Istri Tak Taat, Suami Berhak Tidak Menafkahi?
loading...
A
A
A
Dalam kehidupan rumah tangga, adanya nafkah disyariatkan untuk menjaga keseimbangan hidup keluarga. Ketika istri diwajibkan untuk taat kepada suami maka pada saat yang bersamaan suami wajib memberi nafkah kepada istri.
Suami yang tidak menafkahi istrinya tanpa udzur syar’i maka ia telah berbuat durhaka. Begitu juga dengan istri yang tidak menaati suaminya maka dia telah berbuat durhaka. Kedurhakaan seperti ini dalam istilah syar’i disebut dengan nusyuz .
Terkadang di dalam rumah tangga, seorang laki-laki diuji dengan kedurhakaan istri ini. Istri nusyûz kepada suami artinya membangkang dan bersikap buruk. (Baca juga : Inilah Manfaat Harta yang Bisa Memborong Pahala )
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa nusyuz seorang istri adalah perilaku yang melampaui batas terhadap suami, contohnya seperti istri yang tidak taat kepada suami, menolak perintahnya, melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan amarahnya dan sejenisnya.
Gambaran perbuatan nusyuz yang dilakukan seorang istri di antaranya adalah: menolak berhubungan intim, keluar rumah tanpa izin (kecuali dalam kondisi darurat dan alasan syar’i), menolak tinggal bersama suami, dan lain sebagainya yang pada intinya keluar dari ketaatan kepada suami.
(Baca juga : Diamnya Perempuan di Rumah Adalah Tanda Kemuliaannya )
Salah satu konsekuensi bagi istri yang melakukan perbuatan nusyuz adalah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami ketika ia tidak mau kembali untuk taat terhadap suaminya. Persoalan ini memang diperselisihkan oleh para ulama, jumhur ulama berpendapat seorang istri yang berbuat nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya dan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Pendapat yang lain menyatakan bahwa istri tetap berhak mendapatkan nafkah meski telah berbuat nusyuz kepada suaminya.
Pendapat yangsetuju suami berhak tidak memberi nafkah pada istri nusyuz, antara lain dari Syaikh Muhammad bin Qasim. Dalam kitab “Fathul Qarib”, Syaik Muhammad menjelaskan bahwa Nusyuz juga mengakibatkan konsekuensi hukum berupa terputusnya nafkah, “Ada dua hal yang bisa gugur akibat Nusyuz, yakni hak gilir dan hak mendapatkan nafkah,” jelas Syaikh Muhammad.
(Baca juga : Kesalahan Fatal yang Sering Terjadi Tentang Khalwat )
Begitu juga dengan Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata,
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: اتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ إِذَا كَانُوا جَمِيعًا بَالِغِينَ إِلَّا النَّاشِزَ مِنْهُنَّ الْمُمْتَنِعَةَ. وَقَالَ أَبُو عُمَرَ: مَنْ نَشَزَتْ عَنْهُ امْرَأَتُهُ بَعْدَ دُخُولِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ نَفَقَتُهَا (تفسير القرطبي (5
“Ibnu Al-Munzir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat wajibnya nafkah untuk para istri yang menjadi tanggungan suami-suami mereka, jika mereka sudah baligh. Dikecualikan jika istri-istri itu membangkang. Abu Umar berkata, ‘Barangsiapa yang istrinya membangkang sesudah dia menggaulinya, maka gugurlah hak nafkahnya”.
(Baca juga : 2 Lubang Hitam Terkuat Mau Tabrakan, Bahayakah untuk Warga Bumi? )
Namun demikian, mencabut hak nafkah istri karena perbuatan nusyuz bukan berarti juga mencabut nafkah anak-anaknya. Mereka, anak-anak, tetap harus mendapatkan hak nafkah dari sang ayah, hak nafkah anak tidak gugur dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh ibunya. Begitu juga dengan janin yang dikandung oleh seorang ibu yang berbuat nusyuz, ia berhak mendapatkan nafkah dari sang ayah, sebagaimana bayi yang sedang disusuinya. (Ibnu Utsaimin, Syarhu al-Mumti’)
(Baca juga : Pemerintah Dorong Pembuatan Batik Ramah Lingkungan )
Untuk mendapatkan hak nafkahnya kembali, maka seorang istri yang berbuat nusyuz ini mau bertaubat dari perbuatan nusyuznya itu dengan menyerahkan diri kepada suami dan menaatinya. Namun jika dengan hal itu tidak cukup memberi solusi maka hendaknya perkara ini diangkat kepada hakim dan hakim akan memutuskan dengan kebijakannya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni) (Baca juga : Asik Bali Luncurkan Trans Metro Dewata, Naik Gratis Sampai Akhir Tahun )
Wallahu A'lam
Suami yang tidak menafkahi istrinya tanpa udzur syar’i maka ia telah berbuat durhaka. Begitu juga dengan istri yang tidak menaati suaminya maka dia telah berbuat durhaka. Kedurhakaan seperti ini dalam istilah syar’i disebut dengan nusyuz .
