Kisah Muhammad bin Wasi', Pilih Dicambuk 300 Kali Ketimbang Dijadikan Hakim

Sabtu, 29 Agustus 2020 - 13:15 WIB
loading...
Kisah Muhammad bin Wasi, Pilih Dicambuk 300 Kali Ketimbang Dijadikan Hakim
Ilustrasi/Ist
A A A
HUBUNGAN Muhammad bin Wasi’ dengan para pemimpin Bani Umayah bukan terbatas dengan Yazid bin Muhallab dan Qutaibah bin Muslim Al-Bahili saja, melainkan meluas kepada para wali dan amir lainnya. Termasuk di antaranya adalah wali Bashrah, Bilal bin Abi Burdah. Banyak peristiwa mengesankan bersama gubernur yang satu ini. ( )

Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan pernah suatu hari Muhammad bin Wasi’ datang kepada amir ini dengan mengenakan jubah dari kain yang kasar. Beliau ditanya, “Mengapa Anda mengenakan kain yang sekasar ini, wahai Abu Abdillah?” Beliau berpura-pura tak mendengar dan tak berkomentar sepatah katapun sehingga wali Bashrah itu bertanya: “Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaan saya wahai Abu Abdillah?” ( )

Muhammad, “Aku tidak suka mengatakan bahwa inilah zuhud, karena berarti aku membanggakan diri. Dan aku benci mengatakannya sebagai kefakiran, karena itu menunjukkan bahwa aku tidak mensyukuri karunia Allah, padahal sesungguhnya aku telah ridha.”

Bilal, “Apakah Anda membutuhkan sesuatu wahai Abu Abdillah?”



Muhammad, “Aku tidak memiliki hajat sehingga perlu meminta kepada orang lain, tapi aku datang untuk hajat saudara muslim. Bila Allah mengizinkan, niscaya Anda akan memberinya dan engkau terpuji karenanya. Bila Dia tidak mengizinkan, niscaya Anda tidak memberikan dan Anda memiliki alasan.”

Bilal, “Akan saya penuhi dengan izin Allah. (kemudian dia menoleh kepada Muhammad dan hartanya), Bagaimana pendapatmu tentang qadha’ dan qadar wahai Abu Abdillah?”

Muhammad, “Wahai amir, Allah tidak akan menanyai hamba-Nya tentang qadha dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia akan bertanya tentang amal mereka.” ( )

Maka terdiamlah wali Bashrah ini karena malu.

Muhammad bin Wasi’ masih berada di sisi gubernur ketika waktu makan siang tiba. Wali Bashrah itu mengajak mengajak beliau untuk makan bersama, tetapi beliau menolaknya dengan berbagai dalih. Hingga Bilal merasa tersinggung dan berakata, “Apakah Anda tidak suka makan makanan kami, wahai Abu Abdillah.”

Beliau berkata, “Jangan berkata begitu wahai amir. Demi Allah bahwa yang baik-baik dari kalian para amir adalah kami cintai daripada anak-anak daripada keluarga kami sendiri.”



Berkali-kali Muhammad bin Wasi’ diminta untuk menjadi qadhi, namun beliau selalu menolak dengan tegas dan terkadang membuat dirinya menghadapi resiko karenanya.”

Beliau pernah dipanggil oleh kepala polisi Bashrah, yaitu Muhammad bin Mundzir. Dia berkata, “Gubernur Irak memerintahkan aku untuk menyerahkan jabatan qadhi kepada Anda.”

Beliau menjawab, “Jauhkan aku dari jabatan itu, semoga Allah memberimu kesejahteraan.”

Permintaan tersebut diulang dua atau tiga kali namun beliau tetap menolaknya.



Karena ditolak, kepala polisi itu marah dan berkata sambil mengancam, “Anda terima jabatan itu atau aku mencambuk Anda 300 kali tanpa ampun!”

Beliau berkata, “Jika engkau melakukan itu berarti Anda bertindak semena-mena. Ketahuilah bahwa disiksa di dunia lebih baik daripada harus disiksa di akhirat.”

Kepala polisi itu menjadi malu, lalu mengizinkan Muhammad bin Wasi’ untuk pulang dengan penuh hormat.

