Kisah Mengharukan Detik-Detik Jelang Wafatnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz
loading...
A
A
A
TATKALA menjelang wafat, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggalkan harta kepada belasan anaknya. Kala itu, masuklah Maslamah bin Abdul Malik di kamar beliau. Ia mendapati Amirul Mukminan yang tergeletak lemah di tempat tidurnya. Maslamah adalah panglima perang yang diberi mandat oleh khalifah pendahulu Umar bin Abdul Aziz, yakni Sulaiman bin Abdul Malik. Hari itu ia datang karena dipanggil Khalifah. (
)
Umar bin Abdul Aziz meminta Maslamah menemaninya saat dirinya menghadapi kematian. Umar berpesan supaya Maslamah sudi memandikannya, mengkafani, mengantar jasadnya sampai kubur, dan sekaligus membaringkannya di liang lahad. Maslamah menyanggupinya. Ditegar-tegarkan hatinya.
Amirul Mukminin Memandang maslamah sejenak, lantas berkata, “Lihatlah, wahai Maslamah, ke rumah seperti apa engkau akan menempatkan diriku dan dengan keadaan seperti apa dunia menyerahkan diriku ke rumah tempat kembali ku.” ( )
Setelah sekian lama tidak berkata-kata Maslamah bertutur, “Berwasiatlah, wahai Amirul mukminin!”
“Aku tidak punya harta yang dapat aku wasiatkan,” jawab Umar.
Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (Perjalanan Hidup Umar bin Abdul Aziz) menceritakan bagaimana Maslamah meminta Amirul Mukminin untuk menyampaikan wasiat. “Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda,” ujar Maslamah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak langsung menjawab usul Maslamah itu. “Tolong dudukkanlah saya!” pintanya, begitu Maslamah selesai berbicara. (Baca juga: Kisah Umar Bin Abdul Aziz Ketika Menahan Marah )
“Sungguh aku mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan hak mereka.”
Adapun yang kau katakan, “alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda (untuk menanggung) anak-anak Anda”, maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang saleh.” ( )
“Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu di antara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang saleh dan bertakwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada Allah.”
Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan. Begitu melihat mereka meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” ( )
Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka.”
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bila kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian…”
Lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata: “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
“Apakah itu wahai Maslamah?” tanya Khalifah.
“Saya memiliki 300.000 dinar…saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah untuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki,” jawab Maslamah.
“Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?” tanya Khalifah lagi.
“Apakah itu wahai amirul mukminin?”
“Engkau kembalikan dari siapa barang itu diambil, karena kamu tidak memiliki atas barang tersebut,” ujarnya.
Maka meneteslan air mata Maslamah seraya berkata, “Semoga Allah merahmati Anda wahai amirul mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Imam adz Dzahabi dalam Kitab Siyar A’lam an Nubala’ menyebutkan yang dimaksud Maslamah dengan melunakan hatinya, mungkin adalah kejadian suatu pagi seusai salat shubuh yang tak pernah dilupakannya.
Baca juga: Partai Amien Rais Mau Besar Harus Rebut Pemilih PAN
Pagi itu setelah salat berjamaah, ia mengunjungi Umar bin Abdul Aziz. Maslamah dipersilahkan masuk. Di rumah itu tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Tak lama kemudian seorang budak wanita datang dengan membawa satu nampan kurma, makanan kesukaan Umar. Setelah budak itu kembali ke belakang, Umar mengambil segenggam kurma, lantas bertanya, “Wahai Maslamah, menurutmu, jika seorang makan segenggam kurma ini, kemudian minum air, cukupkah itu baginya?”
Umar bin Abdul Aziz meminta Maslamah menemaninya saat dirinya menghadapi kematian. Umar berpesan supaya Maslamah sudi memandikannya, mengkafani, mengantar jasadnya sampai kubur, dan sekaligus membaringkannya di liang lahad. Maslamah menyanggupinya. Ditegar-tegarkan hatinya.
Amirul Mukminin Memandang maslamah sejenak, lantas berkata, “Lihatlah, wahai Maslamah, ke rumah seperti apa engkau akan menempatkan diriku dan dengan keadaan seperti apa dunia menyerahkan diriku ke rumah tempat kembali ku.” ( )
Setelah sekian lama tidak berkata-kata Maslamah bertutur, “Berwasiatlah, wahai Amirul mukminin!”
“Aku tidak punya harta yang dapat aku wasiatkan,” jawab Umar.
Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya “Siirah Umar bin Abdul Aziz” (Perjalanan Hidup Umar bin Abdul Aziz) menceritakan bagaimana Maslamah meminta Amirul Mukminin untuk menyampaikan wasiat. “Wahai amirul mukminin sesungguhnya Anda melarang anak-anak Anda mendapatkan harta yang ada ini. Maka alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda,” ujar Maslamah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak langsung menjawab usul Maslamah itu. “Tolong dudukkanlah saya!” pintanya, begitu Maslamah selesai berbicara. (Baca juga: Kisah Umar Bin Abdul Aziz Ketika Menahan Marah )
“Sungguh aku mendengar apa yang Anda katakan wahai Maslamah, adapun perkataanmu bahwa saya menghalangi anak-anak untuk mendapat bagian harta, maka sebenarnya demi Allah aku tidak menghalangi sesuatu yang menjadi hak mereka. Namun saya tidak berani memberikan harta yang memang bukan hak mereka.”
Adapun yang kau katakan, “alangkah baiknya jika Anda mewasiatkan kepadaku atau orang yang Anda percaya di antara keluarga Anda (untuk menanggung) anak-anak Anda”, maka sesungguhnya wasiatku untuk anak-anakku hanyalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dengan benar, Dia-lah yang melindungi orang-orang saleh.” ( )
“Ketahuilah wahai Maslamah! Bahwa anak-anakku hanyalah satu di antara dua kemungkinan, apakah dia seorang yang saleh dan bertakwa sehingga Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya dan Dia menjadikan jalan keluar bagi kesulitan mereka. Ataukah dia anak durhaka yang berkubang dengan maksiat, sedangkan sekali-kali saya tidak mau menjadi orang yang membantu mereka dengan harta untuk bermaksiat kepada Allah.”
Setelah itu beliau berkata, “Panggillah anak-anakku kemari!”
Maka dipanggillah anak-anak amirul mukminin yang berjumlah belasan. Begitu melihat mereka meneteslah air mata beliau seraya berkata, “Aku tinggalkan mereka dalam keadaan miskin tak memiliki apa-apa.” ( )
Beliau menangis tanpa bersuara kemudian menoleh ke arah mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku, aku telah meninggalkan kepada kalian kebaikan yang banyak. Sesungguhnya ketika kalian melewati seorang muslim atau ahli dzimmah mereka melihat bahwa kalian memiliki hak atas mereka.”
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya di hadapan kalian terpampang dua pilihan. Apakah kalian hidup berkecukupan namun ayahmu masuk neraka, ataukah kalian dalam keadaan fakir namun ayahmu masuk surga. Saya percaya bila kalian lebih memilih jika ayah kalian selamat dari neraka daripada kalian hidup kaya raya.”
Beliau memperhatikan mereka dengan pandangan kasih sayang seraya berkata, “Berdirilah kalian, semoga Allah menjaga kalian, berdirilah kalian, semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kalian…”
Lalu Maslamah menoleh kepada beliau dan berkata: “Saya memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin!”
“Apakah itu wahai Maslamah?” tanya Khalifah.
“Saya memiliki 300.000 dinar…saya ingin menghadiahkan kepada Anda lalu bagilah untuk mereka, atau sedekahkanlah jika Anda menghendaki,” jawab Maslamah.
“Apakah engkau ingin yang lebih baik lagi dari usulmu itu wahai Maslamah?” tanya Khalifah lagi.
“Apakah itu wahai amirul mukminin?”
“Engkau kembalikan dari siapa barang itu diambil, karena kamu tidak memiliki atas barang tersebut,” ujarnya.
Maka meneteslan air mata Maslamah seraya berkata, “Semoga Allah merahmati Anda wahai amirul mukminin tatkala hidup ataupun sesudah meninggal… sungguh Anda melunakkan hati yang keras di antara kami, mengingatkan yang lupa di antara kami, Anda akan senantiasa menjadi peringatan bagi kami.”
Imam adz Dzahabi dalam Kitab Siyar A’lam an Nubala’ menyebutkan yang dimaksud Maslamah dengan melunakan hatinya, mungkin adalah kejadian suatu pagi seusai salat shubuh yang tak pernah dilupakannya.
Baca juga: Partai Amien Rais Mau Besar Harus Rebut Pemilih PAN
Pagi itu setelah salat berjamaah, ia mengunjungi Umar bin Abdul Aziz. Maslamah dipersilahkan masuk. Di rumah itu tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Tak lama kemudian seorang budak wanita datang dengan membawa satu nampan kurma, makanan kesukaan Umar. Setelah budak itu kembali ke belakang, Umar mengambil segenggam kurma, lantas bertanya, “Wahai Maslamah, menurutmu, jika seorang makan segenggam kurma ini, kemudian minum air, cukupkah itu baginya?”