Polemik Pernikahan Ikrimah dengan Perempuan yang Pernah Ditolak Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
MUHAJIR dan Ikrimah masih tinggal di Hadramaut dan Kindah sampai keadaan benar-benar aman dan tenteram. Dan dengan ditumpasnya pemberontakan di negeri-negeri Arab itu Perang Riddah pun berakhir sudah. Langkah berikutnya mengadakan konsolidasi politik, yang setelah itu masih berlangsung lama. Tetapi kemudian timbul kekeruhan. (
)
Langkah Muhajir pun tidak pula kurang tegasnya dalam menumpas pembangkangan di kawasan ini, dibanding dengan di Yaman . Ia sudah mengikis habis kaum murtad itu, dan menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada kaum pemberontak. Sebagai contoh misalnya dua orang penyanyi perempuan; yang seorang mencaci maki Rasulullah dalam nyanyiannya, dan yang seorang lagi mengejek kaum Muslimin. ( )
Muhajir memerintahkan dipotongnya kedua tangan dan mencabut dua gigi depan kedua perempuan itu.
Khalifah Abu Bakar menulis surat mencela perbuatannya itu sebagai tindakan yang salah. Untuk yang pertama sebaiknya dibunuh, karena hukum yang berlaku bagi para nabi tidak sama dengan yang berlaku terhadap yang lain, sedang untuk yang kedua masih dapat dimaafkan kalau dia seorang zimmi (bukan Muslim yang tinggal dalam kawasan Islam).
"Bagaimana kau memaafkan perbuatan syirik padahal lebih berat. Bersikap tenanglah. Jauhilah penganiayaan, karena itu merupakan perbuatan dosa yang harus dihindari kecuali bila menyangkut hukum kisas," tulis Khalifah Abu Bakar mengingatkan. ( )
Apa yang diperbuat Muhajir terhadap kedua penyanyi itu diperbandingkannya dengan yang diperbuatnya terhadap para pembangkang dan kaum murtad .
Khalifah Abu Bakar meminta Muhajir memilih untuk menjalankan pemerintahan di Hadramaut atau di Yaman. Muhajir memilih Yaman . la berangkat ke San'a dan tinggal di sana bersama Fairuz.
Sedangkan Ziyad bin Labid tetap di Hadramaut. Kebalikannya Ikrimah yang sudah bersiap-siap akan kembali ke Madinah, tak jadi ia berangkat. Malah ia kawin dengan putri Nu'man bin al-Jaun bernama Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah.
Polemik
Rupanya kemarahan Khalifah Abu Bakar kepada Khalid bin Walid dulu ketika mengawini Umm Tamim dan kemudian mengawini putri Mujja'ah yang jelas menyalahi adat istiadat orang Arab, tidak menjadi rintangan bagi Ikrimah. Hanya saja, perkawinan Ikrimah dengan gadis ini telah juga menimbulkan masalah baru: anggota-anggota pasukannya menggerutu, yang berkesudahan dengan diserahkannya persoalan itu kemudian kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengambil keputusan. ( )
Sebenamya Ikrimah kawin dengan putri Nu'man ini ketika ia masih di Aden kemudian dibawa pindah ke Ma'rib. Pasukannya berselisih pendapat mengenai gadis itu. Ada yang mengatakan: Biarkan saja, dia bukan perempuan yang sepatutnya buat dia. Yang lain berkata: Jangan dibiarkan! Kemudian cerita ini diteruskan kepada Muhajir. ( )
Muhajir menulis surat kepada Khalifah Abu Bakar meminta pendapatnya mengenai masalah ini. Tetapi Khalifah Abu Bakar berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan Ikrimah itu tak perlu dirisaukan. Nu'man bin al-Jaun dulu pernah datang kepada Rasulullah dan menginginkan ia menikah dengan putrinya itu. Maka putrinya itu diperindah dan dibawa kepada Nabi. Dan yang lebih menarik lagi gadis itu tak pernah mengeluh sakit. Tetapi ditampik oleh Rasulullah. ( )
Tentang Umaimah
Ada yang menyebut nama Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah sebenarnya adalah Asma’ bintu an-Nu’man. Pada tahun sembilan hijriah, datang an-Nu’man bin Abil Jaun ke Madinah. Dia menghadap Rasulullah untuk berislam.