Terkadang di dalam rumah tangga, seorang laki-laki diuji dengan kedurhakaan istri ini. Istri nusyûz kepada suami artinya membangkang dan bersikap buruk. (Baca juga : Inilah Manfaat Harta yang Bisa Memborong Pahala )
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa nusyuz seorang istri adalah perilaku yang melampaui batas terhadap suami, contohnya seperti istri yang tidak taat kepada suami, menolak perintahnya, melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan amarahnya dan sejenisnya.
Gambaran perbuatan nusyuz yang dilakukan seorang istri di antaranya adalah: menolak berhubungan intim, keluar rumah tanpa izin (kecuali dalam kondisi darurat dan alasan syar’i), menolak tinggal bersama suami, dan lain sebagainya yang pada intinya keluar dari ketaatan kepada suami.
(Baca juga : Diamnya Perempuan di Rumah Adalah Tanda Kemuliaannya )
Salah satu konsekuensi bagi istri yang melakukan perbuatan nusyuz adalah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami ketika ia tidak mau kembali untuk taat terhadap suaminya. Persoalan ini memang diperselisihkan oleh para ulama, jumhur ulama berpendapat seorang istri yang berbuat nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya dan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Pendapat yang lain menyatakan bahwa istri tetap berhak mendapatkan nafkah meski telah berbuat nusyuz kepada suaminya.
Pendapat yangsetuju suami berhak tidak memberi nafkah pada istri nusyuz, antara lain dari Syaikh Muhammad bin Qasim. Dalam kitab “Fathul Qarib”, Syaik Muhammad menjelaskan bahwa Nusyuz juga mengakibatkan konsekuensi hukum berupa terputusnya nafkah, “Ada dua hal yang bisa gugur akibat Nusyuz, yakni hak gilir dan hak mendapatkan nafkah,” jelas Syaikh Muhammad.
(Baca juga : Kesalahan Fatal yang Sering Terjadi Tentang Khalwat )
Begitu juga dengan Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata,
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: اتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَاتِ الزَّوْجَاتِ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ إِذَا كَانُوا جَمِيعًا بَالِغِينَ إِلَّا النَّاشِزَ مِنْهُنَّ الْمُمْتَنِعَةَ. وَقَالَ أَبُو عُمَرَ: مَنْ نَشَزَتْ عَنْهُ امْرَأَتُهُ بَعْدَ دُخُولِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ نَفَقَتُهَا (تفسير القرطبي (5
“Ibnu Al-Munzir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat wajibnya nafkah untuk para istri yang menjadi tanggungan suami-suami mereka, jika mereka sudah baligh. Dikecualikan jika istri-istri itu membangkang. Abu Umar berkata, ‘Barangsiapa yang istrinya membangkang sesudah dia menggaulinya, maka gugurlah hak nafkahnya”.
(Baca juga : 2 Lubang Hitam Terkuat Mau Tabrakan, Bahayakah untuk Warga Bumi? )
Namun demikian, mencabut hak nafkah istri karena perbuatan nusyuz bukan berarti juga mencabut nafkah anak-anaknya. Mereka, anak-anak, tetap harus mendapatkan hak nafkah dari sang ayah, hak nafkah anak tidak gugur dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh ibunya. Begitu juga dengan janin yang dikandung oleh seorang ibu yang berbuat nusyuz, ia berhak mendapatkan nafkah dari sang ayah, sebagaimana bayi yang sedang disusuinya. (Ibnu Utsaimin, Syarhu al-Mumti’)
(Baca juga : Pemerintah Dorong Pembuatan Batik Ramah Lingkungan )
Untuk mendapatkan hak nafkahnya kembali, maka seorang istri yang berbuat nusyuz ini mau bertaubat dari perbuatan nusyuznya itu dengan menyerahkan diri kepada suami dan menaatinya. Namun jika dengan hal itu tidak cukup memberi solusi maka hendaknya perkara ini diangkat kepada hakim dan hakim akan memutuskan dengan kebijakannya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni) (Baca juga : Asik Bali Luncurkan Trans Metro Dewata, Naik Gratis Sampai Akhir Tahun )
Wallahu A'lam
(wid)