Al-Qur'an dan Hadis Melarang Mengambil yang Bukan Haknya

Senin, 21 September 2020 - 21:00 WIB
loading...
Al-Quran dan Hadis Melarang Mengambil yang Bukan Haknya
Perbuatan buruk termasuk korupsi merupakan bentuk perbuatan yang wajib dijauhi. Foto ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
Sabir Laluhu
Wartawan Koran SINDO

Jika kita melihat berbagai pemberitaan berbagai media massa dalam beberapa tahun ke belakang hingga tahun 2020, tampak sangat jelas bahwa pelaku korupsi -koruptor- semuanya adalah umat beragama. Bahkan ada yang merupakan pemimpin dan tokoh agama atau lembaga keagamaan, serta ada juga yang merupakan anak atau cucu pemuka agama.

Lihat saja kasus atau perkara yang ditangani kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga perkara-perkara yang disidangkan di Pengadilan Tipikor pada berbagai Pengadilan Negeri. Objek yang dikorup pun bukan ‘kaleng-kaleng’, mulai dari anggaran dan pengadaan kitab suci Al-Qur'an , penyelenggaraan ibadah haji, pembangunan masjid agung, buku pendidikan agama Buddha, pembangunan gereja, hingga uang jemaat gereja. Bukankah setiap ajaran agama dan kepercayaan yang dianut para pemeluknya terkandung nilai berbuat baik bagi sesama? ( )

Rasanya patut disodorkan pernyataan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif saat menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Suropati Syndicate, di Taman Suropati, Jakarta pada Minggu, 9 Desember 2018. "Perlu juga kita catat, kalau Al-Qur'an saja sudah dikorupsi, bagaimana coba? Uang haji dikorupsi, Al-Qur'an dikorupsi, uang masjid banyak yang dikorupsi . Untung itu syahadat nggak ada uangnya, kalau ada, uangnya juga mungkin (dikorupsi)," tegas Syarif.

Azyumardi Azra membeberkan, dari berbagai perkara yang ditangani penegak hukum termasuk KPK tampak jelas bahwa para pelaku korupsi dari banyak pejabat publik dengan beragam latar belakang profesi dan pekerjaan. Mulai dari anggota dan pimpinan DPR, petinggi partai politik, gubernur, bupati, walikota, anggota dan pimpinan DPR, menteri dan kepala lembaga, pejabat kementerian dan lembaga, pejabat pemerintah daerah, penegak hukum itu sendiri, hakim dan pegawai pengadilan, hingga pengusaha swasta dan pejabat BUMN.

Para pelaku korupsi , menurut Azra, telah menggunakan kekuasaan dan amanah publik untuk melakukan korupsi guna memenuhi kepentingan dan kebutuhan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya. Akibat perkara atau kasus korupsi yang tetap marak, tutur dia, kepercayaa masyarakat kepada para pejabat publik dan lembaga atau badan publik semakin menurun. Dia memaparkan, acap kali para pejabat publik menyampaikan slogan atau kampanye ‘katakan tidak pada korupsi’ tapi ternyata tetap melakukan korupsi.

"Semestinya ada kesesuaian ucapan dan tindakan. Integritas pejabat publik harusnya benar-benar dijaga dan dijalankan, bukan hanya ucapan. Setiap pejabat publik perlu konsisten menghadapi dan melawan korupsi . Untuk upaya ini, maka diperlukan penguatan etika pejabat publik," ungkap Azyumardi.

Anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan RI ini menjelaskan, etika terkandung di dalam ajaran agama, ketentuan hukum, dan social decorum atau kepantasan sosial berupa adat istiadat dan nilai-nilai luhur sosial-budaya. Etika memberikan batas dan standar atas perbuatan yang dijalankan dan mana yang dijauhi. Berbagai perbuatan buruk termasuk korupsi jelas merupakan bentuk perbuatan yang harus dijauhi.

Azyumardi menilai, integritas dan etika yang tidak tampak dalam diri pelaku korupsi turut mengakibatkan ada banyak pelaku korupsi yang menggunakan uang atau barang yang bersumber dari hasil korupsinya untuk berbuat baik. Mereka, tutur dia, seolah ingin membersihkan perbuatan dosanya dengan cara seperti itu. Padahal sebenarnya, dua tindakan tersebut saling bertentangan dan tidak berkaitan satu sama lain.