Pada kesempatan itu, ia menawarkan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, maukah engkau kunikahkan dengan seorang janda tercantik di kalangan Arab? Dahulu dia ini istri anak pamannya, namun suaminya meninggal. Sekarang dia menjanda dan sangat ingin menjadi istrimu.”
Rasulullah menyetujui. Bulan Rabiul Awwal tahun sembilan hijriah, menikahlah beliau dengan Asma’ bintu an-Nu’man bin Abil Jaun ibnul Aswad ibnul Harits bin Syarahil ibnul Jaun bin Akil al-Murar al-Kindiyah. Waktu itu, Asma’ masih ada di kampungnya.
Beliau serahkan mahar sebesar 12¼ uqiyah.
“Wahai Rasulullah, jangan kau berikan mahar yang terlampau sedikit kepadanya,” pinta an-Nu’man.
“Aku tak pernah memberikan mahar kepada satu pun dari istriku lebih dari itu, dan aku juga takkan meminta mahar untuk putri-putriku lebih dari itu,” jawab Rasulullah.
An-Nu’man menyetujui. Setelah itu dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, utuslah orang untuk menemui istrimu dan membawanya kemari. Nanti aku akan menyertai utusanmu itu.”
Rasulullah mengutus Abu Usaid as-Sa’idi disertai an-Nu’man bin Abil Jaun. Asma’ sedang berada di rumahnya ketika mereka berdua tiba. Asma’ mempersilakan masuk. Saat itu telah turun ayat hijab.
Abu Usaid pun segera menjelaskan, “Sesungguhnya, istri-istri Rasulullah tak pernah dilihat oleh seorang lelaki pun.”
“Harus ada hijab antara engkau dan laki-laki yang berbicara denganmu, kecuali orang yang memiliki hubungan mahram denganmu,” lanjut Abu Usaid.
Asma’ pun lalu berhijab dari lelaki yang bukan mahramnya.
Abu Usaid tinggal di kampung Asma’ selama tiga hari. Setelah itu, dia mulai bersiap membawa Asma’ kepada Rasulullah. Dipasangnya sekedup di atas untanya. Di atas punggung unta itu, Asma’ bertolak menuju Madinah.
Tiba di Madinah, Abu Usaid menempatkan Asma’ di perkampungan Bani Sa’idah. Para wanita Bani Sa’idah berdatangan menemui Asma’, mengucapkan selamat datang kepadanya.
Sekembali dari sana, mereka ramai memperbincangkan kecantikan Asma’ yang amat memesona. Dalam sekejap, tersebarlah berita kedatangan Asma’ sekaligus kemolekannya ke seluruh penjuru kota Madinah.
Berita itu didengar pula oleh ummahatul mukminin. Mereka pun mendatangi Asma’. Kemudian salah seorang dari mereka mengatakan kepada Asma’, “Kalau nanti Rasulullah mendekatimu, ucapkanlah, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’.”
Sementara itu, Abu Usaid memberitahukan kedatangannya bersama Asma’ kepada Rasulullah. Beliau saat itu sedang berada di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf.
“Wahai Rasulullah, aku telah datang membawa keluargamu,” Abu Usaid mengabarkan.
Rasulullah keluar diiringi Abu Usaid. Rasulullah masuk menemui Asma’. Beliau pun menutup pintu dan menurunkan satir. Lalu beliau berlutut sembari mengulurkan tangannya kepada Asma’.
“Aku berlindung kepada Allah darimu,” ucap Asma’ tiba-tiba.
Rasulullah segera menahan dirinya dari Asma’. “Sesungguhnya, engkau telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu,” kata beliau.
Beliau keluar kembali menemui Abu Usaid, “Wahai Abu Usaid, bawalah dia kembali kepada keluarganya! Berikan kepadanya dua helai pakaian katun.”
Kembalilah Asma’ bintu an-Nu’man ke tengah keluarganya. Karena penyesalannya, ia selalu menyebut dirinya asy-Syaqiyah, wanita yang celaka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Ishabah menyebut manakala Rasulullah mengetahui apa yang membuat Asma’ mengatakan ucapan itu, beliau mengatakan, “Mereka itu seperti wanita-wanita yang ada di masa Yusuf. Tipu daya mereka amatlah besar.”
