Kisah Ternodanya Perjanjian Umar bin Khattab: 372 tahun Yerusalem Damai di Bawah Islam
loading...
A
A
A
Selama 372 tahun Yerusalem benar-benar merasakan kedamaian karena menjalankan Perjanjian Umar bin Khattab . Umat Islam, Kristen , dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai di bawah pemerintahan Islam. Begitu Perjanjian Umar ternoda konflik pun pecah.
Kekuasaan Islam atas Yerusalem terjadi setelah meletusnya perang Yarmuk yang dimenangkan umat Muhammad pada bulan Agustus 636.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menceritakan setelah menaklukkan Damaskus, pasukan Islam di bawah komando Abu Ubaidah berperang dengan pasukan Byzantium dalam jumlah besar yang dikirim oleh Heraklius , Kaisar Byzantium.
Perang tersebut dinamakan Perang Yarmuk karena terjadi di sekitaran Sungai Yarmuk. Posisi Islam yang semakin kuat di Syam, membuat Raja Heraklius di Konstantinopel mengirim pasukan dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 150 ribu tentara; sedangkan pasukan Islam pada waktu itu berjumlah 20 ribu tentara.
Mental dan moral pasukan Islam dengan “hidup mulia dan mati syahid” menjadikan pasukan dengan 20 ribu tentara itu memenangkan pertempuran selama enam hari di Yarmuk.
Spencer Tucker dalam bukunya berjudul "Battles that Changed History: An Encyclopedia of World Conflict" menyebut kemenangan Islam di Perang Yarmuk tercatat dalam sejarah, yaitu kemenangan penting dalam sejarah dunia.
Kekalahan di Yarmuk membuat Byzantium tidak dapat melakukan invasi lagi di Syam. Kemenangan Islam di Yarmuk terjadi di bulan Agustus 636. Komandan perang pasukan Byzantium di Yarmuk adalah Theodor Trithirius dan pasukan Islam dipimpin oleh Khalid bin Walid; walaupun secara legalitas posisi jenderal utama adalah Abu Ubaidah.
Dalam perang besar tersebut, Khalid tetap dipercaya sebagai penyusun strategi utama.
Pada bulan November 636 pasukan Islam sampai di Yerusalem. Yerusalem yang berstatus kota suci menjadikan pengamanan Yerusalem tidak sekuat Damaskus, namun tetap dijaga oleh tentara Byzantium.
Kemenangan di Yarmuk membuat Sophronius, pemimpin agama Kristen di Yerusalem, menyusun strategi bertahan. Komandan perang pada saat itu adalah Abu Ubaidah, yang mengedepankan perdamaian. Strategi dalam menaklukkan Yerusalem adalah pengepungan kota.
Pengepungan tersebut akhirnya mendesak Sophronius untuk menyerahkan Yerusalem pada pasukan Islam. Empat bulan setelah pengepungan, Sophronius menyerahkan Yerusalem dan bersedia membayar jizyah.
Penyerahan Yerusalem sangat penting bagi Islam karena berkaitan dengan peristiwa Isra Mikraj Rasulullah di Yerusalem, tepatnya di area Masjid al-Aqsa .
Abu Ubaidah menulis surat kepada Khalifah Umar yang tujuannya adalah penyerahan Yerusalem harus diterima langsung oleh khalifah sebagai pemimpin tertinggi Islam.
Adnan Khan dalam "100 Years of the Middle East" menyebut Khalifah Umar akhirnya sampai di Yerusalem pada bulan April 637. Sebelum menyerahkan Yerusalem, Sophronius meminta kepada Khalifah Umar agar umat Kristen dilindungi dalam beribadah dan dijamin hak-haknya sebagai manusia. Khalifah Umar menyanggupi dan membuat perjanjian damai yang terkenal dengan al-Uhdah al-Umariah atau Perjanjian Umar.
Inti dari perjanjian tersebut adalah Yerusalem merupakan kota yang damai dan setiap orang bebas meyakini dan melaksanakan ritual keagamaannya masing-masing, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi.
Perjanjian Umar tetap terjaga hingga Yerusalem dikuasai oleh Kekhalifahan Fatimiyah pada masa Khalifah Abu Manshur al-Aziz Billah.
