: Akan pergi ke mana? Anda mau menghadapi musuh seekor anjing.”
Dalam sebuah sumber menurut Ibn Katsir bahwa Umar pergi ke Palestina menyelesaikan perjanjian damai dengan pihak Aelia, dan dia pergi dengan sebuah pasukan ke sana, dan menyerahkan pimpinan Madinah kepada Ali bin Abi Thalib.”
Anehnya, kata Haekal, bahwa tak ada tujuan lain Umar berangkat dengan pasukannya selain untuk menyelesaikan perundingan damai dan membuat perjanjian. Dan yang aneh lagi, bahwa pihak Baitulmukadas meminta kedatangan Umar dari Madinah hanya untuk membuat perjanjian, padahal ·mereka tahu jarak itu dalam perjalanan terus-menerus dengan kafilah memakan waktu tiga minggu.
"Oleh karena itu saya cenderung berpendapat bahwa Umar sudah tidak sabar lagi dengan pengepungan yang begitu lama itu dan Amr menulis surat kepadanya mengenai kekuatan musuh, dan Umar mengirimkan bala bantuan," ujar Haekal.
Setelah ada permintaan bala bantuan, baru ia berangkat bersama bala bantuan itu hingga sampai di al-Jabiah - antara pedalaman Syam dengan Yordania - sementara itu Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid sudah selesai menaklukkan Syam.
Kedua tokoh ini dipanggil Khalifah Umar ke Jabiah untuk diajak bermusyawarah bersama-sama dengan pemimpin-pemimpin pasukan Muslimin yang lain dalam mencari cara-cara terbaik menumpas perlawanan kota yang sudah terkepung itu.
Atrabun dan Severinus mengetahui kedatangan Umar, juga mereka tahu bencana yang telah menimpa pasukan Romawi di tangan Abu Ubaidah dan Khalid. Mereka sudah memperkirakan kota itu tak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Maka dengan diam-diam Atrabun menarik angkatan bersenjatanya ke Mesir.
Sesudah Uskup tua itu yakin akan keselamatannya, ia memimpin perundingan dengan pihak Muslimin mengenai penyerahan kota itu. Mengetahui bahwa Amirulmukminin sudah berada di Jabiah, ia sudah menetapkan akan datang sendiri untuk membuat perjanjian itu. Melihat jarak antara Jabiah dengan Baitulmukadas, tidak akan sulit memenuhi permintaan Severinus itu.
"Inilah yang dapat saya terima, dan sesuai dengan jalannya sejarah sekitar peristiwa-peristiwa penyerbuan ke Syam dan Palestina itu," tutur Haekal.
Sumber yang masyhur tidak akan keberatan dan tidak akan menolak kendatipun terdapat perbedaan bahwa kepergian Umar dari Madinah sesudah ada permintaan damai dari pihak Baitulmukadas, asal Khalifah sendiri yang akan bertindak.
Pihak-pihak yang mengemukakan sumber ini masih berbeda pendapat di antara sesama mereka mengenai siapa yang diutus menyampaikan permintaan pihak Aelia supaya Umar yang melaksanakan perjanjian itu: Abu Ubaidah atau Amr bin As.
Begitu juga mengenai tahun selesainya kota itu dibebaskan masih terdapat perbedaan.
Kesimpulan sumber itu bahwa setelah Umar menerima surat permintaan pergi ke Palestina ia bermusyawarah dengan jamaah Muslimin di Masjid dengan membacakan surat itu kepada mereka. Usman bin Affan berpendapat, sebaiknya Umar jangan meninggalkan Madinah.
“Kalau Anda tinggal di sini dan tidak pergi ke sana. mereka akan berpendapat Anda menganggap mereka enteng dan Anda siap memerangi mereka. Tak lama lagi mereka akan tunduk dan akan membayar jizyah.”
Akan tetapi Ali bin Abi Thalib tidak sependapat dengan Utsman. Ia menyarankan lebih baik Umar berangkat ke Aelia. Pasukan Muslimin sudah bersusah payah menghadapi udara dingin, perang dan sudah lama meninggalkan kampung halaman. Kalau Anda datang menemui mereka, kedatangan Anda dan pasukan Muslimin akan merasa aman, akan merasa sejuk. Semua ini akan membawa perdamaian dan kemenangan.
Saya tidak yakin mereka akan merasa kecewa terhadap Anda dan terhadap persetujuan itu, lalu akan bertahan dengan benteng-benteng mereka dan akan meminta bala bantuan dari kota dan dari kaum penindas mereka itu, apalagi Baitulmukadas bagi mereka sangat agung dan tempat ziarah mereka.”
Umar lebih cenderung pada pendapat Ali, dan itu yang diterimanya. Dimintanya orang yang akan berangkat bersama dia segera bersiap-siap, dan ia menyerahkan urusan Madinah di tangan Ali bin Abi Thalib.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" ( PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menyebut ada juga beberapa sumber menyebutkan yang berlawanan dengan sumber yang sudah masyhur itu.