Ketetapan takdir memang telah mendahului bahwa Asma’ tidaklah termasuk dalam deretan ummahatul mukminin.
Sikap Abu Bakar
Gadis itu dibawa kembali oleh ayahnya ke Aden. Oleh karena itu, ada sebagian anggota pasukannya yang menduga bahwa Ikrimah sebaiknya menolak saja seperti yang dilakukan Rasulullah, supaya dalam hal ini dapat mengambil teladan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.
Tetapi Abu Bakar menolak pendapat ini, dan dia tak keberatan dengan perkawinan Ikrimah itu. Selanjutnya Ikrimah menetap di Madinah bersama istrinya. Juga pasukannya sudah kembali berkumpul di Madinah, kota yang ditinggalkannya sejak pecah Perang Riddah.
Khalifah Abu Bakar melayangkan pandangannya ke seluruh Semenanjung yang ada di sekitarnya itu. Teringat ia hari pembaiatannya dulu. Air mata bercucuran karena rasa syukur atas kenikmatan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, kenikmatan dalam bentuk kemenangan, kenikmatan dengan memperkuat agama yang benar ini dengan tekad dan keteguhan hatinya.
Bagaimanakah Madinah ketika itu, Madinah yang telah berjaya dengan kemenangannya, yang berdaulat di seluruh kawasan Arab, — dibandingkan dengan Madinah yang kemudian dilanda oleh orang-orang Arab yang bergejolak dan memberontak dan berusaha hendak mengepungnya setelah Rasulullah wafat!
Apa pula yang akan membuat Abu Bakar membanggakan diri padahal ia ingat firman Allah kepada RasulNya: "...dan bukanlah kau yang melempar ketika kau melempar (segenggam debu), tetapi Allah Yang melempar..." (Qur'an, 8. 17).
Gerangan apakah yang akan terjadi esok?! Betapa kesatuan agama Allah ini kini bertambah kuat, bertambah agung dan tersebar luas?! Inilah yang menjadi arah tujuan politik Khalifah Abu Bakar.
Dan ini pula yang dipikirkan Abu Bakar sejak ia merasa yakin dengan kemenangan itu. Lama sekali ia berpikir demikian sejak para jenderal dan pasukannya itu masih bertugas menumpas sisa-sisa kaum murtad serta pengaruhnya di daerah selatan. Bila Allah hendak membuktikan kekuasaan-Nya, maka kedaulatan Islam itulah yang lahir dari hasil pemikiran dan perjuangan.
Langkah Muhajir pun tidak pula kurang tegasnya dalam menumpas pembangkangan di kawasan ini, dibanding dengan di Yaman . Ia sudah mengikis habis kaum murtad itu, dan menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada kaum pemberontak. Sebagai contoh misalnya dua orang penyanyi perempuan; yang seorang mencaci maki Rasulullah dalam nyanyiannya, dan yang seorang lagi mengejek kaum Muslimin. ( )
Muhajir memerintahkan dipotongnya kedua tangan dan mencabut dua gigi depan kedua perempuan itu.
Khalifah Abu Bakar menulis surat mencela perbuatannya itu sebagai tindakan yang salah. Untuk yang pertama sebaiknya dibunuh, karena hukum yang berlaku bagi para nabi tidak sama dengan yang berlaku terhadap yang lain, sedang untuk yang kedua masih dapat dimaafkan kalau dia seorang zimmi (bukan Muslim yang tinggal dalam kawasan Islam).
"Bagaimana kau memaafkan perbuatan syirik padahal lebih berat. Bersikap tenanglah. Jauhilah penganiayaan, karena itu merupakan perbuatan dosa yang harus dihindari kecuali bila menyangkut hukum kisas," tulis Khalifah Abu Bakar mengingatkan. ( )
Apa yang diperbuat Muhajir terhadap kedua penyanyi itu diperbandingkannya dengan yang diperbuatnya terhadap para pembangkang dan kaum murtad .
Khalifah Abu Bakar meminta Muhajir memilih untuk menjalankan pemerintahan di Hadramaut atau di Yaman. Muhajir memilih Yaman . la berangkat ke San'a dan tinggal di sana bersama Fairuz.
Sedangkan Ziyad bin Labid tetap di Hadramaut. Kebalikannya Ikrimah yang sudah bersiap-siap akan kembali ke Madinah, tak jadi ia berangkat. Malah ia kawin dengan putri Nu'man bin al-Jaun bernama Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah.