Selama 372 tahun, Yerusalem tetap menjunjung tinggi Perjanjian Umar. Umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai di bawah pemerintahan Islam.
Kekuasaan Islam atas Yerusalem terjadi setelah meletusnya perang Yarmuk yang dimenangkan umat Muhammad pada bulan Agustus 636.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menceritakan setelah menaklukkan Damaskus, pasukan Islam di bawah komando Abu Ubaidah berperang dengan pasukan Byzantium dalam jumlah besar yang dikirim oleh Heraklius , Kaisar Byzantium.
Perang tersebut dinamakan Perang Yarmuk karena terjadi di sekitaran Sungai Yarmuk. Posisi Islam yang semakin kuat di Syam, membuat Raja Heraklius di Konstantinopel mengirim pasukan dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 150 ribu tentara; sedangkan pasukan Islam pada waktu itu berjumlah 20 ribu tentara.
Mental dan moral pasukan Islam dengan “hidup mulia dan mati syahid” menjadikan pasukan dengan 20 ribu tentara itu memenangkan pertempuran selama enam hari di Yarmuk.
Spencer Tucker dalam bukunya berjudul "Battles that Changed History: An Encyclopedia of World Conflict" menyebut kemenangan Islam di Perang Yarmuk tercatat dalam sejarah, yaitu kemenangan penting dalam sejarah dunia.
Kekalahan di Yarmuk membuat Byzantium tidak dapat melakukan invasi lagi di Syam. Kemenangan Islam di Yarmuk terjadi di bulan Agustus 636. Komandan perang pasukan Byzantium di Yarmuk adalah Theodor Trithirius dan pasukan Islam dipimpin oleh Khalid bin Walid; walaupun secara legalitas posisi jenderal utama adalah Abu Ubaidah.
Dalam perang besar tersebut, Khalid tetap dipercaya sebagai penyusun strategi utama.
Pada bulan November 636 pasukan Islam sampai di Yerusalem. Yerusalem yang berstatus kota suci menjadikan pengamanan Yerusalem tidak sekuat Damaskus, namun tetap dijaga oleh tentara Byzantium.
Kemenangan di Yarmuk membuat Sophronius, pemimpin agama Kristen di Yerusalem, menyusun strategi bertahan. Komandan perang pada saat itu adalah Abu Ubaidah, yang mengedepankan perdamaian. Strategi dalam menaklukkan Yerusalem adalah pengepungan kota.
Pengepungan tersebut akhirnya mendesak Sophronius untuk menyerahkan Yerusalem pada pasukan Islam. Empat bulan setelah pengepungan, Sophronius menyerahkan Yerusalem dan bersedia membayar jizyah.
Penyerahan Yerusalem sangat penting bagi Islam karena berkaitan dengan peristiwa Isra Mikraj Rasulullah di Yerusalem, tepatnya di area Masjid al-Aqsa .
Abu Ubaidah menulis surat kepada Khalifah Umar yang tujuannya adalah penyerahan Yerusalem harus diterima langsung oleh khalifah sebagai pemimpin tertinggi Islam.
Adnan Khan dalam "100 Years of the Middle East" menyebut Khalifah Umar akhirnya sampai di Yerusalem pada bulan April 637. Sebelum menyerahkan Yerusalem, Sophronius meminta kepada Khalifah Umar agar umat Kristen dilindungi dalam beribadah dan dijamin hak-haknya sebagai manusia. Khalifah Umar menyanggupi dan membuat perjanjian damai yang terkenal dengan al-Uhdah al-Umariah atau Perjanjian Umar.
Inti dari perjanjian tersebut adalah Yerusalem merupakan kota yang damai dan setiap orang bebas meyakini dan melaksanakan ritual keagamaannya masing-masing, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi.
Perjanjian Umar tetap terjaga hingga Yerusalem dikuasai oleh Kekhalifahan Fatimiyah pada masa Khalifah Abu Manshur al-Aziz Billah.
Selama 372 tahun, Yerusalem tetap menjunjung tinggi Perjanjian Umar. Umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai di bawah pemerintahan Islam.