Polemik Pernikahan Ikrimah dengan Perempuan yang Pernah Ditolak Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Tiba di Madinah, Abu Usaid menempatkan Asma’ di perkampungan Bani Sa’idah. Para wanita Bani Sa’idah berdatangan menemui Asma’, mengucapkan selamat datang kepadanya.
Sekembali dari sana, mereka ramai memperbincangkan kecantikan Asma’ yang amat memesona. Dalam sekejap, tersebarlah berita kedatangan Asma’ sekaligus kemolekannya ke seluruh penjuru kota Madinah.
Berita itu didengar pula oleh ummahatul mukminin. Mereka pun mendatangi Asma’. Kemudian salah seorang dari mereka mengatakan kepada Asma’, “Kalau nanti Rasulullah mendekatimu, ucapkanlah, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’.”
Sementara itu, Abu Usaid memberitahukan kedatangannya bersama Asma’ kepada Rasulullah. Beliau saat itu sedang berada di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf.
“Wahai Rasulullah, aku telah datang membawa keluargamu,” Abu Usaid mengabarkan.
Rasulullah keluar diiringi Abu Usaid. Rasulullah masuk menemui Asma’. Beliau pun menutup pintu dan menurunkan satir. Lalu beliau berlutut sembari mengulurkan tangannya kepada Asma’.
“Aku berlindung kepada Allah darimu,” ucap Asma’ tiba-tiba.
Rasulullah segera menahan dirinya dari Asma’. “Sesungguhnya, engkau telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu,” kata beliau.
Beliau keluar kembali menemui Abu Usaid, “Wahai Abu Usaid, bawalah dia kembali kepada keluarganya! Berikan kepadanya dua helai pakaian katun.”
Kembalilah Asma’ bintu an-Nu’man ke tengah keluarganya. Karena penyesalannya, ia selalu menyebut dirinya asy-Syaqiyah, wanita yang celaka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Ishabah menyebut manakala Rasulullah mengetahui apa yang membuat Asma’ mengatakan ucapan itu, beliau mengatakan, “Mereka itu seperti wanita-wanita yang ada di masa Yusuf. Tipu daya mereka amatlah besar.”
Ketetapan takdir memang telah mendahului bahwa Asma’ tidaklah termasuk dalam deretan ummahatul mukminin.
Sikap Abu Bakar
Gadis itu dibawa kembali oleh ayahnya ke Aden. Oleh karena itu, ada sebagian anggota pasukannya yang menduga bahwa Ikrimah sebaiknya menolak saja seperti yang dilakukan Rasulullah, supaya dalam hal ini dapat mengambil teladan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.
Tetapi Abu Bakar menolak pendapat ini, dan dia tak keberatan dengan perkawinan Ikrimah itu. Selanjutnya Ikrimah menetap di Madinah bersama istrinya. Juga pasukannya sudah kembali berkumpul di Madinah, kota yang ditinggalkannya sejak pecah Perang Riddah.
Khalifah Abu Bakar melayangkan pandangannya ke seluruh Semenanjung yang ada di sekitarnya itu. Teringat ia hari pembaiatannya dulu. Air mata bercucuran karena rasa syukur atas kenikmatan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, kenikmatan dalam bentuk kemenangan, kenikmatan dengan memperkuat agama yang benar ini dengan tekad dan keteguhan hatinya.
Bagaimanakah Madinah ketika itu, Madinah yang telah berjaya dengan kemenangannya, yang berdaulat di seluruh kawasan Arab, — dibandingkan dengan Madinah yang kemudian dilanda oleh orang-orang Arab yang bergejolak dan memberontak dan berusaha hendak mengepungnya setelah Rasulullah wafat!
Apa pula yang akan membuat Abu Bakar membanggakan diri padahal ia ingat firman Allah kepada RasulNya: "...dan bukanlah kau yang melempar ketika kau melempar (segenggam debu), tetapi Allah Yang melempar..." (Qur'an, 8. 17).
Gerangan apakah yang akan terjadi esok?! Betapa kesatuan agama Allah ini kini bertambah kuat, bertambah agung dan tersebar luas?! Inilah yang menjadi arah tujuan politik Khalifah Abu Bakar.
Dan ini pula yang dipikirkan Abu Bakar sejak ia merasa yakin dengan kemenangan itu. Lama sekali ia berpikir demikian sejak para jenderal dan pasukannya itu masih bertugas menumpas sisa-sisa kaum murtad serta pengaruhnya di daerah selatan. Bila Allah hendak membuktikan kekuasaan-Nya, maka kedaulatan Islam itulah yang lahir dari hasil pemikiran dan perjuangan.
