3 Jenis Dusta yang Diperbolehkan Dalam Syariat, Apa Saja?
loading...
A
A
A
Pada dasarnya dusta (bohong) adalah perbuatan yang diharamkan, bahkan termasuk salah satu dosa besar. Namun, pada kondisi tertentu ucapan dusta diperbolehkan oleh syariat.
Ustaz Rikza Maulan , Dai yang juga Dewan Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat menukil sebuah Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim. ( )
عن أُمّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا (رواه مسلم)
Dari Ummu Kultsum bin 'Uqbah bin Abu Mu'aith RA bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Bukanlah termasuk pendusta: orang yang mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan." (HR. Muslim, Hadits No 4717)
( )
Ustaz Rikza Maulan mengatakan, larangan berdusta digambarkan dalam riwayat dari Abu Bakrah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar?" Yaitu tiga perkara, (1) menyekutukan Allah, (2) mendurhakai kedua ibu bapak, dan (3) bersaksi palsu atau kata-kata palsu. Saat itu beliau sedang bersandar lalu duduk. Beliau terus mengulangi sabdanya sehingga kami berkata, 'Semoga beliau berhenti'." (HR. Muslim, Hadits No 126).
Namun ada kondisi-kondisi tertentu dimana perkataan yang mengandung dusta masih diperbolehkan. Imam Az-Zuhri (perawi hadits di atas) mengemukakan:
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: 'Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) dusta dalam peperangan (2) dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, dan (3) dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan). (HR. Muslim No 4717).
( )
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa dusta yang diperbolehkan dalam hadis di atas adalah dusta dalam arti permainan kata (tauriyah). Yaitu menampakkan kepada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun sesungguhnya pernyataan yang diungkap itu adalah benar. ( )
Di dalam Kitab Syarah Muslim, Imam An-Nawawi menyatakan, "Maksud dusta suami kepada istri dan sebaliknya adalah dusta ketika menampakkan cinta kasih dan ketika berjanji pada perkara yang tidak wajib atau sejenisnya. Adapun dusta di antara suami dengan maksud menipu untuk mendapatkan perkara yang bukan haknya, maka dusta seperti ini hukumnya haram berdasarkan ijma' kaum muslim."
Demikian juga dusta untuk mengislah (mendamaikan) dua pihak yang sedang bertikai, misalnya dengan mengatakan, "Si A yang kamu benci, sebenarnya sering mendoakanmu". Ungkapan itu dumaksudkan agar pihak yang bertikai dapat mereda emosinya dan saling bermaafan.
Maqashid atau filosofi dari diperbolehkannya dusta (tauriyah) seperti ini adalah untuk menghindarkan dari mafsadat (kerusakan dan kehancuran). Seperti permusuhan antara sesama kaum muslimin, atau perceraian anatara suami istri, atau merajalelanya kezaliman. Karena jika hal itu terjadi, tentu mudharat dan dampaknya akan lebih besar. Oleh karena itulah dalam syariah menghilangkan kemungkaran lebih diprioritaskan dibandingkan mendatangkan kemanfaatan:
درء المفاسد مقدم من جلب المصالح
"Menghilangkan kemafsadatan harus lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan". ( )
( )
Wallahu Ta'ala A'lam
Ustaz Rikza Maulan , Dai yang juga Dewan Dewan Pengawas Syariah Rumah Zakat menukil sebuah Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim. ( )
عن أُمّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا (رواه مسلم)
Dari Ummu Kultsum bin 'Uqbah bin Abu Mu'aith RA bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Bukanlah termasuk pendusta: orang yang mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan." (HR. Muslim, Hadits No 4717)
( )
Ustaz Rikza Maulan mengatakan, larangan berdusta digambarkan dalam riwayat dari Abu Bakrah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar?" Yaitu tiga perkara, (1) menyekutukan Allah, (2) mendurhakai kedua ibu bapak, dan (3) bersaksi palsu atau kata-kata palsu. Saat itu beliau sedang bersandar lalu duduk. Beliau terus mengulangi sabdanya sehingga kami berkata, 'Semoga beliau berhenti'." (HR. Muslim, Hadits No 126).
Namun ada kondisi-kondisi tertentu dimana perkataan yang mengandung dusta masih diperbolehkan. Imam Az-Zuhri (perawi hadits di atas) mengemukakan:
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: 'Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) dusta dalam peperangan (2) dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, dan (3) dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan). (HR. Muslim No 4717).
( )
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa dusta yang diperbolehkan dalam hadis di atas adalah dusta dalam arti permainan kata (tauriyah). Yaitu menampakkan kepada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun sesungguhnya pernyataan yang diungkap itu adalah benar. ( )
Di dalam Kitab Syarah Muslim, Imam An-Nawawi menyatakan, "Maksud dusta suami kepada istri dan sebaliknya adalah dusta ketika menampakkan cinta kasih dan ketika berjanji pada perkara yang tidak wajib atau sejenisnya. Adapun dusta di antara suami dengan maksud menipu untuk mendapatkan perkara yang bukan haknya, maka dusta seperti ini hukumnya haram berdasarkan ijma' kaum muslim."
Demikian juga dusta untuk mengislah (mendamaikan) dua pihak yang sedang bertikai, misalnya dengan mengatakan, "Si A yang kamu benci, sebenarnya sering mendoakanmu". Ungkapan itu dumaksudkan agar pihak yang bertikai dapat mereda emosinya dan saling bermaafan.
Maqashid atau filosofi dari diperbolehkannya dusta (tauriyah) seperti ini adalah untuk menghindarkan dari mafsadat (kerusakan dan kehancuran). Seperti permusuhan antara sesama kaum muslimin, atau perceraian anatara suami istri, atau merajalelanya kezaliman. Karena jika hal itu terjadi, tentu mudharat dan dampaknya akan lebih besar. Oleh karena itulah dalam syariah menghilangkan kemungkaran lebih diprioritaskan dibandingkan mendatangkan kemanfaatan:
درء المفاسد مقدم من جلب المصالح
"Menghilangkan kemafsadatan harus lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan". ( )
( )
Wallahu Ta'ala A'lam
(rhs)