Polemik
Rupanya kemarahan Khalifah Abu Bakar kepada Khalid bin Walid dulu ketika mengawini Umm Tamim dan kemudian mengawini putri Mujja'ah yang jelas menyalahi adat istiadat orang Arab, tidak menjadi rintangan bagi Ikrimah. Hanya saja, perkawinan Ikrimah dengan gadis ini telah juga menimbulkan masalah baru: anggota-anggota pasukannya menggerutu, yang berkesudahan dengan diserahkannya persoalan itu kemudian kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengambil keputusan. ( )
Sebenamya Ikrimah kawin dengan putri Nu'man ini ketika ia masih di Aden kemudian dibawa pindah ke Ma'rib. Pasukannya berselisih pendapat mengenai gadis itu. Ada yang mengatakan: Biarkan saja, dia bukan perempuan yang sepatutnya buat dia. Yang lain berkata: Jangan dibiarkan! Kemudian cerita ini diteruskan kepada Muhajir. ( )
Muhajir menulis surat kepada Khalifah Abu Bakar meminta pendapatnya mengenai masalah ini. Tetapi Khalifah Abu Bakar berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan Ikrimah itu tak perlu dirisaukan. Nu'man bin al-Jaun dulu pernah datang kepada Rasulullah dan menginginkan ia menikah dengan putrinya itu. Maka putrinya itu diperindah dan dibawa kepada Nabi. Dan yang lebih menarik lagi gadis itu tak pernah mengeluh sakit. Tetapi ditampik oleh Rasulullah. ( )
Tentang Umaimah
Ada yang menyebut nama Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah sebenarnya adalah Asma’ bintu an-Nu’man. Pada tahun sembilan hijriah, datang an-Nu’man bin Abil Jaun ke Madinah. Dia menghadap Rasulullah untuk berislam.
Pada kesempatan itu, ia menawarkan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, maukah engkau kunikahkan dengan seorang janda tercantik di kalangan Arab? Dahulu dia ini istri anak pamannya, namun suaminya meninggal. Sekarang dia menjanda dan sangat ingin menjadi istrimu.”
Rasulullah menyetujui. Bulan Rabiul Awwal tahun sembilan hijriah, menikahlah beliau dengan Asma’ bintu an-Nu’man bin Abil Jaun ibnul Aswad ibnul Harits bin Syarahil ibnul Jaun bin Akil al-Murar al-Kindiyah. Waktu itu, Asma’ masih ada di kampungnya.
Beliau serahkan mahar sebesar 12¼ uqiyah.
“Wahai Rasulullah, jangan kau berikan mahar yang terlampau sedikit kepadanya,” pinta an-Nu’man.
“Aku tak pernah memberikan mahar kepada satu pun dari istriku lebih dari itu, dan aku juga takkan meminta mahar untuk putri-putriku lebih dari itu,” jawab Rasulullah.
An-Nu’man menyetujui. Setelah itu dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, utuslah orang untuk menemui istrimu dan membawanya kemari. Nanti aku akan menyertai utusanmu itu.”
Rasulullah mengutus Abu Usaid as-Sa’idi disertai an-Nu’man bin Abil Jaun. Asma’ sedang berada di rumahnya ketika mereka berdua tiba. Asma’ mempersilakan masuk. Saat itu telah turun ayat hijab.
Abu Usaid pun segera menjelaskan, “Sesungguhnya, istri-istri Rasulullah tak pernah dilihat oleh seorang lelaki pun.”
“Harus ada hijab antara engkau dan laki-laki yang berbicara denganmu, kecuali orang yang memiliki hubungan mahram denganmu,” lanjut Abu Usaid.
Asma’ pun lalu berhijab dari lelaki yang bukan mahramnya.
Abu Usaid tinggal di kampung Asma’ selama tiga hari. Setelah itu, dia mulai bersiap membawa Asma’ kepada Rasulullah. Dipasangnya sekedup di atas untanya. Di atas punggung unta itu, Asma’ bertolak menuju Madinah.
Tiba di Madinah, Abu Usaid menempatkan Asma’ di perkampungan Bani Sa’idah. Para wanita Bani Sa’idah berdatangan menemui Asma’, mengucapkan selamat datang kepadanya.