Majelis Muhammad bin Wasi’ di Masjid Bashrah menjadi tujuan utama para penuntut ilmu, pencari hikmah dan kehidupan hati. Sejarah banyak mencatat tentang berita-berita di majelis itu. Sebagai contoh, ketika ada seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berilah wasiat kepadaku.”



Beliau berkata, “Aku wasiatkan kepadaku kepadamu agar menjadi raja di dunia dan akhirat.”

Penanya terkejut dan berkata, “Bagaimana aku bisa mewujudkannya?”

Beliau berkata, “Jangan sekali-kali tamak terhadap isi dunia, niscaya engkau menjadi raja di dunia, sedangkan di akhirat menjadi raja dengan kemenangan atas pahala-pahala yang ada di sisi Allah.”

Contoh lain, ketika ada yang berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku mencintaimu.”

Beliau berkata, “Semoga Allah mencintaimu karena kecintaan itu.” (

Lalu beliau pergi sambil bergumam, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu bila aku dicintai karena Engkau, padahal Engkau murka kepadaku.”

Setiap kali beliau mendengar pujian dan sanjungan orang terhadap beliau karena ketakwaan dan ibadahnya, beliau berkata, “Andai saja perbuatan dosa itu mengeluarkan bau busuk, niscaya tak seorang pun di antara kalian yang sudi mendekatiku.”

Muhammad bin Wasi’ senantiasa mengingatkan murid-muridnya agar selalu berpegang teguh kepada Kitabullah dan hidup di bawah naugan Al-Qur’an. Beliau berkata, “Al-Qur’an adalah taman bagi setiap mukmin, setiap kali dia menunaikan satu bagian darinya berarti dia telah singgah di tamannya.” ( )

Porsi Makan
Beliau menasehatkan pula agar orang-orang mengurangi porsi makannya, karena barangsiapa yang mengurangi porsi makannya niscaya akan tajam pikiran dan pemahamannya, menjadi lembut dan bersih hatinya. Adapun terlalu kenyang dalam makan akan memberatkan seseorang untuk mewujudkan keinginannya.

Derajat takwa yang dimiliki Muhammad bin Wasi’ mencapai puncak yang tinggi. Sebuah kisah menyebutkan bahwa beliau pernah terlihat di pasar untuk menjual keledainya. Orang yang hendak membelinya bertanya, “Apakah Anda telah rela menjualnya kepadaku, wahai syaikh?”

Beliau menjawab, “Kalau saja aku rela untuk diriku pastilah aku tidak akan menjualnya.”

Sepanjang hidup, beliau senantiasa merasa takut akan dosa-dosanya, takut akan diperiksa Rabb-nya. Karena itulah, setiap kali beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdillah?”

Beliau menjawab, “Semakin dekat dengan ajalku namun menjauh dari cita-citaku. Alangkah buruknya yang aku perbuat.” ( )

Ketika beliau melihat penanya keheranan, beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang setiap hari berjalan menuju akhirat?”

Di saat Muhammad bin Wasi’ menderita sakit yang tampaknya akan menyebabkan kematiannya, orang-orang datang berbondong-bondong menjenguk beliau hingga rumahnya penuh sesak dengan orang yang keluar masuk, yang duduk dan berdiri. Ketika melihatnya, Muhammad bin Wasi’ mengeluh kepada orang yang berjaga di sisinya, “Apalah faedah hadirnya mereka bagiku, bila kelak aku dituntut dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Apa gunanya pula mereka bagiku bila kelak aku dimasukkan ke dalam api neraka.”



Setelah itu beliau berdo’a, “Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas segala kondisi dan kejahatan yang aku lakukan, di tempat yang mana aku berbuat dosa di sana, di pintu kejahatan yang aku masuk dan dari kejahatan yang aku keluar daripadanya dan setiap amal buruk yang aku kerjakan, dari perkataan-perkataan buruk yang aku ucapkan dan aku bicarakan. Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas sesuatu itu. Ampunilah aku, aku bertaubat kepada-Mu, maka berilah ampunan untukku sehingga aku dapat menjumpai-Mu dengan selamat sebelum dihisab.” ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3022 seconds (0.1#10.140)