Sumber dari Adi bin Sahal mengatakan: “Sesudah pihak Syam meminta bala bantuan dari Khalifah Umar dalam menghadapi pihak Palestina , pimpinan diserahkannya kepada Ali dan dia pergi memberikan bala bantuan kepada mereka. Maka Ali berkata: Akan pergi ke mana? Anda mau menghadapi musuh seekor anjing.”
Dalam sebuah sumber menurut Ibn Katsir bahwa Umar pergi ke Palestina menyelesaikan perjanjian damai dengan pihak Aelia, dan dia pergi dengan sebuah pasukan ke sana, dan menyerahkan pimpinan Madinah kepada Ali bin Abi Thalib.”
Anehnya, kata Haekal, bahwa tak ada tujuan lain Umar berangkat dengan pasukannya selain untuk menyelesaikan perundingan damai dan membuat perjanjian. Dan yang aneh lagi, bahwa pihak Baitulmukadas meminta kedatangan Umar dari Madinah hanya untuk membuat perjanjian, padahal ·mereka tahu jarak itu dalam perjalanan terus-menerus dengan kafilah memakan waktu tiga minggu.
"Oleh karena itu saya cenderung berpendapat bahwa Umar sudah tidak sabar lagi dengan pengepungan yang begitu lama itu dan Amr menulis surat kepadanya mengenai kekuatan musuh, dan Umar mengirimkan bala bantuan," ujar Haekal.
Setelah ada permintaan bala bantuan, baru ia berangkat bersama bala bantuan itu hingga sampai di al-Jabiah - antara pedalaman Syam dengan Yordania - sementara itu Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid sudah selesai menaklukkan Syam.
Baca Juga
Kedua tokoh ini dipanggil Khalifah Umar ke Jabiah untuk diajak bermusyawarah bersama-sama dengan pemimpin-pemimpin pasukan Muslimin yang lain dalam mencari cara-cara terbaik menumpas perlawanan kota yang sudah terkepung itu.
Atrabun dan Severinus mengetahui kedatangan Umar, juga mereka tahu bencana yang telah menimpa pasukan Romawi di tangan Abu Ubaidah dan Khalid. Mereka sudah memperkirakan kota itu tak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Maka dengan diam-diam Atrabun menarik angkatan bersenjatanya ke Mesir.
Sesudah Uskup tua itu yakin akan keselamatannya, ia memimpin perundingan dengan pihak Muslimin mengenai penyerahan kota itu. Mengetahui bahwa Amirulmukminin sudah berada di Jabiah, ia sudah menetapkan akan datang sendiri untuk membuat perjanjian itu. Melihat jarak antara Jabiah dengan Baitulmukadas, tidak akan sulit memenuhi permintaan Severinus itu.
"Inilah yang dapat saya terima, dan sesuai dengan jalannya sejarah sekitar peristiwa-peristiwa penyerbuan ke Syam dan Palestina itu," tutur Haekal.
Sumber yang masyhur tidak akan keberatan dan tidak akan menolak kendatipun terdapat perbedaan bahwa kepergian Umar dari Madinah sesudah ada permintaan damai dari pihak Baitulmukadas, asal Khalifah sendiri yang akan bertindak.
Pihak-pihak yang mengemukakan sumber ini masih berbeda pendapat di antara sesama mereka mengenai siapa yang diutus menyampaikan permintaan pihak Aelia supaya Umar yang melaksanakan perjanjian itu: Abu Ubaidah atau Amr bin As.
Begitu juga mengenai tahun selesainya kota itu dibebaskan masih terdapat perbedaan.
Kesimpulan sumber itu bahwa setelah Umar menerima surat permintaan pergi ke Palestina ia bermusyawarah dengan jamaah Muslimin di Masjid dengan membacakan surat itu kepada mereka. Usman bin Affan berpendapat, sebaiknya Umar jangan meninggalkan Madinah.
“Kalau Anda tinggal di sini dan tidak pergi ke sana. mereka akan berpendapat Anda menganggap mereka enteng dan Anda siap memerangi mereka. Tak lama lagi mereka akan tunduk dan akan membayar jizyah.”
Akan tetapi Ali bin Abi Thalib tidak sependapat dengan Utsman. Ia menyarankan lebih baik Umar berangkat ke Aelia. Pasukan Muslimin sudah bersusah payah menghadapi udara dingin, perang dan sudah lama meninggalkan kampung halaman. Kalau Anda datang menemui mereka, kedatangan Anda dan pasukan Muslimin akan merasa aman, akan merasa sejuk. Semua ini akan membawa perdamaian dan kemenangan.
Saya tidak yakin mereka akan merasa kecewa terhadap Anda dan terhadap persetujuan itu, lalu akan bertahan dengan benteng-benteng mereka dan akan meminta bala bantuan dari kota dan dari kaum penindas mereka itu, apalagi Baitulmukadas bagi mereka sangat agung dan tempat ziarah mereka.”
Umar lebih cenderung pada pendapat Ali, dan itu yang diterimanya. Dimintanya orang yang akan berangkat bersama dia segera bersiap-siap, dan ia menyerahkan urusan Madinah di tangan Ali bin Abi Thalib.
(mhy)