Sekembali dari sana, mereka ramai memperbincangkan kecantikan Asma’ yang amat memesona. Dalam sekejap, tersebarlah berita kedatangan Asma’ sekaligus kemolekannya ke seluruh penjuru kota Madinah.
Berita itu didengar pula oleh ummahatul mukminin. Mereka pun mendatangi Asma’. Kemudian salah seorang dari mereka mengatakan kepada Asma’, “Kalau nanti Rasulullah mendekatimu, ucapkanlah, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’.”
Sementara itu, Abu Usaid memberitahukan kedatangannya bersama Asma’ kepada Rasulullah. Beliau saat itu sedang berada di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf.
“Wahai Rasulullah, aku telah datang membawa keluargamu,” Abu Usaid mengabarkan.
Rasulullah keluar diiringi Abu Usaid. Rasulullah masuk menemui Asma’. Beliau pun menutup pintu dan menurunkan satir. Lalu beliau berlutut sembari mengulurkan tangannya kepada Asma’.
“Aku berlindung kepada Allah darimu,” ucap Asma’ tiba-tiba.
Rasulullah segera menahan dirinya dari Asma’. “Sesungguhnya, engkau telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu,” kata beliau.
Beliau keluar kembali menemui Abu Usaid, “Wahai Abu Usaid, bawalah dia kembali kepada keluarganya! Berikan kepadanya dua helai pakaian katun.”
Kembalilah Asma’ bintu an-Nu’man ke tengah keluarganya. Karena penyesalannya, ia selalu menyebut dirinya asy-Syaqiyah, wanita yang celaka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Ishabah menyebut manakala Rasulullah mengetahui apa yang membuat Asma’ mengatakan ucapan itu, beliau mengatakan, “Mereka itu seperti wanita-wanita yang ada di masa Yusuf. Tipu daya mereka amatlah besar.”
Baca Juga
Sikap Abu Bakar
Gadis itu dibawa kembali oleh ayahnya ke Aden. Oleh karena itu, ada sebagian anggota pasukannya yang menduga bahwa Ikrimah sebaiknya menolak saja seperti yang dilakukan Rasulullah, supaya dalam hal ini dapat mengambil teladan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.
Tetapi Abu Bakar menolak pendapat ini, dan dia tak keberatan dengan perkawinan Ikrimah itu. Selanjutnya Ikrimah menetap di Madinah bersama istrinya. Juga pasukannya sudah kembali berkumpul di Madinah, kota yang ditinggalkannya sejak pecah Perang Riddah.
Khalifah Abu Bakar melayangkan pandangannya ke seluruh Semenanjung yang ada di sekitarnya itu. Teringat ia hari pembaiatannya dulu. Air mata bercucuran karena rasa syukur atas kenikmatan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, kenikmatan dalam bentuk kemenangan, kenikmatan dengan memperkuat agama yang benar ini dengan tekad dan keteguhan hatinya.
Bagaimanakah Madinah ketika itu, Madinah yang telah berjaya dengan kemenangannya, yang berdaulat di seluruh kawasan Arab, — dibandingkan dengan Madinah yang kemudian dilanda oleh orang-orang Arab yang bergejolak dan memberontak dan berusaha hendak mengepungnya setelah Rasulullah wafat!
Apa pula yang akan membuat Abu Bakar membanggakan diri padahal ia ingat firman Allah kepada RasulNya: "...dan bukanlah kau yang melempar ketika kau melempar (segenggam debu), tetapi Allah Yang melempar..." (Qur'an, 8. 17).
Gerangan apakah yang akan terjadi esok?! Betapa kesatuan agama Allah ini kini bertambah kuat, bertambah agung dan tersebar luas?! Inilah yang menjadi arah tujuan politik Khalifah Abu Bakar.
Dan ini pula yang dipikirkan Abu Bakar sejak ia merasa yakin dengan kemenangan itu. Lama sekali ia berpikir demikian sejak para jenderal dan pasukannya itu masih bertugas menumpas sisa-sisa kaum murtad serta pengaruhnya di daerah selatan. Bila Allah hendak membuktikan kekuasaan-Nya, maka kedaulatan Islam itulah yang lahir dari hasil pemikiran dan perjuangan.
(mhy)