"Ketika hasil korupsi dipakai untuk berbuat kebaikan, misalnya untuk sedekah atau disumbangkan untuk pembangunan masjid tetap tidak akan menghapus dosanya. Jadi kalau ada misalnya yang mengaku melakukan suap-menyuap dengan motif kebaikan atau syar’i, maka itu adalah perbuatan yang telah mencampurkan urusan haq dan batil. Agama Islam tegas melarangnya," ujarnya.

Nurcholis Madjid -Cak Nur- menegaskan, tidak ada persoalan masa depan bangsa kita yang lebih penting dan lebih serius daripada persoalan menegakkan etika atau akhlak bangsa. Kelemahan etika bangsa antara lain akibat dari lemahnya semangat Al-Furqān di kalangan kaum muslim. Al-Furqān kata Cak Nur, merupakan salah satu tujuan ajaran Islam. Al-Furqān bermakna pemisah yang tegas antara yang haqq (benar) dan yang bāthil (palsu). Semangat Al-Furqān menurut dia, belum sepenuhnya dihayati oleh seluruh warga negara. Kelemahan etika bangsa antara lain akibat dari lemahnya semangat Al-Furqān di kalangan kaum muslim tersebut tercermin dalam ketidakmampuan banyak penanggungjawab kenegaraan kita untuk membedakan dengan jelas mana benar mana salah, mana kejujuran mana penyelewengan, mana terpuji mana tercela, dan last but not least, mana kontribusi dan mana korupsi. (Budhy Munawar-Rachman (Peny.), h. 3914-3915).

Kelemahan etika atau akhlak ini pula, lanjut Cak Nur, menyebabkan mengapa sering terjadi suatu penyelewengan dalam ukuran amat besar dan bersifat fatal tetapi ternyata dapat dimaafkan dan dilupakan begitu saja. Kelemahan ini juga menyebabkan banyak pemimpin dan penanggungjawab kenegaraan rajin mengucapkan ritual-ritual nasional seperti pernyataan kesetiaan kepada UUD 1945 dan Pancasila, namun tidak memiliki kepekaan secukupnya terhadap masalah-masalah sosial dan tidak menyadari adanya berbagai kepincangan dalam masyarakat.

"Adalah suatu ironi bahwa suatu bangsa yang sering disebut sebagai bangsa yang sopan, halus, dan berbudaya tinggi (bangsa Timur), juga sekaligus sering disinyalir sebagai bangsa berbudaya korupsi . Jika memang dalam kenyataan korupsi merupakan aturan, sedangkan kejujuran serta kontribusi merupakan perkecualian, sinyalemen serupa itu tentunya tidaklah terlalu jauh dari benar," tegas Cak Nur. ( )

Larangan Mengambil yang Bukan Haknya
Bagi umat Islam, berbagai ayat dalam Al-Qur'an maupun hadis Rasulullah, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam jelas memberikan pedoman agar kita selalu berbuat baik kepada sesama insan serta setiap insan dilarang mengambil apapun yang bukan haknya.

Penulis menghadirkan dua ayat dalam Al-Qur'an . Pertama, Surat Al-Baqarah ayat 188, yang artinya: "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui".

Kedua, Surat an-Nisa ayat 29, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu saling memakan harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu".

Menukil dari buku "Tafsir Ringkas Al-Qur'an" yang diterbitkan Kementerian Agama (2016), QS. Al-Baqarah ayat 188, bermakna bahwa janganlah kamu (seorang Muslim) memakan harta sesamanya (maupun orang lain) dengan jalan yang batil. Jalan batil tersebut di antaranya dengan cara korupsi atau menipu atau merampok. Serta, jangan pula kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim untuk bisa melegalkan perbuatan jahat kamu dengan maksud agar kamu dapat memakan, menggunakan, memiliki, dan menguasai sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa karena melanggar ketentuan Allah subḥānahu wataʿālā. Padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan oleh Allah.

Dua ayat Al-Qur'an di atas menjadi dua di antara beberapa landasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 'Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia tentang Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Hadiah Kepada Pejabat' yang ditetapkan di Jakarta pada 27 Rabiul Akhir 1421 Hijriah/29 Juli 2000 Masehi. Fatwa ini terbagi empat bagian utama.

