Cerai Halal tapi Dibenci Allah, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq atau cerai .
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan: "Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq." (Riwayat Abu Daud)
"Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq." (Riwayat Abu Daud)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat.
"Yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-istri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan," ujarnya.
Dalam satu pepatah dikatakan: "kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan."
Tetapi firman Allah mengatakan: "Dan jika (terpaksa) kedua suami-istri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya." ( QS an-Nisa' : 130)
Talaq Sebelum Islam
Bukan Islam saja satu-satunya agama yang membenarkan adanya talaq. Bahkan sebelum Islam, talaq sudah merata di dunia, apabila kita mau kecualikan satu umat atau dua umat, yaitu: apabila seorang suami sedang marah kepada istrinya, maka istrinya itu diusir dari rumah dengan tangan hampa, atau tidak ada kekuasaan sedikit pun. Si perempuan tidak ada wewenang untuk membela diri, mendapat ganti atau hak-hak lain.
Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan.
Sedangkan talaq bagi orang-orang Romawi dinilai dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan bercerai.
Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya kekuasaan penuh, tanpa batas (absolut) terhadap istrinya. Sehingga dalam beberapa hal dia dibenarkan membunuh istrinya. Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang berlaku.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan: "Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq." (Riwayat Abu Daud)
"Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq." (Riwayat Abu Daud)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat.
"Yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-istri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan," ujarnya.
Dalam satu pepatah dikatakan: "kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan."
Tetapi firman Allah mengatakan: "Dan jika (terpaksa) kedua suami-istri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya." ( QS an-Nisa' : 130)
Talaq Sebelum Islam
Bukan Islam saja satu-satunya agama yang membenarkan adanya talaq. Bahkan sebelum Islam, talaq sudah merata di dunia, apabila kita mau kecualikan satu umat atau dua umat, yaitu: apabila seorang suami sedang marah kepada istrinya, maka istrinya itu diusir dari rumah dengan tangan hampa, atau tidak ada kekuasaan sedikit pun. Si perempuan tidak ada wewenang untuk membela diri, mendapat ganti atau hak-hak lain.
Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan.
Sedangkan talaq bagi orang-orang Romawi dinilai dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan bercerai.
Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya kekuasaan penuh, tanpa batas (absolut) terhadap istrinya. Sehingga dalam beberapa hal dia dibenarkan membunuh istrinya. Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang berlaku.
(mhy)