Kisah Sikap Umar bin Khattab Menghadapi Kaum Nasrani yang Menolak Membayar Jizyah
loading...
A
A
A
Dalam penaklukan wilayah Syam khususnya Suriah , sebagian kabilah Arab Nasrani menolak digolongkan sebagai kaum zimmi yang harus membayar jizyah. Mereka juga menolak masuk Islam.
"Salah satu kabilah yang menolak itu adalah Banu Taglib," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Jizyah atau jizya adalah pajak per kapita yang wajib dibayar penduduk non-Muslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam. Sebagai imbalannya, pihak non-Muslim yang membayar Jizyah kepada negara dibiarkan untuk mempraktikkan ibadah mereka, untuk menikmati sejumlah kebebasan komunal tertentu, berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan negara atas agresi dari luar, juga pembebasan dari wajib militer (Jihad) dan zakat.
Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap harta, keyakinan, kehormatan, kemuliaan dan perolehan hak-hak sebagai rakyat dalam pemerintahan Islam oleh umat muslim.
Jizyah merupakan bukti perjanjian perdamaian dan perlindungan antara umat muslim yang memenangkan peperangan di suatu negeri yang bukan muslim. Istilah jizyah ada pada Qur'an surat At-Taubah ayat 29.
Haekal mengisahkan Banu Taglib pada awalnya di bawah Romawi melawan pasukan Islam di Kota Hims. Mereka yang kalah sebagian lari ke wilayah Romawi. SedangkanBanu Taqlib bertahan di Jazirah dan tidak ikut lari. Mereka menyerah dan ingin berdamai.
Akan tetapi mereka menolak keinginan pemerintah muslim yang mengharuskan mereka masuk Islam. Mereka mengajukan persoalan ini kepada Amirulmukminin Umar bin Khattab .
Umar membenarkan pendapat mereka yang menolak masuk Islam. Umar bin Khattab membiarkan mereka tetap menjadi Nasrani selama mereka tidak menasranikan anak yang baru lahir dan tidak merintangi orang masuk IsÂlam. Sesudah mereka menerima keputusan Umar itu, ada sebagian mereka yang masuk agama Allah dan yang sebagian lagi tetap bertahan dalam agama Nasrani.
Karena mereka menolak Islam meraka harusnya menjadi kaum zimmi yang harus membayar jizyah. Akan tetapi mereka menolak status itu. Mereka mengirim delegasi ke Madinah - di antara mereka ada yang sudah masuk Islam, dan mereka inilah yang berkata kepada Umar:
"Janganlah mereka lari hanya karena soal pajak. Sebaliknya, lipatgandakanlah sedekah atas mereka yang kita peroleh dari harta mereka, dan itu sama dengan jizyah. Mereka marah jika ada yang menyebut-nyebut soal jizyah. Asal mereka tidak menasranikan anak-anak yang lahir dari keluarga Islam."
Tetapi Umar bersikeras mereka harus membayar jizyah.
Mereka berkata lagi: "Jika Jizyah ini diharuskan kepada kami, kami akan pindah ke Ardurum."
Ardurum dalah wilayah Romawi yang banyak dihuni kabilah Arab.
Kata Umar lagi: "Kalau kalian lari ke Ardurum, akan saya tulis surat (kepada Heraklius, penguasa Romawi) dan kalian akan saya jadikan tawanan."
Mereka berkata: "Ambillah sebagian dari kami tetapi jangan disebut jizyah."
Kata Umar: "Kami akan menamakannya jizyah, dan kalian boleh menamakan apa saja."
Menyaksikan dialog itu makin sengit Ali bin Abi Thalib berkata: "Amirulmukminin, bukankah sedekah dari mereka oleh Sa'd bin Malik sudah dilipatgandakan?"
"Memang," kata Umar, "dan sudah diterimanya dari mereka sebagai pengganti jizyah."
"Salah satu kabilah yang menolak itu adalah Banu Taglib," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Jizyah atau jizya adalah pajak per kapita yang wajib dibayar penduduk non-Muslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam. Sebagai imbalannya, pihak non-Muslim yang membayar Jizyah kepada negara dibiarkan untuk mempraktikkan ibadah mereka, untuk menikmati sejumlah kebebasan komunal tertentu, berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan negara atas agresi dari luar, juga pembebasan dari wajib militer (Jihad) dan zakat.
Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap harta, keyakinan, kehormatan, kemuliaan dan perolehan hak-hak sebagai rakyat dalam pemerintahan Islam oleh umat muslim.
Jizyah merupakan bukti perjanjian perdamaian dan perlindungan antara umat muslim yang memenangkan peperangan di suatu negeri yang bukan muslim. Istilah jizyah ada pada Qur'an surat At-Taubah ayat 29.
Haekal mengisahkan Banu Taglib pada awalnya di bawah Romawi melawan pasukan Islam di Kota Hims. Mereka yang kalah sebagian lari ke wilayah Romawi. SedangkanBanu Taqlib bertahan di Jazirah dan tidak ikut lari. Mereka menyerah dan ingin berdamai.
Akan tetapi mereka menolak keinginan pemerintah muslim yang mengharuskan mereka masuk Islam. Mereka mengajukan persoalan ini kepada Amirulmukminin Umar bin Khattab .
Umar membenarkan pendapat mereka yang menolak masuk Islam. Umar bin Khattab membiarkan mereka tetap menjadi Nasrani selama mereka tidak menasranikan anak yang baru lahir dan tidak merintangi orang masuk IsÂlam. Sesudah mereka menerima keputusan Umar itu, ada sebagian mereka yang masuk agama Allah dan yang sebagian lagi tetap bertahan dalam agama Nasrani.
Karena mereka menolak Islam meraka harusnya menjadi kaum zimmi yang harus membayar jizyah. Akan tetapi mereka menolak status itu. Mereka mengirim delegasi ke Madinah - di antara mereka ada yang sudah masuk Islam, dan mereka inilah yang berkata kepada Umar:
"Janganlah mereka lari hanya karena soal pajak. Sebaliknya, lipatgandakanlah sedekah atas mereka yang kita peroleh dari harta mereka, dan itu sama dengan jizyah. Mereka marah jika ada yang menyebut-nyebut soal jizyah. Asal mereka tidak menasranikan anak-anak yang lahir dari keluarga Islam."
Tetapi Umar bersikeras mereka harus membayar jizyah.
Mereka berkata lagi: "Jika Jizyah ini diharuskan kepada kami, kami akan pindah ke Ardurum."
Ardurum dalah wilayah Romawi yang banyak dihuni kabilah Arab.
Kata Umar lagi: "Kalau kalian lari ke Ardurum, akan saya tulis surat (kepada Heraklius, penguasa Romawi) dan kalian akan saya jadikan tawanan."
Mereka berkata: "Ambillah sebagian dari kami tetapi jangan disebut jizyah."
Kata Umar: "Kami akan menamakannya jizyah, dan kalian boleh menamakan apa saja."
Menyaksikan dialog itu makin sengit Ali bin Abi Thalib berkata: "Amirulmukminin, bukankah sedekah dari mereka oleh Sa'd bin Malik sudah dilipatgandakan?"
"Memang," kata Umar, "dan sudah diterimanya dari mereka sebagai pengganti jizyah."