Sekembali dari sana, mereka ramai memperbincangkan kecantikan Asma’ yang amat memesona. Dalam sekejap, tersebarlah berita kedatangan Asma’ sekaligus kemolekannya ke seluruh penjuru kota Madinah.
Berita itu didengar pula oleh ummahatul mukminin. Mereka pun mendatangi Asma’. Kemudian salah seorang dari mereka mengatakan kepada Asma’, “Kalau nanti Rasulullah mendekatimu, ucapkanlah, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’.”
Sementara itu, Abu Usaid memberitahukan kedatangannya bersama Asma’ kepada Rasulullah. Beliau saat itu sedang berada di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf.
“Wahai Rasulullah, aku telah datang membawa keluargamu,” Abu Usaid mengabarkan.
Rasulullah keluar diiringi Abu Usaid. Rasulullah masuk menemui Asma’. Beliau pun menutup pintu dan menurunkan satir. Lalu beliau berlutut sembari mengulurkan tangannya kepada Asma’.
“Aku berlindung kepada Allah darimu,” ucap Asma’ tiba-tiba.
Rasulullah segera menahan dirinya dari Asma’. “Sesungguhnya, engkau telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu,” kata beliau.
Beliau keluar kembali menemui Abu Usaid, “Wahai Abu Usaid, bawalah dia kembali kepada keluarganya! Berikan kepadanya dua helai pakaian katun.”
Kembalilah Asma’ bintu an-Nu’man ke tengah keluarganya. Karena penyesalannya, ia selalu menyebut dirinya asy-Syaqiyah, wanita yang celaka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Ishabah menyebut manakala Rasulullah mengetahui apa yang membuat Asma’ mengatakan ucapan itu, beliau mengatakan, “Mereka itu seperti wanita-wanita yang ada di masa Yusuf. Tipu daya mereka amatlah besar.”
Baca Juga
Sikap Abu Bakar
Gadis itu dibawa kembali oleh ayahnya ke Aden. Oleh karena itu, ada sebagian anggota pasukannya yang menduga bahwa Ikrimah sebaiknya menolak saja seperti yang dilakukan Rasulullah, supaya dalam hal ini dapat mengambil teladan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.
Tetapi Abu Bakar menolak pendapat ini, dan dia tak keberatan dengan perkawinan Ikrimah itu. Selanjutnya Ikrimah menetap di Madinah bersama istrinya. Juga pasukannya sudah kembali berkumpul di Madinah, kota yang ditinggalkannya sejak pecah Perang Riddah.
Khalifah Abu Bakar melayangkan pandangannya ke seluruh Semenanjung yang ada di sekitarnya itu. Teringat ia hari pembaiatannya dulu. Air mata bercucuran karena rasa syukur atas kenikmatan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, kenikmatan dalam bentuk kemenangan, kenikmatan dengan memperkuat agama yang benar ini dengan tekad dan keteguhan hatinya.
Bagaimanakah Madinah ketika itu, Madinah yang telah berjaya dengan kemenangannya, yang berdaulat di seluruh kawasan Arab, — dibandingkan dengan Madinah yang kemudian dilanda oleh orang-orang Arab yang bergejolak dan memberontak dan berusaha hendak mengepungnya setelah Rasulullah wafat!
Apa pula yang akan membuat Abu Bakar membanggakan diri padahal ia ingat firman Allah kepada RasulNya: "...dan bukanlah kau yang melempar ketika kau melempar (segenggam debu), tetapi Allah Yang melempar..." (Qur'an, 8. 17).
Gerangan apakah yang akan terjadi esok?! Betapa kesatuan agama Allah ini kini bertambah kuat, bertambah agung dan tersebar luas?! Inilah yang menjadi arah tujuan politik Khalifah Abu Bakar.
Dan ini pula yang dipikirkan Abu Bakar sejak ia merasa yakin dengan kemenangan itu. Lama sekali ia berpikir demikian sejak para jenderal dan pasukannya itu masih bertugas menumpas sisa-sisa kaum murtad serta pengaruhnya di daerah selatan. Bila Allah hendak membuktikan kekuasaan-Nya, maka kedaulatan Islam itulah yang lahir dari hasil pemikiran dan perjuangan.