Pertama, pengertian. Satu, risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi, penerima disebut murtasyi, dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).

Dua, suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Tiga, hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya. Tiga, korupsi (ghulul) adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.

Kedua, hukum. Satu, memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram. Dua, melakukan korupsi hukumnya adalah haram. Tiga, memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya.

b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram.

Kemudian, jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut. Sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya).

Berikutnya, jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

"Ketiga: Seruan. Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal tersebut. Keempat: Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini."

SurveiKorupsi dan Religiusitas
Secara empiris, perbandingan korupsi dengan tingkat religiusitas dan keberagaman masyarakat Indonesia dengan korupsi pernah dipotret oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Selama kurun 16-22 Agustus 2017, LSI melakukan survei nasional bertajuk "Korupsi, Religiusitas, dan Intoleransi". Berikut ini dinukilkan dari dokumen ‘Presentasi Rilis’ dan ‘Press Release' survei yang telah lebih dulu penulis unduh di laman resmi LSI.

LSI memilih 1540 responden di seluruh Indonesia dengan metode multi-stage random sampling. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error sebesar ± 2,6 % dengan tingkat kepercayaan 95 %. Para responden adalah personal yang sudah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

LSI menemukan, saat survei Agustus 2017, mayoritas warga yakni 54 % merasa bahwa tingkat korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Di sisi lain, warga yang merasa ‘tingkat korupsi meningkat' berkurang proporsinya dibanding temuan pada 2016 yaitu 70 %. Berikutnya 19,3 % menilai tingkat korupsi menurun dan 24,5 % berpendapat tidak ada perubahan. Selain itu mayoritas warga menilai pemerintah serius (55,9 %) dan sangat serius melawan korupsi (11,4 %).

LSI menemukan, korelasi antara pengalaman masyarakat diminta memberikan uang/hadiah di luar biaya resmi oleh pegawai pemerintah dan pengalaman mereka memberi uang/hadiah di luar biaya resmi sangat kuat (0.706). Artinya, semakin sering aparat pemerintah bertindak korup terhadap warga, maka warga juga akan semakin sering bertindak korup dengan mengikuti permintaan aparat pemerintah tersebut.

Dari sisi sikap terhadap korupsi, LSI menyimpulkan, pandangan masyarakat Indonesia tentang praktik korupsi cukup memprihatinkan. Musababnya, sebanyak 30,4 % berpendapat bahwa pemberian uang/hadiah untuk memperlancar urusan ketika berhubungan dengan instansi pemerintah (gratifikasi) merupakan hal yang wajar. Angka yang hampir sama yakni 35,2 % pun ditemukan dalam sikap pemakluman masyarakat terhadap tindakan kolusi.

Survei ini menemukan, adanya hubungan antara perilaku dan sikap masyarakat terhadap korupsi. Terdapat hubungan positif dan signifikan di antara keduanya. Semakin warga bersikap memaklumi praktik korupsi, semakin korup juga perilaku mereka.Dari aspek religiusitas dan keberagaman, khusus responden muslim, sekitar 74,9 % warga muslim merasa dirinya sangat atau cukup saleh. Kemudian, sekitar 82,9 % warga muslim sangat atau cukup sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting.

Untuk aspek ini, ada tiga temuan LSI. Satu, masyarakat muslim Indonesia tergolong relijius. Alasannya, sebanyak 74,9 % dari seluruh umat Islam di Indonesia sangat atau cukup saleh. Oleh karenanya, wajar jika 82,9 % dari mereka sangat sering atau cukup sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting.

Dua, kesalehan masyarakat juga tercermin dari praktik ritual yang dilakukan. Sebanyak 55,9 % rutin melakukan shalat wajib lima waktu dan 28,4 % cukup sering melakukannya. Sementara yang rutin puasa Ramadhan sebanyak 67,5 % dan sering puasa 24,6 %. Berikutnya, mereka yang selalu menjalankan shalat sunnah 14,4 % dan yang sering sebanyak 30,3 %.

Tiga, meskipun demikian, makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi. Tidak ada hubungannya dengan perilaku korupsi . Sehingga, semakin relijius maka hanya semakin bersikap antikorupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama. [ ]

(Bersambung)!
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2821 seconds (0.1#10.140)